Kesalahan Terbalik

Syahdan, seorang guru mengajar muridnya di suatu Sekolah Dasar. Guru tersebut berkata “Anak-anakku, sekarang kita akan mempelajari sesuatu hal yang perlu kita renungkan. Dalam pelajaran ini, kita akan membuat suatu permainan” “Permainan apa, Bu?” tanya salah seorang murid. ”Permainan sederhana, peraturannya sangat mudah, kalian tinggal menyebutkan benda yang Ibu acungkan” jawab Bu Guru tersebut. ”Ibu membawa penggaris di tangan kanan ibu, dan spidol di tangan kiri ibu. Kalian tinggal menyebutkan apa yang ibu acungkan” jelas Ibu Guru tersebut. ”Gampang khan?” ”Iya, Bu”. Murid-murid tersebut berkoor.

Lalu Ibu Guru tersebut mengacungkan satu persatu tangannya. Ketika dia mengangkat tangan kanan, murid-murid dengan serempak menjawab ”Penggaris”, begitupun halnya ketika tangan kiri si Ibu diangkat, murid-murid kembali serempak ”Spidol”. Berulang-ulang Ibu Guru tersebut mengangkat tanganya secara bergantian. ”Nah, anak-anakku kalian bisa dengan mudah khan membedakan penghapus dan spidol?” tanya si Ibu Guru. ”Iya, Bu” jawab murid-murid tersebut. ”Sekarang kita ubah permainannya, bila Ibu mengangkat Penggaris, kalian akan menyebutnya Spidol, sebaliknya bila Ibu mengangkat Spidol, kalian menyebutnya Penggaris. Mengerti semuanya?” terang si Ibu Guru. ”Mengerti, Bu” jawab murid-murid.

Kali pertama Ibu Guru tersebut mengangkat Spidol, masih ada beberapa anak yang menyebutnya Spidol, begitupun beberapa kali selanjutnya. Namun lama-kelamaan murid-murid terbiasa menyebutnya dengan terbalik, Spidol disebut Penggaris, dan Penggaris disebut Spidol. Setelah cukup lama dan murid-muridnya lancar ’membalik Spidol menjadi Penggaris’ Ibu Guru itu berujar. ”Nah, anak-anakku pelajaran apa yang kita dapatkan hari ini?” Tak ada yang menjawab. Ibu Guru itu kemudian berkata ”Anak-anakku yang kucintai, begitulah orang-orang kafir membodohi kita, pertama kali memang mereka membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah, akan tetapi kemudian mereka membangun sebuah pendapat dengan membalik setiap keadaan, meskipun pada awalnya kita akan sukar mengikuti ketidakbenaran itu, tetapi karena pendapat umum dan kebiasaan masyarakat ’membenarkannya’ maka perlahan kita akan terbiasa menyebut ketidakbenaran itu adalah kebenaran dan kebenaran itu adalah ketidakbenaran.” ”Nah, ada yang mau bertanya?” Tak ada lagi yang menjawab. ”Kalau begitu, kelas berakhir” tutup Ibu Guru tersebut.


diceritakan kembali oleh penulis

Comments

Popular posts from this blog

Kota Bandung dan Kota Malang

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc