Rekonvensi Dalam Penegakan Hukum Administrasi


Salah satu karakteristik yang membedakan sengketa administrasi dengan sengketa keperdataan, adalah tiadanya gugat balik (rekonvensi) dalam pemeriksaan sengketa yang tengah berlangsung. Kendati pun tidak ada norma yang secara tegas di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 maupun Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 (selanjutnya disebut sebagai Undang-undang PERATUN), yang merestriksi adanya gugat balik tersebut, akan tetapi secara konsepsi, kaidah hukum administrasi memang tidak memungkinkan adanya gugatan dari Badan/Pejabat Tata Usaha Negara terhadap orang atau badan hukum perdata.
Namun demikian, perkembangan hukum administrasi secara faktual tidak menutup kemungkinan adanya gugatan yang dilakukan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara terhadap orang/badan hukum perdata atau Badan/Pejabat Tata Usaha Negara lainnya[1]. Akan tetapi yang akan menjadi fokus kajian dalam tulisan ini bukan mengenai hal itu, melainkan lebih kepada rekonvensi (gugat balik) yang dilakukan oleh orang/badan hukum perdata terhadap orang/badan hukum perdata lainnya, yakni Tergugat II Intervensi terhadap Penggugat.

Subyek Hukum Sengketa Administrasi
Secara umum, subyek hukum dalam suatu sengketa administrasi[2] terdiri dari Penggugat dan Tergugat. Berbeda halnya dengan kriteria Tergugat yang secara spesifik-otentik termuat dalam ketentuan Pasal 1 angka 12 UU PERATUN, yakni "Badan/pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan, dan kemudian digugat", kriteria dan klasifikasi Penggugat baru dapat ditelusur secara sistematis-gramatikal dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1) UU PERATUN, yang menyatakan: "Orang atau badan hukum perdata…., dapat mengajukan gugatan…".
Identifikasi bahwa Tergugat adalah Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, serta Penggugat adalah Orang atau Badan hukum Perdata, tentu telah tertanam dalam benak dan pikiran praktisi hukum administrasi. Hal demikian tentu tidaklah keliru, sebab secara normatif maupun implementasi dari asas-asas hukum administrasi, secara a contrario akan menganggap tidak lumrah kriteria Penggugat atau Tergugat selain apa yang telah terdoktrinasi lama tersebut. Kendatipun sejatinya, terdapat pula norma yang juga memberikan pemaknaan yang bersifat ekstensif terhadap kriteria Penggugat ataupun Tergugat, yakni sebagaimana secara kontekstual termuat dalam ketentuan Pasal 83 Undang-undang PERATUN, dan kemudian diistilahkan oleh Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara (Buku II) berdasarkan penjelasan Pasal tersebut, sebagai Pihak Intervensi[3].
Maka, dari norma yang termuat dalam Undang-undang PERATUN, sekurang-kurangnya terdapat 2 subyek hukum (pihak) dan sebanyak-banyaknya 3 subyek hukum (pihak) dalam suatu sengketa administrasi yang diperiksa Peradilan Tata Usaha Negara, yakni Tergugat, Penggugat dan Intervensi[4].
Penentuan kedudukan hukum dari subyek-subyek hukum tersebut didasarkan pada legal standing masing-masing, yakni:
1.  Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, sebagai Tergugat memiliki legal standing dalam suatu sengketa tata usaha negara karena produk hukumnya digugat dan dimohonkan untuk dinyatakan batal atau tidak sah;
2.  Orang atau badan hukum perdata sebagai Penggugat memiliki legal standing karena diterbitkannya suatu keputusan tata usaha negara (yang selanjutnya menjadi obyek gugatan) dianggap telah merugikan kepentingannya. Selain itu, penulis berpendapat bahwa terdapat 3 hal lain yang secara akumulatif harus menjadi prasayarat munculnya kepentingan tersebut, yakni terdapat hubungan sebab-akibat dari terbitnya keputusan dengan kerugian yang timbul, terdapat hubungan hukum/kepentingan yang serupa/setara bahkan saling bertentangan antara hal yang termuat dalam keputusan dengan kepentingan yang dirugikan tersebut, serta adanya keputusan tersebut secara langsung telah menghalangi, mengurangi, atau menghilangkan kepentingan/hubungan hukum tertentu;
3. Orang yang berkepentingan[5] sebagai intervensi, memiliki legal standing yang merupakan perpaduan antara legal standing Tergugat dalam hal mempertahankan keabsahan keputusan yang digugat, serta legal standing Penggugat, yakni potensi/kemungkinan adanya hubungan hukum/kepentingan yang serupa/setara bahkan saling bertentangan antara hal yang termuat dalam keputusan dengan tindakan hukum Penggugat (pengajuan gugatan), serta potensi bahwa adanya tindakan hukum Penggugat (pengajuan gugatan) tersebut secara langsung dapat menghalangi, mengurangi, atau menghilangkan kepentingan/hubungan hukumnya sebagaimana telah termuat di keputusan yang digugat;

Pengujian Keabsahan Keputusan
Dalam paradigma lama mengenai sengketa administrasi, ruang lingkup pengujian yang dilakukan oleh Peradilan Administrasi hanya terletak pada keabsahan suatu keputusan tata usaha negara. Hal demikian sebenarnya masih membekas sampai saat ini, kendatipun secara normatif Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan telah memperluas ruang lingkup kajian dan pengujian keabsahan, menjadi tak hanya keputusan administrasi, menjadi juga tindakan administrasi.
Hal yang sebanding dengan itu, adalah terbatasinya konsep pemikiran mengenai pengujian yang akan dan hendak dilakukan oleh Hakim Administrasi saat menangani suatu sengketa administrasi. Keputusan yang termuat secara eksplisit di dalam suatu gugatan, dan badan/pejabat tata usaha negara yang menerbitkannya, menjadi satu-satunya obyek dan subyek yang diujikan dan dibuktikan keabsahannya dalam pemeriksaan sengketa itu.
Setidaknya terdapat 2 hal pokok yang dijadikan "pembatasan tidak tertulis" dalam praktik pemeriksaan sengketa administrasi berkaitan dengan hal itu, yakni, pertama bahwa tidak dimungkinkan adanya gugat balik (rekonvensi) dalam pemeriksaannya, dan kedua, tidak diperbolehkannya putusan yang melebihi apa yang dimohonkan untuk diputus.
Pertama, gugat balik (rekonvensi) dalam sengketa administrasi tidaklah lazim atau logis, karena akan menjadi absurd tatkala badan/pejabat tata usaha negara balik menggugat orang/badan hukum perdata yang terlebih dahulu menggugat. Salah satu alasan logisnya adalah -dahulu- yang menjadi obyek sengketa dalam sebuah sengketa administrasi adalah keputusan tata usaha negara, yang hanya menjadi domain dari badan/pejabat tata usaha negara saja untuk menerbitkannya, sehingga menimbulkan pertanyaan, apabila badan/pejabat tata usaha negara hendak menggugat balik (rekonvensi), apakah yang hendak digugat dan apa obyek sengketanya?
Namun demikian, karena proses pemeriksaan sengketa administrasi tak hanya melibatkan Penggugat (orang/badan hukum Perdata) dan Tergugat (badan/pejabat tata usaha negara) saja, melainkan pula pihak lain yang berkepentingan (Intervensi)[6], maka bukankah dimungkinkan juga pihak intervensi tersebut mempersoalkan/menggugat balik keabsahan dari keputusan atau legal standing yang menjadi dasar diajukannya gugatan oleh Penggugat?. Sehingga, secara logika hukum dapat pula sebenarnya pihak intervensi ini menggugat keputusan yang dimiliki oleh Penggugat.
Kedua, apakah prinsip non-ultra petita dalam penegakan hukum perdata secara serta-merta juga dapat berlaku dan diterapkan saat penegakan hukum administrasi dilakukan? 
Terbatasinya pengujian terhadap keputusan tata usaha negara yang spesifik, berkembang dari doktrin Hakim Perdata yang dilarang memutus melebihi apa yang dimohonkan oleh Para Pihak sebagaimana ketentuan Pasal 178 HIR dan 189 Rbg, yakni Hakim dilarang untuk memutus mengenai hal-hal yang tidak diminta untuk diputus atau memutus lebih dari yang diminta untuk diputus.
Terkait hal ini, kaidah hukum yang mungkin jarang dijadikan referensi oleh Hakim Administrasi, adalah sebagaimana tertuang dalam salah satu Yurisprudensi, yakni Putusan Mahkamah Agung Nomor 5 K/TUN/1992, tanggal 21 Januari 1993, dimana dalam salah satu pertimbangan hukumnya memuat kaidah maupun anotasi, yang pada pokoknya berintikan: "Bilamana keputusan badan atau pejabat telah menyimpang dari ketentuan yang ada, maka Hakim PTUN berkewajiban mengambil Putusan untuk membatalkan keputusan yang digugat itu walaupun hal ini tidak dimohonkan untuk diputus oleh Penggugat sendiri"
Sebagai konsekuensi dari dibolehkannya ultra petita dalam putusan Peradilan Administrasi, secara doktrinal maka dimungkinkan pula putusan yang bersifat merugikan atau mengurangi kepentingan hukum dari Penggugat sendiri, dibandingkan sebelum saat gugatan tersebut diajukan dan diperiksa Pengadilan (reformatio in peius)[7]. Hal yang secara substansial, akan dinilai pragmatis bila dihadapkan dengan realitas bahwa tujuan suatu subyek hukum menggugat, adalah untuk memunculkan hal yang menguntungkan baginya, bukan malah merugikannya.
Berbeda dengan tugas Peradilan Umum maupun Peradilan Agama, Pasal 47 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 menyatakan dengan tegas bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara, tak hanya bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, tetapi juga menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Sehingga secara kontekstual, fungsi pemeriksaan di pengadilan tak hanya berhenti saat memutus, lebih dari itu, fungsi primernya adalah menyelesaikan sengketa tata usaha negara, hingga tuntas.
Pada fase "menyelesaikan" itulah menurut penulis, terdapat kekhususan lain dari Peradilan Administrasi yakni memastikan bahwa putusan yang dihasilkannya dapat memastikan keseluruhan rangkaian administrasinya tidak saling bertentangan atau menimbulkan persoalan hukum yang baru, termasuk adanya anasir-anasir selain apa yang telah diperiksa pokok pemeriksaan sengketa, dengan kata lain mencakup juga pengujian keabsahan atas keputusan/tindakan administrasi lain, yang berpotensi menghambat terselesaikannya sengketa administrasi.
Dalam konteks ini, sejalan dengan kaidah hukum dalam yurisprudensi tersebut di atas, maka jalan keluar untuk memastikan tidak adanya pertentangan hukum maupun hambatan dalam pelaksanaan putusan nantinya, serta demi terbentuknya keteraturan hukum (rechtorder) diantara rangkaian prosedural-substansial yang melingkupi pemeriksaan suatu sengketa administrasi, adalah memperluas lingkup pengujian dimana Hakim Administrasi secara obyektif dan terukur dapat mempertimbangkan hal-hal lain yang berkenaan langsung dengan pemeriksaan pokok sengketa administrasi.
Konsep Peradilan Sederhana dan Berkeadilan
Salah satu asas peradilan yang baik yang utama, adalah pemeriksaan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Hal ini telah ternormakan pula dalam ketentuan Pasal 2 ayat (4) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sengketa administrasi yang secara doktrinal tidak memungkinkan rekonvensi dalam pemeriksaannya, adalah hal yang logis dan lumrah tatkala pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut hanyalah Penggugat (orang/badan hukum perdata) dan Tergugat (badan/pejabat tata usaha negara) saja. Akan tetapi, hal tersebut tetap menjadi logis bahkan memenuhi asas peradilan yang sederhana dan cepat, bahkan berbiaya ringan, bila terdapat pihak Intervensi (orang atau badan hukum perdata) yang keputusannya digugat oleh Penggugat, dimana keduanya (Penggugat dan Tergugat II Intervensi) sama-sama memiliki keputusan yang bersubstansikan hal dan kepentingan hukum yang sama, serupa atau bahkan bertentangan (kontradiktif).
Pembuktian mengenai keabsahan kedua keputusan yang diterbitkan Tergugat secara bersamaan[8], akan lebih efektif dan efisien bila dibandingkan Penggugat dan Tergugat II Intervensi kemudian saling menggugat di 2 nomor gugatan dengan register yang berbeda.
Hal yang berpotensi akan timbul dari gugat balik tersebut adalah menjadi berubahnya sifat paralel/sejajarnya kepentingan antara Tergugat dengan Tergugat II Intervensi. Saat masing-masing keputusan (yang dimiliki Penggugat dan Tergugat II Intervensi) kemudian diujikan keabsahannya, maka dalam rekonvensi, kepentingan Tergugat II Intervensi akan menjadi tidak paralel/sejajar kepentingannya dengan Tergugat, malah Penggugat yang akan bergeser kepentingannya menjadi paralel/sejajar dengan Tergugat. Sehingga dalam batas-batas tertentu, Tergugat merupakan pihak yang sama sekali berdiri sendiri, sebab kedua keputusan yang (mungkin) diterbitkannya, sama-sama diuji keabsahannya.
Dalam sengketa dengan klasifikasi tertentu, dimana dimungkinkan adanya 2 (atau lebih) keputusan administrasi yang diterbitkan secara bersama-sama, pengujian keabsahan keduanya lebih dimungkinkan dilakukan secara bersamaan pula, sekaligus mempersingkat proses pengujian dan mencegah adanya disparitas bahkan inkonsistensi pernyataan keabsahan yang mungkin muncul bila pengujiannya dilakukan secara mandiri (terpisah). Klasifikasi sengketa administrasi tersebut misalnya dalam hal:
1.  Administrasi Pertanahan, dimana pengujian keabsahan sertipikat hak atas tanah, Surat Keputusan yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (dan/atau instansi bawahannya), atau dokumen administrasi pertanahan lainnya, yang secara spesifik bersifat ganda (tumpang tindih);
2.  Kepegawaian, adanya 2 atau lebih Surat Keputusan atas penetapan pengisian suatu jabatan tertentu dengan subyek hukum yang berbeda;
3.  Perijinan, adanya 2 atau lebih Surat Keputusan atas perijinan dengan subyek hukum yang berbeda;
4.  dan sebagainya;
Starting point (titik awal) dari gugatan oleh Penggugat, tentu berasal dari adanya legal standing atau kedudukan hukumnya yang merasa terganggu/dirugikan oleh keputusan administrasi yang digugatnya. Pengujian mengenai adanya legal standing dari Penggugat inilah, yang kemudian secara opsional dapat diposisikan sebagai dasar pengujian keabsahan dari keputusan yang dimilikinya (yang bersubstansikan kepentingan hukum setara, serupa atau bertentangan dengan keputusan lain yang digugatnya), apakah penerbitannya telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan/atau asas-asas umum pemerintahan yang baik, ataukah sebaliknya.
Legal standing semata berintikan eksistensi kerugian, dengan beberapa parameter ukur sebagaimana telah terurai sebelumnya, sementara keabsahan dari keputusan yang dimiliki Penggugat sebagaimana dimaksud di atas, merupakan awal atau sumber dari adanya legal standing tersebut. Sehingga dalam batas-batas tertentu (secara kasuistis), pengujian legal standing secara menyeluruh dapat juga berisikan pengujian korelatif terhadap keabsahan keputusan dari mana legal standing tersebut berasal. 

Kriteria dan batasan Rekonvensi
Pengujian secara bersamaan terhadap beberapa keputusan/tindakan yang bertentangan secara hukum di dalam suatu sengketa tata usaha negara, bertujuan menemukan kebenaran materiil dan substansial atas suatu keputusan/tindakan administrasi yang seharusnya dilakukan oleh badan hukum pemerintahan, apakah lebih tepat ditujukan kepada Penggugat, ataukah kepada Tergugat II Intervensi.
Ruang lingkup kajian dari pengujian tersebut tetap sama, yakni aspek kewenangan dan prosedural-substansial dari keputusan (beschikking), hanya saja dengan memperluas cakupan keputusan (beschikking) tersebut, menjadi tak hanya apa yang dimohonkan oleh Penggugat untuk dinyatakan batal atau tidak sah.
Dalam pemahaman penulis, tatkala konsepsi semacam ini diterapkan, sejalan dengan ketentuan Pasal 97 ayat (7) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, maka terdapat 3 kemungkinan sikap Majelis Hakim terhadap gugatan yang diajukan:
1.  Dikabulkannya gugatan, dengan dibatalkan/dinyatakan tidak sahnya keputusan yang digugat; atau
2.  Ditolaknya gugatan, dan mengadili sendiri dengan membatalkan atau menyatakan tidak sahnya keputusan yang dimiliki Penggugat (reformatio in peius); atau
3.  Dikabulkannya gugatan, yakni dibatalkan/dinyatakan tidak sahnya keputusan yang digugat, disertai dengan pembatalan pula terhadap keputusan yang dimiliki Penggugat (ultra petita dan/atau reformatio in peius);
Secara praktis, memang jenis putusan sebagaimana kriteria nomor 3 tidaklah lumrah, karena menghilangkan keseluruhan keputusan administrasi atas suatu hal tertentu, artinya baik keputusan milik Penggugat dan Tergugat II Intervensi semuanya dinyatakan batal/tidak sah berdasarkan hasil pertimbangan hukum.
Salah satu konsepsi yang hendak dibangun berdasarkan probabilitas pembatalan keseluruhan keputusan yang tengah disengketakan, adalah tanggung jawab mengenai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum yang diemban Hakim Administrasi. Tatkala mendapati bahwa terdapat keputusan yang tidak sesuai dengan aspek keadilan, dan mengganggu pula keteraturan hukum (recht order), maka secara ex officio Hakim haruslah meluruskan dan memperbaiki hal tersebut.
Contoh nyata misalnya terdapat sertipikat ganda di atas bidang tanah yang sama, yakni A (milik Tergugat II Intervensi dan B (milik Penggugat). Dalam persidangan, Sertipikat A milik Tergugat II Intervensi yang digugat ternyata terbukti mengandung cacad yuridis, demikian pula halnya berdasarkan bukti yang diajukan, Sertipikat B milik Penggugat pun ternyata mengandung cacad yuridis. Pada saat demikian, penulis berpendapat bahwa terhadap sertipikat tersebut haruslah dibatalkan terlebih dahulu keduanya, untuk "membersihkan" bidang tanah tersebut dari eksistensi alas hak atas tanah dan memberikan kesempatan kepada para pihak yang mengklaim berkepentingan atau memiliki agar menempuh (mengulang) kembali prosedural yang tepat dalam penerbitan sertipikatnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Membatalkan salah satu sertipikat yang cacad yuridis dengan membiarkan eksistensi sertipikat lain yang nyata terbukti cacad yuridis juga, menurut penulis mengandung inkonsistensi terhadap aspek penegakan hukum yang tak hanya harus berkenaan dengan "pasti hukumnya", melainkan juga harus "adil" dan "bermanfaat".
Dari uraian tersebut, terdapat prasyarat yang harus dipenuhi sehingga rekonvensi dalam sengketa administrasi dimungkinkan, yakni:
1.  Adanya pihak lain yang berkepentingan dan/atau Tergugat II Intervensi dalam sengketa tersebut, selain Penggugat dan Tergugat;
2.  Adanya keputusan dengan isi/konten kepentingan hukum yang setara/sebanding dengan keputusan yang digugatnya, dari masing-masing pihak (Penggugat dan Tergugat II Intervensi), seperti misalnya sertipikat ganda yang telah dicontohkan di atas;
3.  Adanya keyakinan dari Majelis Hakim yang memeriksa[9], mengenai urgensi ultra petita dan/atau reformatio in peius sebagaimana diuraikan di atas, yang berkenaan dengan tertib hukum (recht order) dalam administrasi negara yang bersangkutan, maupun kaitannya dengan aspek keadilan, kemanfaatan dan kepastian dalam penegakan hukum.
Disahkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, tentu seyogyanya memberikan paradigma baru dalam penegakan hukum administrasi, baik secara internal diantara badan/pejabat pemerintahan, dan terutama secara eksternal oleh Peradilan Administrasi yang dalam hal ini ditindaklanjuti dengan kajian mengenai pembaruan Hukum Acara Peradilan Administrasi.
Kajian ini, kendati substansinya tentu masih perlu diuji dan dikaji secara seksama, namun diharapkan dapat menjadi salah satu konsepsi usulan pemutakhiran dan penyempurnaan Rancangan Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara yang tengah disusun.


[1] Lihat, misalnya: https://nasional.tempo.co/read/691887/ptun-putuskan-kabupaten-kediri-pengelola-gunung-kelud
[2] Dengan alasan praktis, penulis mengidentikkan sengketa tata usaha negara dengan sengketa administrasi.
[3] Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara (Buku II), halaman 57-59.
[4] Kendatipun intervensi proporsinya lebih banyak didudukkan sepihak dengan Tergugat, namun sebenarnya dapat pula berkedudukan paralel dengan kepentingan Penggugat.
[5] Pasal 83 UU PERATUN hanya menyebutkan '"orang" bukan "badan hukum perdata". Namun dalam praktiknya, penerapan kaidah pihak Intervensi, tidak terbatas pada orang saja, melainkan juga terhadap "badan hukum perdata", hal ini secara norma memang merupakan sebuah penyimpangan, akan tetapi menurut penulis berdasarkan penafsiran ekstensif dan analogis terhadap konteks Penggugat sebagaimana Pasal 53 ayat (1) UU PERATUN, terlebih makna substansi dari "kepentingan" itu sendiri, menjadi sandaran hukum bahwa "badan hukum perdata" dapat diposisikan sebagai Intervensi.
[6] Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 menyatakan bahwa: "Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa Hakim, dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai :  a. pihak yang membela haknya; atau  b. peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa".
[7] Anotasi dalam Yurisprudensi sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomor 5 K/TUN/1992, tanggal 21 Januari 1993.
[8] Sepanjang substansi keputusan dimaksud adalah sama, maka logika hukumnya keputusan tersebut diterbitkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang sama. Misal: adanya sertipikat ganda di atas sebuah bidang tanah, tentu sama-sama diterbitkan oleh Kantor Pertanahan di lokasi tanah itu berada.
[9] Sebagaimana ketentuan Pasal 107 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.



Comments

Popular posts from this blog

Kota Bandung dan Kota Malang

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc