Dimensi Sosiologis Penerapan E-Court
Tuntutan reformasi birokrasi
sebagaimana Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010, mengisyaratkan urgensi
inovasi dan perubahan dalam pelayanan publik, tak terkecuali dalam lingkup
peradilan, yang dalam batas tertentu dipersepsikan merupakan salah satu
pelaksanaan urusan pemerintahan dan bagian dari birokrasi.
Mahkamah Agung sebagai salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, melahirkan
berbagai inovasi dalam menunjang pelaksanaan tugas yudisialnya. Hal ini tidak
terlepas dari cetak biru peradilan, dimana pada tahun 2035, diharapkan telah terwujud
visi Mahkamah Agung sebagai Badan Peradilan Indonesia yang Agung. Tahap menuju perwujudan
visi maupun misi Mahkamah Agung tersebut, salah satunya dengan langkah penyederhanaan
proses (yang dalam pemerintahan idiom dengan birokrasi) penanganan perkara, di semua
tingkatan peradilan, terutama Pengadilan Tingkat Pertama sebagai garda depan
yudisial.
Wujud nyata inovasi tersebut, semisal Direktori Putusan Mahkamah Agung, Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) dan yang terkini adalah electronic court (e-court). Disamping itu, perangkat lunak yang berkaitan dengan tugas-tugas non-yudisial bidang manajemen, kepegawaian dan keuangan, juga telah diterapkan Mahkamah Agung demi menunjang terselenggaranya peradilan yang professional dan transparan, seperti SIKEP, SIMAK BMN, KOMDANAS, SAIBA, dan sebagainya.
Wujud nyata inovasi tersebut, semisal Direktori Putusan Mahkamah Agung, Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) dan yang terkini adalah electronic court (e-court). Disamping itu, perangkat lunak yang berkaitan dengan tugas-tugas non-yudisial bidang manajemen, kepegawaian dan keuangan, juga telah diterapkan Mahkamah Agung demi menunjang terselenggaranya peradilan yang professional dan transparan, seperti SIKEP, SIMAK BMN, KOMDANAS, SAIBA, dan sebagainya.
Adanya inovasi dalam hal teknis (metode), tentu menuntut SDM yang
kompeten mengimbangi dan menguasai hal-hal baru tersebut, bila tidak, maka
inovasi yang telah dirancang akan “tertidur”, tidak termanfaatkan secara
optimal, sehingga dengan sendirinya tujuan dari penyederhanan proses, efisiensi
maupun optimalisasi kerja, tidak akan tercapai.
Penyederhanaan
Akses Peradilan
Seingat penulis, inovasi pertama terkait
teknis peradilan yang dirasakan memiliki manfaat signifikan adalah Direktori
Putusan Mahkamah Agung. Laman yang dibuat ini, merupakan himpunan
putusan-putusan dari seluruh lingkungan peradilan dan seluruh tingkatan.
Akses terhadap isi putusan,
merupakan kebutuhan primer dalam transparansi kinerja institusi peradilan.
Ketertutupan informasi maupun akses informasi kepada publik dalam hal dan jenis
tertentu, merupakan barang usang yang seharusnya tak lagi eksis di era ini.
Sebab konstitusi sendiri, menjamin bahkan mengamatkan dilaksanakannya
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dengan
segala perangkat serta mekanismenya.
Dari Direktori Putusan, publik
-tidak hanya para pihak yang berperkara-, bisa mendapatkan informasi akurat
mengenai putusan atas penanganan suatu perkara oleh Pengadilan, dari Sabang
sampai Merauke. Terdapat kewajiban bagi setiap satuan kerja Pengadilan untuk
menggunggah Putusan (yang telah dibacakan) melalui mekanisme tertentu, sehingga
selanjutnya dapat diakses melalui laman Direktori Putusan secara daring
(online).
Adanya laman direktori putusan,
secara sosiologis akan mengurangi kebutuhan publik atas Kepaniteraan Muda Hukum
di suatu Pengadilan yang memang bertugas untuk menginventarisasi berkas (fisik)
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Artinya, tugas Kepaniteraan Muda
Hukum berkaitan dengan pelayanan publik terhadap berkas putusan untuk
dipelajari atau diteliti dengan tujuan tertentu, akan berkurang.
Dalam tahapan selanjutnya, Mahkamah
Agung juga mengembangkan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) yang dapat
dikatakan sebagai pengembangan ide dari Direktori Putusan. Sistem Informasi
Penelusuran Perkara (SIPP) merupakan perangkat lunak yang dapat membantu
memantau status dan tahapan perkara yang tengah maupun telah diperiksa oleh
Pengadilan, sementara Direktori Putusan lebih kepada perkara yang telah diputus
oleh Pengadilan saja.
Pada awalnya, Sistem Informasi
Penelusuran Perkara (SIPP) hanya memuat informasi terkait perkara yang tengah
atau telah diperiksa oleh Pengadilan. Akan tetapi dalam pengembangan terkini,
perangkat lunak ini juga menyediakan template-template yang bisa dimanfaatkan aparatur
pengadilan untuk membuat Penetapan, Berita Acara Persidangan, bahkan draft
untuk Putusan. Sehingga selanjutnya, Sistem Informasi Penelusuran Perkara
(SIPP) tidak hanya menjadi rujukan bagi pihak di luar pengadilan untuk
mengikuti perkembangan penanganan perkara oleh pengadilan, tetapi untuk
meringankan tugas Panitera dan Panitera Pengganti, baik untuk menginventarisir
data terkait perkara melalui jurnal keuangan maupun register induk perkara,
juga membuat dokumen hukum seperti Penetapan, Berita Acara Persidangan, Relaas
Panggilan, dan sebagainya.
Dampak sosiologis dari adanya
Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), secara internal tentu akan
mengurangi beban kerja Kepaniteraan, sementara bagi pihak eksternal akan
mengurangi intensitas ‘ketergantungan’ maupun persinggungan antara mereka
dengan pihak Kepaniteraan Pengadilan, sepanjang berkaitan dengan informasi
mendasar mengenai perkara.
Hal utama yang menjadi tujuan
hadirnya Direktori Putusan maupun Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP)
adalah penyederhanaan akses informasi, dari mekanisme konservatif dengan
keharusan mendatangi Pengadilan untuk mendapatkan pelayanan sesuai yang
dibutuhkan setelah memenuhi persyaratan dan prosedur tertentu, menjadi cara
yang lebih modern melalui jaringan internet secara daring (online), dimana
akses tersebut menjadi tidak terbatas oleh waktu dan jarak, bahkan terbuka
untuk siapapun. Sebuah pangkasan proses yang signifikan oleh Mahkamah Agung
atas aksesabilitas pengguna layanan Pengadilan.
Penerapan Electronic
Court (e-Court)
Bertepatan dengan Peringatan HUT
Mahkamah Agung pada 19 Agustus 2019 di Balairung Utama, Mahkamah Agung kembali
meluncurkan inovasi terbaru, yakni e-litigasi,
yang merupakan komponen inti untuk melengkapi 3 komponen yang pada 13 Juli 2018
pernah diluncurkan di Balikpapan, yakni pendaftaran
perkara (e-filing),
pembayaran panjar uang perkara (e-payment)
dan penyampaian pemberitahuan dan pemanggilan persidangan secara elektronik (e-summons).
E-litigasi merupakan inti dari electronic court, yang
mengalihkan proses persidangan ke mekanisme elektronik dalam laman https://ecourt.mahkamahagung.go.id/. Saat
e-filling, e-payment dan e-summons
hanya berkaitan dengan administrasi perkara pra-persidangan, maka e-litigasi
merupakan implementasi dari persidangan secara elektronik, dimana prosesnya yang
merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019, secara drastis mengubah
mekanisme persidangan dari tatap muka antara para pihak dengan Majelis Hakim,
menjadi mekanisme persuratan elektronik. Ringkasnya,
metode sidang elektronik ini membatasi interaksi langsung antara pengguna layanan peradilan dengan hakim maupun aparatur
peradilan lainnya.
Manfaat yang diharapkan dengan adanya electronic
Court (e-Court) sebagaimana
dipaparkan Ketua Mahkamah Agung pada saat launching,
diantaranya adalah peradilan lebih sederhana dan lebih
cepat, serta dapat menjembatani kendala geografis Indonesia yang sangat luas,
dimana dalam mekanisme persidangan sebelumnya, mengharuskan adanya interaksi
fisik antara pencari keadilan atau pengguna layanan pengadilan, dengan aparatur
pengadilan maupun pengadilan itu sendiri.
Dalam praktik, e-court
mengalami diferensiasi, yakni apakah terminologi persidangan tetap dimaknai apa
adanya, yang dilaksanakan oleh Hakim/Majelis Hakim di ruang sidang pada waktu
yang telah ditetapkan dengan menggunakan toga serta kelengkapan sidang lainnya,
kemudian di saat itulah diakses aplikasi e-court
sesuai tahapan persidangan masing-masing, ataukah terminologi itu juga mengalami
pergeseran karena sifat elektronik dari persidangannya. Artinya, telah cukup dengan
mengakses melalui aplikasi e-court
pada waktu yang telah ditetapkan, tanpa harus menggunakan toga sidang serta tidak
harus dilakukan di ruang sidang.
Pasal 22 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tegas
menyatakan bahwa beberapa fase persidangan yakni gugatan, jawaban, replik,
duplik dan kesimpulan, dilakukan dengan prosedur penyampaian dokumen
elektronik, pada hari dan jadwal sidang yang telah ditentukan. Demikian juga
dengan agenda putusan/penetapan sebagaimana Pasal 24 Peraturan Mahkamah Agung Nomor
1 Tahun 2019, yang menyatakan secara konstekstual bahwa Putusan/ Penetapan
dianggap telah dibacakan, dengan disampaikannya salinan putusan/penetapan
elektronik kepada para pihak melalui Sistem Informasi Pengadilan.
Untuk Peradilan Tata Usaha Negara, terdapat 2 agenda persidangan
yang tidak diatur secara spesifik mekanisme beracaranya dalam Peraturan
Mahkamah Agung tersebut, yakni Pemeriksaan Persiapan dan pemeriksaan bukti
surat. Namun, berdasarkan SK KMA No. 129/KMA/SK/VIII/2019, tanggal 13 Agustus 2019
tentang Petunjuk Teknis Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan
Secara Elektronik dalam bagian E.1.e, dinyatakan Pemeriksaan Persiapan
dilaksanakan secara manual, yang dimaknai bahwa Pemeriksaan Persiapan tidak
dilakukan secara elektronik, namun dengan mekanisme yang selama ini dilakukan,
yakni tidak melalui aplikasi e-court, melainkan tetap dengan metode tatap muka
dengan para pihak
Selain itu, untuk sidang dengan acara pembuktian dalam SK KMA
No. 129/KMA/SK/VIII/2019 poin E.5, secara tersirat sidang tetap dilaksanakan
secara tatap muka, sebab terdapat kewajiban bagi para pihak untuk
memperlihatkan dalam persidangan asli dari bukti-bukti surat yang diajukan,
setelah sebelumnya diunggah ke dalam Sistem Informasi Pengadilan. Dengan logika
yang serupa, demikian pula halnya dengan pemeriksaan ahli atau saksi, hanya
saja untuk pemeriksaan ini dimungkinkan juga dilaksanakan secara jarak jauh
dengan menggunakan perangkat komunikasi audio visual.
Dampak sosiologis dari
diterapkannya e-court, secara internal akan memudahkan Hakim dan Kepaniteraan,
sebab dapat menyederhanakan pelaksanaan sidang, memangkas antrian sidang, serta
mempermudah pengumpulan dan penyimpanan dokumen perkara karena telah berbentuk
elektronik sehingga dapat menyingkat minutasi. Sementara bagi pihak eksternal,
akan mengurangi intensitas keterhubungan antara mereka dengan Aparatur
Pengadilan, atau keharusan mendatangi Pengadilan untuk bersidang, yang
terkadang berdependen dengan biaya, terkait domisili dan jarak. Logikanya,
penerapan e-court akan meminimalisir potensi korupsi, kolusi, nepotisme,
gratifikasi atau sejenisnya, dalam penyelenggaraan peradilan.
Inovasi hakikatnya bertujuan untuk mereduksi batasan yang dapat
menghambat pelayanan. Dalam lingkup peradilan, inovasi ini hendaknya bisa
membuka aksesabilitas pelayanan peradilan, dengan mewujudkan keterbukaan/ transparansi
proses peradilan, menjamin kemudahan dan kesederhanaan pelayanan (tidak rumit
atau berbelit), tanpa mengurangi legalitas dan kualitas pelayanan. Hal itulah
yang sejatinya ditawarkan oleh Direktori Putusan, SIPP maupun Peradilan Secara
Elektronik (e-court).
Namun demikian, modernisasi mekanisme pelayanan tentu tak bisa
dilepaskan begitu saja dari nilai-nilai manusiawi, terlebih core bussines institusi yudisial bukan
hanya berkaitan dengan pelayanan semata, tapi esensi utamanya adalah menghadirkan
keadilan hukum. Maka, sentuhan kemanusiaan dari Hakim akan keadilan, tidak bisa
dipercayakan atau bahkan diganti oleh mesin, yang tidak kita ketahui dimana
letak otak atau hatinya. Maknanya adalah, dalam tiap inovasi yang dibuat tetap
harus dihadirkan “campur tangan” Sumber Daya Manusia yang dapat menjaga dan
memastikan inovasi tersebut tetap manusiawi, membumi dan dapat diterapkan secara
sosiologis dengan mendasarkannya pada nilai-nilai keadilan.
Persepsi tentang “hilangnya” kewajiban bagi Hakim/Majelis Hakim
untuk bersidang (di ruang persidangan dengan segala syarat dan kelengkapannya)
pasca penerapan e-court, muncul sebab secara faktual prosesi jawab-jinawab,
bahkan pembacaan putusan dalam persidangan dilaksanakan melalui
pengiriman/penerimaan dokumen secara elektronik. Sehingga muncul pendapat bahwa
nomenklatur “sidang”, adalah cukup dengan syarat dilakukan di depan laptop
dengan membuka aplikasi e-court saja.
Hal tersebut jelas mengandung tafsir yang berbeda dengan poin
E.3.b dalam SK KMA No. 129/KMA/SK/VIII/2019 mengenai proses persidangan awal,
yang menyatakan dengan tegas bahwa sidang dilaksanakan di ruang sidang sesuai
dengan tanggal dan jam kerja yang telah ditetapkan.
Terhadap pengaturan dalam SK KMA No. 129/KMA/SK/VIII/2019 tersebut
pun masih terdapat argumen yang menafikan terminologi “sidang”, dengan alasan
bahwa poin tersebut diterapkan dan berlaku saat belum ditetapkan dan diberitahukannya
Court Calendar kepada para pihak,
seperti misalnya yang secara spesifik berbeda dalam pemeriksaan di Peradilan
Tata Usaha Negara, dimana Court Calendar
telah ditetapkan pasca selesainya Pemeriksaan Persiapan, bukan pada saat sidang
dengan Pembacaan Gugatan sebagaimana di Peradilan Umum atau Peradilan Agama. Sehingga
di Peradilan Tata Usaha Negara, asumsi yang banyak diamini adalah Persidangan
Awal (i.c. Pembacaan Gugatan) bahkan
jawab-jinawab dan Putusan, tidak harus dilakukan dengan mekanisme persidangan
sebagaimana poin E.3.b dalam SK KMA No. 129/KMA/SK/VIII/2019.
Nilai Sakral Persidangan
Salah satu pembeda antara institusi yudisial dengan institusi
pemerintahan (eksekutif), adalah tugas pokok dan fungsinya yang tak hanya
sebatas mengurus administrasi belaka, yakni melaksanakan pemeriksaan,
memutuskan suatu perkara/kasus hukum dan pada akhirnya menghadirkan keadilan
kepada masyarakat yang membutuhkannya. Konteks ini, tentu lebih tinggi
tingkatannya dari sekedar urusan catat-mencatat, memastikan kuesioner IKM
terisi, atau sekedar memberikan pelayanan atau informasi saja.
Perwujudan tugas yudisial itu diejawantahkan dalam persidangan.
Dipimpin oleh Majelis Hakim, dengan tatap muka, para pihak menyatakan segala
dalil keberatan atas status hukum tertentu yang secara proporsional dapat dibantah
juga oleh pihak lawan. Interaksi sosial diantara Majelis dan pihak yang
bersidang, terbangun saat itu, dimana secara nyata akan memberikan pengetahuan
faktual, maupun emosional yang sedikit-banyak, “membumikan” nalar dan rasa
Majelis Hakim terhadap latar belakang dan inti persengketaan yang tengah
diperiksanya.
Selanjutnya, setelah diberikan kesempatan yang berimbang untuk mengajukan
alat bukti, Majelis Hakim dengan melibatkan kemampuan intelektualitas,
emosional maupun spriritualitasnya menerapkan konteks keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum tersebut dalam Putusan yang dipertanggungjawabkan secara
transedental: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Esensi Pengadilan adalah mengadili, yang hanya dapat dilakukan
melalui persidangan. Lantas, apakah saat persidangan tersebut bergeser menjadi
sekedar menatap aplikasi e-court di layar laptop, tanpa harus mengenakan toga
kebesaran hakim, di meja sidangnya yang lebih tinggi daripada meja para pihak,
disandingi bendera Dwiwarna dan Mahkamah Agung di sebelah kanan dan kiri, serta
lambang negara Garuda Pancasila di atasnya, akan menjadi hilang makna dan
sakralitas persidangan yang mewujudkan keadilan tersebut?
Intensitas pemeriksaan perkara, interaksi sosial baik antara
para pihak maupun dengan Majelis Hakim, bahkan diberikannya ruang logika,
empati maupun emosi, untuk menggali nilai-nilai keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum atas sengketa tengah diperiksa, membuat pemeriksaan dan putusan
yang dihasilkan, lebih manusiawi dibandingkan pendekatan mekanis dengan mesin
atau teknologi elektronis, yang hampir pasti tanpa rasa, niremosi dan
kemanusiaan. Sekedar menelurkan resultan yang sudah dapat terukur secara logis
dan baku. Tidak jauh berbeda dengan apa yang jauh-jauh hari dislogankan, Hakim
hanya menjadi corong undang-undang saja.
Sama halnya dengan proses perkuliahan, “sakral”nya mendengar
penjelasan langsung dari dosen, mencatat materi maupun tanya-jawab di dalam
kelas, bahkan mencari dan mengejar tanda-tangan dosen untuk konsultasi dan acc naskah skripsi, thesis maupun
disertasi, merupakan hal tersendiri, yang tidak akan dialami dan dirasakan
khidmatnya oleh mahasiswa Universitas Terbuka. Pun halnya dengan berobat, meski
telah ada aplikasi digital yang canggih dalam konsultasi kesehatan, belum ada
yang bisa menggantikan cara konvensional dengan mendatangi langsung dokter, jawab-menjawab
tentang sakit atau gejala apa yang dirasakan pasien, sakitnya disuntik, bahkan
mengernyitkan kening setelah mencoba membaca resep dari dokter.
Benar, hampir pasti terdapat “cacat & keliru” dalam proses
peradilan konservatif yang tidak atau sedikit melibatkan teknologi mutakhir,
sebagaimana terdahulu. Justru saat itulah terdapat nilai manusiawi dari sistem
peradilan konservatif yang harus ditambal dengan sistem peradilan elektronis,
bukan untuk menggantikannya secara ekstrim. Intinya adalah, peradilan
elektronik merupakan inovasi yang perlu dan penting, sepanjang tidak terlepas
dari pelibatan kewajiban-kewajiban konservatif SDM yang berkenaan dengannya.
Dalam batas-batas tertentu, sakralitas proses dalam pranata
konservatif tetap harus dijalankan kendati terdapat hal-hal modern yang
menghiasinya. Sebab ada symbol, nilai-nilai filosofis yang terkandung dan
memiliki makna kebajikan yang relatif tidak dapat disetarakan dan diganti oleh
anasir modern sekalipun. Toga kebesaran, Meja tinggi beralas Hijau, Bendera dan
Lambang Negara yang tegak, adalah sekian dari beberapa sakralitas yang menurut rasa
tidak dapat tergantikan oleh modernisasi proses peradilan melalui e-court, sehingga hendaknya itu tetap
dijadikan komponen persidangan, dalam terminologi apapun.
Hakim
tetap memiliki kewajiban moral untuk memastikan bahwa teknologi mutakhir itu
diimbuhi dengan nilai-nilai kemanusiaan, yang dapat menggali konteks kepastian
dan kemanfaatan hukum, terlebih keadilan bagi masyarakat pencari keadilan.
Bukankah hanya dalam sebuah persidangan, primus
interpares se-level Presiden pun memiliki kedudukan tidak lebih tinggi dari
institusi Pengadilan atau bahkan Majelis Hakim yang memeriksanya?
Comments
Post a Comment