PERPRES TKA vs BURUH LOKAL
Peristiwa Mayday
Pergerakan kaum buruh-pekerja
merupakan efek dari sengitnya Revolusi Industri di Amerika maupun Eropa abad ke
-17 s/d 18. Pemodal yang memiliki akses besar terhadap perekonomian, menggenjot
produksi seluruh komoditas ekonomi, yang berdampak pada tuntutan untuk
meningkatkan produktivitas.
Libur nasional beberapa waktu lalu,
menjadi hari besar bagi saudara kita Buruh-Pekerja, memperingati momentum
pergerakannya demi penghidupan layak. Peringatan Hari Buruh Internasional (dikenal
dengan Mayday) tersebut berlatar dari
terlalu panjangnya durasi kerja para labour
di Amerika Serikat akhir abad ke-18, yakni 18 - 20 jam sehari. Hal yang
kemudian berkulminasi, membuat ratusan ribu buruh berdemonstrasi menuntut
dikuranginya jam kerja menjadi 8 jam.
Eksploitasi yang pada akhirnya
memantik kisruh pekerja vs pemodal,
menyebabkan mogok kerja dalam rentang waktu 1-4 Mei 1886. Dampaknya, puluhan
ribu pabrik tutup, sehingga pemodal dan penguasa mengambil tindakan represif
terhadap kaum buruh-pekerja (dikenal dengan Peristiwa Haymarket). Semangat itu kemudian
menyebar ke Eropa, salah satunya menyebabkan Revolusi Prancis yang
menghancurkan sekat-sekat monarkhi kekuasaan absolut antara kaum borjuis dan
proletar, termasuk kelas buruh-pekerja. Di bulan Juli 1889, ditetapkanlah
melalui Kongres Sosialis Dunia, peristiwa yang terjadi pada 1 Mei di Amerika
Serikat, sebagai Hari Buruh Sedunia.
Di Indonesia, tercatat Hari Buruh
pernah diperingati pada tahun 1920. Di era Orde Baru sampai dengan Era
Reformasi, tanggal 1 Mei belum secara resmi dinyatakan sebagai Hari Libur
Nasional. Baru di rezim pemerintahan SBY Jilid II (SBY-Boediono), tanggal 1 Mei
(Mayday) resmi dinyatakan sebagai hari libur nasional, yang dimulai tahun 2014.
Di momentum itu, secara konsisten massa demonstran kaum buruh-pekerja di berbagai
wilayah menyeru dan memperjuangkan hal yang sama: kesejahteraan kaum
buruh-pekerja.
Perpres TKA vs Nasib
Buruh-Pekerja Lokal
Disahkannya Peraturan Presiden Nomor
20 Tahun 2018 tentang Tenaga Kerja Asing, dianggap kian merebut dan
mempersempit ruang gerak tenaga kerja lokal. Kendati belum terbukti secara spesifik
dan empiris, implikasi pemberlakuan regulasi yang disahkan pada 29 Maret 2018 tersebut,
namun propaganda dan pemberitaan di media seolah menegaskan bahwa posisi kaum
buruh-pekerja saat ini cenderung semakin termarginalkan oleh TKA.
Semangat pembangunan -fisik- rezim
ini, dipercaya para pendukung pemerintah sebagai salah satu indikasi
keberhasilan program-program kerja yang dijanjikan di awal kampanye pemilihan
presiden. Jargon: "Kerja-kerja-kerja", paralel dengan banyak
didatangkannya investor asing untuk menanamkan modal di dalam negeri demi menopang
jalannya pembangunan tersebut.
Kementerian Tenaga Kerja RI
mencatat, dari tahun 2007, jumlah tenaga kerja asing di Indonesia mencapai 86
ribu orang. Di sisi lain Ombudsman (26/4) menemukan banyaknya Tenaga Kerja
Asing yang bekerja sebagai buruh kasar, dan mendapatkan upah lebih besar
daripada tenaga kerja lokal. Kebanyakan perstiwa tersebut didapati di proyek
yang investasinya berasal dari negara asal TKA.
Semisal di Morowali, data
pemerintah menyatakan TKA yang dipekerjakan sebanyak 2.100 orang, namun seorang
perwakilan buruh di acara ILC (1/5), menyatakan terdapat >8.000 orang TKA di
pabrik-pabrik yang merupakan joint
venture dengan perusahaan asing. Kebanyakan TKA itu adalah buruh kasar, hal
yang berseberangan dengan regulasi sebab tenaga kerja asing sebenarnya dilarang
bekerja sebagai buruh kasar (unskilled
labour).
Benar, bahwa
substansi dari Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 secara umum bersifat
normatif, setidaknya tak ada klausul yang tegas "memudahkan" Tenaga
Kerja Asing bekerja di Indonesia. Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun
2018 bahkan menegaskan privilege dari
Tenaga Kerja Lokal atas tenaga kerja asing. Sehingga sebenarnya, yang menjadi
persoalan utama adalah penegakan norma, bukan normanya. Singkatnya, banyaknya
tenaga kerja asing yang datang dan mengambil alih pekerjaan tenaga kerja lokal
adalah karena norma mengenai hal itu tidak ditegakkan dengan konsisten, baik
oleh pihak Imigrasi maupun Ketenagakerjaan
Upah yang rendah, merupakan
persoalan klasik buruh tiap tahun. Hal ini berhadapan langsung dengan kondisi
perekonomian yang relatif tidak stabil. Bisa saja kita mengabaikan fluktuasi
nilai tukar rupiah, yang menyentuh angka Rp. 13.900,-/ Dollar AS, atau
kebijakan makro/mikro apa yang dilakukan para petinggi di Pemerintahan Pusat
untuk menstimulus daya beli dan stabilitas ekonomi nasional. Namun yang nyata,
tarif listrik telah berulang mengalami kenaikan, harga BBM Non-Subsidi naik-turun
tidak jelas saat BBM Subsidi langka diperoleh. Terlebih harga barang konsumsi,
yang pasti terdampak oleh mulur mengkeretnya kedua komoditas utama penunjang
aktivitas masyarakat tersebut.
Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang
menjadi tolok ukur penghitungan upah buruh-pekerja itulah yang akan terdampak
langsung dari kebijakan moneter pemerintah. Pandangan skeptis mengenai kenaikan
Pertalite yang "hanya Rp. 200 rupiah saja diributkan", menjadi tidak
logis tatkala didapati bahwa hitung-hitungan ekonomi tidak sesederhana itu. Konsumsi
Pertalite yang minimal 15 liter per bulan, diikuti oleh kenaikan harga beras,
minyak goreng, telur, gula, tepung, sayur-sayuran, buah-buahan, susu, teh, kopi
dan sebagainya yang termasuk dalam komponen KHL, berapa total kenaikan biaya
hidup yang ditanggung buruh-pekerja setiap bulannya? Saat itulah tuntutan upah yang
proporsional dan layak dari buruh-pekerja menjadi logis.
Mendapati persoalan tersebut,
sejatinya urgensi Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tersebut juga patut
dipertanyakan. Dalam beberapa kesempatan, disampaikan pemerintah bahwa
diterbitkannya Peraturan tersebut adalah karena banyaknya keluhan mengenai
penempatan tenaga kerja asing di Indonesia, sehingga perlu dipermudah. Tujuan
regulasi itu juga diungkapkan berkaitannya dengan kepentingan meningkatkan
investasi yang sering terbentur perijinan penggunaan Tenaga Kerja Asing yang
rumit.
Pertanyaan mendasar atas hal ini
adalah Peraturan Presiden tersebut ditujukan untuk siapa? Untuk memudahkan apa?
Bukankah segala peraturan dan kebijakan sejatinya dibuat untuk kemaslahatan,
kesejahteraan dan kepentingan rakyat banyak? Apakah peraturan tersebut telah memenuhi
3 kriteria itu? Bila tidak, tentu menyimpangi asas-asas umum perundang-undangan
yang baik sebagaimana diungkapkan Gustav Radbruch, bahwa aturan itu tak hanya
melulu soal kepastian hukum, tapi juga harus bernilai manfaat (kemanfaatan
hukum) dan keadilan bagi masyarakat.
Disinilah peranan Serikat Pekerja,
APINDO dan Pemerintah untuk obyektif berembuk merumuskan kesepakatannya, baik
secara Bipartit maupun Tripartit. Investasi dan penggunaan TKA, memang tidak
dapat dihindari saat ini. Namun pelaksanaannya sudah seharusnya diatur dan
ditegakkan secara tegas dan berkesinambungan. Pemerintah harus memastikan bahwa
penerapan regulasi tersebut konsisten dan pelanggaran terhadapnya harus
dikenakan sanksi yang berat.
Suka
atau tidak, Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 telah diundangkan, artinya
semua pihak harus mendudukkannya sebagai hukum yang harus dipatuhi. Resistensi
terhadapnya juga harus dilakukan secara elegan dan konstitusional, seperti sikap
KSPI yang akan melakukan judicial review
terhadap Peraturan Presiden. Yang pasti, jangan sampai polemik diberlakukannya
Perpres ini menghambat investasi, terlebih malah membuat kaum buruh-pekerja lokal
menjadi terasing dan tersingkirkan di negeri sendiri.
Comments
Post a Comment