Polemik Pemilihan Penjabat Gubernur



Mendekati Pemilihan Umum tahun 2019, lumrah bila tensi politik meningkat. Pemerintah maupun oposisi memiliki cara dan dalih untuk memperjuangkan kepentingannya. Dengan segala kekuasaan, pemerintah memiliki legalitas menetapkan aturan bahkan kebijakan yang menguntungkan. Di sisi lain, oposisi mencari celah dari sebaik dan sesempurna apapun aturan maupun kebijakan, agar dapat dikritisi dan bisa menunjukkan "cacat" tindakan maupun keputusan pemerintah.

Hampir seluruh peraturan perundang-undangan adalah produk politik yang mendasarkan pada kepentingan politik, bukan kepentingan hukum atau keteraturan (order). Akan menjadi absurd mengukur norma dan kebijakan, apakah didominasi kepentingan hukum atau semata kepentingan kekuasaan. Sehingga sudah tidak relevan konsep hukum Hans Kelsen yang menyatakan hukum adalah untuk hukum itu sendiri.
Momentum PILKADA
Bola panas pertama sudah dikeluarkan: Pemilihan Penjabat Gubernur dari Kepolisian di 2 daerah strategis, salah satunya Jawa Barat. Sekitar seminggu sebelum Pemilihan Kepala Daerah, Presiden menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 106/P Tahun 2018 tentang Pengesahan Pemberhentian Dengan Hormat Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Masa Jabatan tahun 2013-2018 dan Pengangkatan Penjabat Gubernur Jawa Barat. Tajuk utamanya adalah Komisaris Jenderal (Pol) Mochamad Iriawan, Perwira Polisi aktif menjadi Penjabat Gubernur Jawa Barat seusai dilantik pada 18 Juni 2018[1].

Hal tersebut langsung memantik protes dari oposisi, terlebih penunjukkannya menganulir pernyataan pemerintah beberapa bulan sebelumnya yang membatalkan wacana penunjukkan Perwira Polisi aktif sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat (23/2), setelah mendapatkan tanggapan negatif dari berbagai kalangan[2].


Adakah Benturan Norma?
Aturan yang menjadi acuan baik oleh pemerintah maupun pihak oposisi sejatinya sama, yakni Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, sebagai norma primer dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara serta Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara, sebagai norma sekundernya.
Penunjukan Penjabat Gubernur didasarkan pada ketentuan Pasal 201 ayat (10) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016, yakni:
"Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Salah satu syarat menjadi Penjabat Gubernur adalah "berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya", yang berdasarkan penafsiran otentik, selanjutnya merujuk pada Pasal 1 angka 7, Pasal 19 dan Pasal 108 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014. Sementara mekanisme prosedural pemilihan Jabatan Pimpinan Tinggi selain instansi pusat, dapat ditemukan dalam Pasal 109 s/d Pasal 111 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014.

https://fokus.tempo.co/read/1098950/kontroversi-m-iriawan-jadi-penjabat-gubernur-jawa-barat
Norma lain yang relevan dengan penunjukan itu terdapat juga pada Pasal 109 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014, yakni: "Jabatan Pimpinan Tinggi dapat diisi oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif".

Hal mana yang sejalan dengan ketentuan Pasal 28 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002, yakni: "Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian".

Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002, menyatakan bahwa jabatan di luar kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri. Sementara dalam hal ini, dipilihnya M. Iriawan sebagai Sekretaris Utama Lemhanas, secara logis berdasarkan penugasan dari atasannya yakni Kepala Kepolisian RI, sehingga penujukkan tersebut tidaklah terikat dengan klausul "setelah mengundurkan diri ataupun pensiun".
Berbeda halnya dengan Penjabat Gubernur. Oleh karena jabatan tersebut tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau penugasan Kepala Kepolisian RI, melainkan Menteri Dalam Negeri, maka klausul "setelah mengundurkan diri ataupun pensiun" dalam Pasal 28 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002, haruslah diterapkan. Sehingga status M. Iriawan yang belum mengundurkan diri ataupun pensiun dari Kepolisian, dinilai merupakan suatu pelanggaran norma.
Sementara itu, pemerintah menyatakan bahwa terdapat aturan yang menjadi dasar penunjukan M. Iriawan menjadi Penjabat Gubernur Jawa Barat, yakni Pasal 201 ayat (10) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 jo. Pasal 19 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014, yang dalam penjelasannya mendefinisikan: ”jabatan pimpinan tinggi madya meliputi sekretaris jenderal kementerian, sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga nonstruktural, direktur jenderal, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, Kepala Sekretariat Presiden, Kepala Sekretariat Wakil Presiden, sekretaris militer Presiden, Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara".
Dengan argumen hukum tersebut, pemerintah mengasumsikan karena M. Iriawan menjabat sebagai Sekretaris Utama Lemhanas, yang termasuk katagori Jabatan Pimpinan Tinggi Madya, maka memenuhi syarat untuk dijadikan Penjabat Gubernur. Komplemen dengan argumen lain yakni pada saat ditunjuk, M. Iriawan bukanlah Polisi aktif yang secara struktural berada dibawah Kapolri, melainkan sebagai Sekretaris Utama Lemhanas.
Bila ditelaah, Pasal 19 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tidaklah menjelaskan syarat untuk menjadi Penjabat Gubernur harus dari Jabatan Pimpinan Tinggi Madya, melainkan jabatan apa saja yang termasuk kriteria Jabatan Pimpinan Tinggi Madya. Sehingga, norma tersebut sebenarnya tidak mengenyampingkan norma Pasal 109 ayat (2) di Undang-undang yang sama, maupun Pasal 28 ayat (3) Undag-undang Nomor 2 Tahun 2002.
Singkatnya, tidak ada pertentangan norma diantara ketiga Undang-undang tersebut, yang berbeda adalah penafsiran terhadap ketiganya. Kata kunci dari ketiga norma berkenaan dengan penunjukkan Penjabat Gubernur dari Kepolisian tersebut adalah "pengunduran diri atau pensiun" dan "penugasan dari Kapolri" secara alternatif. Bila salah satu atau kedua klausul tersebut ada dan dipenuhi, maka penunjukkan Penjabat Gubernur dari Kepolisian, tidaklah melanggar peraturan perundang-undangan.


UNDANG-UNDANG
NOMOR 10 TAHUN 2016
UNDANG-UNDANG
NOMOR 5 TAHUN 2014
UNDANG-UNDANG
NOMOR 2 TAHUN 2002
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 11 TAHUN 2017
Pasal 201 ayat (10):

"Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan"


Pasal 19 ayat (1) huruf b:

"Jabatan Pimpinan Tinggi terdiri atas: Jabatan pimpinan tinggi madya"

Penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf b:

”jabatan pimpinan tinggi madya meliputi sekretaris jenderal kementerian, sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga nonstruktural, direktur jenderal, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, Kepala Sekretariat Presiden, Kepala Sekretariat Wakil Presiden, sekretaris militer Presiden, Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara".




Pasal 109 ayat (2):

"Jabatan Pimpinan Tinggi dapat diisi oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif".
Pasal 28 ayat (3):

"Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian"

Penjelasan Pasal 28 ayat (3):

"Yang dimaksud dengan "jabatan di luar kepolisian" adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri"
Pasal 157 ayat (1):

Prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat mengisi JPT pada Instansi Pemerintah selain Instansi Pusat tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif;


Selain norma itu, ketentuan Pasal 159 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, secara kasuistis relevan dengan penunjukkan Penjabat Gubernur Jawa Barat, yakni:


"Persyaratan untuk dapat diangkat dalam JPT dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia setelah mengundurkan diri dari dinas aktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 sebagai berikut:
JPT madya:
1.  memiliki kualifikasi pendidikan paling rendah pascasarjana;
2.  memiliki Kompetensi Teknis, Kompetensi Manajerial, dan Kompetensi Sosial Kultural sesuai standar kompetensi Jabatan yang ditetapkan;
3.  memiliki pengalaman Jabatan dalam bidang tugas yang terkait dengan Jabatan yang akan diduduki secara kumulatif paling singkat selama 7 (tujuh) tahun;
4.  memiliki rekam jejak Jabatan, integritas, dan moralitas yang baik;
5.  usia paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun; dan
6.  sehat jasmani dan rohani"
Anotasi terhadapnya, poin 5 ketentuan Pasal 159 huruf b tersebut membatasi usia maksimal prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (setelah mengundurkan diri dari dinas aktif), yang dapat mengisi Jabatan Pimpinan Tinggi Madya. Sementara Mochamad Iriawan yang dilahirkan 31 Maret 1962[3], saat ditetapkan menjadi Penjabat Gubernur Jawa Barat tentu berusia lebih dari 55 tahun.
Selain pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, dasar penunjukkan Penjabat Sementara Gubernur adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2018[4] yang merupakan Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Cuti Di Luar Tanggungan Negara Bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Walikota.
Tiga hal penting yang diubah berkenaan dengan nomenklatur, persyaratan (sumber) pimpinan jabatan tinggi, dan kewenangan penetapan. Sementara klausul mengenai "pengunduran diri dari dinas aktif" maupun "penugasan dari atasan (i.c.Kapolri)" tidak diatur lebih lanjut di dalamnya.
Menjadi bias dan ambivalen bila Permendagri tersebut menjadi salah satu dasar penunjukkan M. Iriawan sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat, sebab Pasal 201 ayat (10) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016, menggunakan istilah Penjabat Gubernur, sementara Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2018 menyebut Penjabat Sementara (disingkat pjs.)[5] sebagai perubahan nomenklatur pelaksana tugas di aturan sebelumnya.
Konklusi
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tidak menjelaskan secara tegas kewenangan menunjuk atau menetapkan Penjabat Gubernur. Akan tetapi berdasarkan penafsiran analogis terhadap ketentuan pasal 174 ayat (7) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016, bahwa yang menetapkan Penjabat Gubernur adalah Presiden, bukan menteri. Sehingga perubahan yang terjadi terhadap peraturan kebijakan mengenai Cuti Di Luar Tanggungan Negara Bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Serta Walikota dan Wakil Walikota, secara kasuistis merupakan sebuah anomali.

Terlepas dari konstelasi politik yang terjadi, penunjukan Penjabat Gubernur Jawa Barat ini memang rentan secara hukum. Setidaknya ada 2 aturan normatif yang menyaratkan klausul "mengundurkan diri dari dinas aktif" dan 1 aturan pelaksanaan yang menegaskan hal yang sama. Hal tersebut ditambah dengan dikesampingkannya aturan tentang usia maksimal seorang TNI/POLRI untuk dapat diangkat menjadi pejabat tinggi madya.

Merujuk pada asas hukum umum, bahwa lex superiori derogat legi inferiori, dalam konteks aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan di atasnya. Perubahan nomenklatur, persyaratan dan substansi lainnya dalam suatu peraturan perundang-undnagan, harus sejalan dan tidak bertentangan dengan peraturan di strata atasnya yang serupa dan menjadi dasar keberadaan norma tersebut.

Demikian juga dengan norma yang tidak jelas atau belum diatur. Peraturan pelaksanaan dari Undang-undang, terlebih peraturan kebijakan, secara tegas tidak boleh membentuk norma yang sama sekali baru, karena fungsinya hanya melaksanakan atau menerjemahkan regulasi, sebagaimana Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011. Sejalan juga dengan prinsip pemberian kewenangan di Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014, secara atributif dan delegatif melalui peraturan perundang-undangan, maupun mandat berdasarkan penugasan.

Dengan memperhitungkan masa jabatan yang relatif singkat (± 3 bulan), yakni sejak dilantik sampai dengan pelantikan Gubernur definitif[6], upaya penegakan hukum terhadap fallacy tersebut sebenarnya bisa saja dilakukan gugatan administrasi ke PTUN, bila di dalamnya terdapat kepentingan yang dirugikan. Hal yang perlu dikaji, tentu tahapan pemeriksaan yang cepat dan aspek kemanfaatan hukum yang ditimbulkan darinya setelah penegakan hukum dilakukan.




[1] http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2018/06/18/iriawan-dilantik-jadi-penjabat-gubernur-jabar-ini-pesan-aher-426001
[2] https://www.merdeka.com/peristiwa/menkopolhukam-batalkan-usulan-pati-polri-jadi-penjabat-gubernur.html
[5] Pasal 7 ayat (2) huruf c Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2018, secara kontekstual membedakan Penjabat Gubernur dengan Penjabat Sementara (pjs). Di dalamnya diatur bahwa masa jabatan Pjs. berakhir, bila Penjabat Gubernur/Walikota/Bupati dilantik.
[6] Berdasarkan Lampiran Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017, tahapan PILKADA berakhir pada 9 Juli 2018. Sementara sengketa hasil PILKADA di MK berdasarkan Pasal 50 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2017, akan berakhir pada 26 September 2018.








Comments

Popular posts from this blog

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc

Kota Bandung dan Kota Malang