Nikah dihujat, zina dipuja
Ramai-ramai
orang menghujat dan mengutuk, dipanasi pula dengan pemberitaan yang provokatif
baik dari acara yang memang berita, ataupun dari infotainment yang silih
berganti, tayang tanpa henti dari pagi sampai malam. Kebanyakan memuat tajuk
dan tema yang sama Nikah Siri Kilat Bupati Garut.
Calon Gubernur,
anggota DPR, Menteri dan aktivis-aktivis perempuan maupun aktivis HAM semua
angkat bicara dan mengatakan tindakan ini melanggar Undang-undang ini,
bertentangan dengan peraturan itu, dan dapat dipidana dengan penjara
selama anu tahun. Dan tak lama, isu ini berkembang menjadi isu
nasional, bukan lagi regional.
Sebenarnya
secara sekilas pun orang awam bisa langsung memberikan cap, bahwa tindakan
Bupati Garut AF itu tidak etis, bahkan cenderung mempermainkan hukum Agama dan
melecehkan harkat perempuan. Dan persepsi semacam itu yang dibenarkan oleh
sebagian (bahkan hampir seluruh) masyarakat yang mengikuti berita ini.
Bukan hendak
melakukan pembenaran apalagi pembelaan terhadap AF, akan tetapi patut juga
memberikan proporsi yang Fair terhadap tindakan itu. Karena norma yang
menyatakan AF itu layak dihujat, dikutuk dan dinyatakan sebagai “Pejabat
Bejat”, adalah norma kesusilaan atau setidaknya norma etis yang disadari atau
tidak berasal dari masyarakat, yang secara kasar bisa dikatakan sebagai
pendapat mayoritas.
Yang perlu
diperhatikan dengan seksama, adalah bahwa yang dilakukan oleh AF adalah NIKAH. Bukan
serumah tanpa nikah (kumpul kebo) ataupun berkumpul tanpa nikah (berzina).
Terlepas dari dialektika tanpa akhir tentang keabsahan Nikah siri, apalagi bila
berhadapan dengan aktivis perempuan yang secara militant, tersirat maupun
terang-terangan kerap mempertanyakan atau bahkan menentang hukum yang tertera
dalam kitab suci umat Islam.
Bukan hendak melakukan pembenaran apalagi pembelaan terhadap AF, akan tetapi patut juga memberikan proporsi yang Fair terhadap tindakan itu. Karena norma yang menyatakan AF itu layak dihujat, dikutuk dan dinyatakan sebagai “Pejabat Bejat”, adalah norma kesusilaan atau setidaknya norma etis yang disadari atau tidak berasal dari masyarakat, yang secara kasar bisa dikatakan sebagai pendapat mayoritas.
Yang perlu
diperhatikan dengan seksama, adalah bahwa yang dilakukan oleh AF adalah NIKAH. Bukan
serumah tanpa nikah (kumpul kebo) ataupun berkumpul tanpa nikah (berzina).
Terlepas dari dialektika tanpa akhir tentang keabsahan Nikah siri, apalagi bila
berhadapan dengan aktivis perempuan yang secara militant, tersirat maupun
terang-terangan kerap mempertanyakan atau bahkan menentang hukum yang tertera
dalam kitab suci umat Islam.
Bukan persoalan
kilat atau tidaknya yang hendak dijadikan bahasan. Melainkan sikap masyarakat
terhadap tindakan AF ini. Apa masyarakat mengabaikan fakta bahwa AF dan FO
tidak berzina? Melainkan nikah, meski secara siri dan hanya berlangsung
beberapa hari saja? Apakah masyarakat mengabaikan fakta bahwa peristiwa ini
terjadi sudah agak lama, yakni di bulan Juli 2012. Lantas mengapa baru mencuat
(atau dicuatkan) di akhir tahun 2012?
Sangat mungkin
motif politik ada di belakang semua ini. Karena bila mau, mengapa tidak dari
bulan Juli 2012 saja hal itu dipersoalkan oleh FO maupun keluarganya. Bisa saja
penentang pendapat ini berdalih macam-macam. Tapi bukankah logis bila menduga
ini bermula dari persaingan politis, bukan semata-mata persoalan “merendahkan
harkat perempuan”?
Dari hasil
wawancara di beberapa media, benar memang AF terlihat tidak bisa berargumen
soal masalah yang membelitnya itu. Dan itu pun makin menguatkan bahwa memang
benar AF berada di posisi yang salah. Namun pemikiran yang melawan arus, harus dimunculkan
demi memberikan tanggapan yang proporsional dan fair. Bukan tanpa analisa yang
cerdas ikut-ikutan menghujat membabi buta.
Lantas, bila
dibandingkan dengan persoalan serupa, yang meski tak sama. Contoh sederhana
adalah kasus NI alias A, Vokalis Band PP, yang sekarang berganti nama jadi N.
yang kemudian terekam dan diketahui publik berbuat asusila dengan LM atau CT.
Apakah reaksi masyarakat terhadapnya? Di awal hangat-hangatnya kasus tersebut
mungkin mayoritas masyarakat juga menghujat, tapi yang terjadi sekarang? Apakah
tetap sama?
Faktanya yang
terjadi sekarang, sikap sebagian besar masyarakat menjadi paradox. Menghujat
& mengutuk pelaku nikah siri kilat. Tapi mengelu-elukan pezina
& mengidolai pelaku seks bebas. Itu tak disangkal, buktinya
masyarakat maupun media masih “memberikan” tempat bagi public figure yang
berbuat asusila (dengan sengaja), untuk tampil dan tetap menjadi panutan yang
dipuja-puji. Pihak-pihak yang mengaku aktivis HAM boleh-lah mati-matian
mempertentangkan persoalan ini.
Sadar atau
tidak, ini telah jadi komoditas yang berhasil dikacaukan oleh anti-Islam. Zina
dianggap biasa, tapi Nikah Siri dianggap melecehkan harkat dan martabat kaum
perempuan. Hal keliru, yang karena terbiasa (dibiasakan) jadi dianggap sebagai
hal yang benar. seperti cerita tentang kesalahan terbalik. Cerita lengkap.
Ini menunjukkan
bahwa masyarakat masih memiliki norma yang bias. Standar ganda terhadap
persoalan yang mirip, bahkan persoalan yang lebih buruk. Dan masih
menggantungkan norma tersebut, pada parameter yang tidak jelas dan mengambang
hanya semata-mata mengikuti pendapat umum khalayak.
Semata-mata
bukan hendak membenarkan tindakan nikah siri dan cerai kilat yang dilakukan
oleh AF. Tapi hendaknya juga berkaca secara FAIR dan Proporsional, apa betul
hujatan kita dan cacian kita kepada AF maupun orang-orang sejenis itu sudah
berdasar dan sudah konsisten dengan norma dan nilai yang kita anggap benar,
tanpa diskriminasi, tanpa emosi, tanpa sekedar ikut-ikutan mayoritas orang yang berpersepsi?
Comments
Post a Comment