(Putusan) Hakim Dipidanakan?
Tindakan kontraproduktif kembali
dilakukan orang-orang senayan. Dalam draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Mahkamah
Agung terbaru, mereka mengusulkan pemidanaan terhadap Hakim dengan alasan 4
poin sebagaimana diberitakan detiknews, yakni:
- Membuat putusan yang melanggar UU.
- Membuat putusan yang menimbulkan keonaran dan kerusakan serta mengakibatkan kerusuhan, huru hara.
- Dilarang membuat putusan yang tidak mungkin dilaksanakan karena bertentangan dengan realitas di tengah-tengah masyarakat, adat istiadat, dan kebiasaan yang turun temurun sehingga akan mengakibatkan pertikaian dan keributan.
- Dilarang mengubah Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial secara sepihak, dan/atau Keputusan Bersama tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara sepihak.
Yang patut dipahami adalah, keempat
poin tersebut sangat berkaitan erat dengan kinerja Hakim sebagai pengadil,
sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Sehingga dengan sendirinya, hal ini
berkorelasi dengan pelaksanaan tugas-tugasnya menegakkan hukum dan keadilan di
negeri ini, yakni melalui putusan yang dibuatnya.
Konsep berpikir yang keliru dipakai oleh
anggota DPR, khusunya komisi III dalam menyusun atau mengajukan RUU Mahkamah
Agung tersebut. Salah seorang anggota Komisi III dari Fraksi PDI Perjuangan,
Eva Kusuma Sundari mengatakan akan tetap mengajukan persoalan pemidanaan Hakim
ini ke rapat paripurna, dengan alasan bahwa kedudukan Hakim adalah sama di
depan hukum. Sehingga tidak ada pejabat publik yang kebal hukum, termasuk
Hakim.
Anak SD pun pasti akan mengerti bahwa
sesuai dengan fragmen Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, bahwa segala
warga Negara berkedudukan sama di depan Hukum. Dan kalangan Hakim -yang sudah
pasti semuanya orang yang paham hukum- pastinya menyadari hal tersebut. Akan
tetapi kerangka equality before the law
adalah ditujukan terhadap pengenaan hukum dan keberlakukan hukum, khususnya
Hukum Publik yang disusun Negara hanya apabila warga Negara tersebut melanggar
ketentuan hukum positif yang telah disusun dan ditetapkan.
Sederhananya, bila Hakim melakukan
pelanggaran pidana seperti terbukti disuap atau menerima gratifikasi, tentu
secara otomatis Hakim tersebut dapat dihukum dan didudukkan seperti warga
Negara lainnya, sebagaimana konsep equality
before the law tadi. Namun, ketika Hakim dikenakan pidana hanya karena
memutuskan suatu perkara, dan kemudian ternyata terbukti putusannya itu
memiliki kekeliruan, bukan pada tempatnya menerapkan pidana pada Hakim oleh
alasan tersebut. Karena bila demikian, dimana lagi kemerdekaan maupun
independensi Hakim dalam memutus suatu perkara? Karena variabel “ancaman” sudah
ada pada proses memutuskan suatu perkara tersebut. Padahal jelas dalam
irah-irah putusan pengadilan, disebutkan: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”, apakah sumpah seperti itu akan ditelikung dan dibatasi oleh
Anggota DPR, hanya karena konsep berpikir keliru tentang equality before the law dan independensi kekuasaan kehakiman?
Akan sangat naif bila prinsip equality before the law itu diterapkan pada
tindakan atas dasar pelaksanaan amanat undang-undang. In cassu dimana logika hukumnya, ketika Hakim yang melaksanakan
amanat konstitusi, dengan memeriksa, memutus dan mengadili suatu perkara dapat
dipidana karena pelaksanaan kewenangannya tersebut? Marwah dari equality before the law itu muncul pada
saat seorang warga Negara melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-katakanlah
pidana-, sehingga warga Negara tersebut harus mendapatkan hukuman sesuai denga
perbuatannya. Jadi, titik beratnya ada pada “PELANGGARAN” terhadap ketentuan
perundang-undangan, bukan karena “PELAKSANAAN” amanat konstitusi. Lantas,
dimana relevansi-nya seorang hakim yang merupakan pelaksana dari kekuasaan
mengadili, dipidana karena melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagai pengadil?
Bila seorang pejabat publik bisa
dipidana karena dianggap “lalai” dalam melaksanakan tugasnya, maka cukuplah
konteks “kelalaian” itu, adalah apa yang telah tertuang dan secara limitatif
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Terlebih, telah ada
sanksi administratif dalam Kode Etik maupun Pedoman Perilaku, bilamana seorang
Pejabat Publik dinilai melakukan kekeliruan dalam melaksanakan profesinya.
Begitupun halnya bagi Hakim. Ada Komisi Yudisial yang berperan dan memiliki
kewenangan dalam menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yang semuanya
terkait dengan pelaksanaan tugasnya sebagai pengadil.
Menilik dari 4 poin tersebut, semua
unsur itu adalah wilayah teknis yuridis yang secara jelas telah dijamin
independensi-nya oleh konstitusi. Akan tetapi oleh koboy-koboy senayan itu
malah direcoki dan malah dijadikan alasan pemidanaan yang naif dan berlebihan.
mantap bang,seharusx ada refleksi yg harus dilakukan oleh2 org di DPR.Lembga legislatif jangan terlalu jauh mengintervensi lembga judikatif,semuanya sudah jelas kewenangannx dalam undang2.
ReplyDeletemantap bang,seharusx ada refleksi yg harus dilakukan oleh2 org di DPR.Lembga legislatif jangan terlalu jauh mengintervensi lembga judikatif,semuanya sudah jelas kewenangannx dalam undang2.
ReplyDelete