Perbuatan Pemerintah (Bestuurhandelingen) Dalam Praktik Adminstrasi (3)
Konsep Hukum Beleid
dan Beleidsregels
Beleid dapat pula dikatakan sebagai perwujudan dari
diskresi, yang sesuai dengan konsep teorinya adalah reaksi faktual baik secara
spontan maupun terencana dari badan/pejabat pemerintah atas suatu hal yang
tidak diatur di dalam perundang-undangan, namun memerlukan penyelesaian
sesegera mungkin guna memecah kebuntuan administrasi maupun memperlancar
jalannya roda pemerintahan.
Surat Edaran atau Surat Himbauan merupakan titel
yang umum dari sebuah beleid. Alasan hukumnya adalah baik edaran maupun
himbauan, merupakan tindakan nyata/faktual dari badan atau jabatan administrasi
yang berisikan petunjuk atau standar nilai tertentu, sehingga suatu
tindakan/administrasi akan dikatagorikan sebagai tindakan/administrasi
pemerintah yang senada dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, dengan dasar
tafsiran atau standar penilaian dari badan/jabatan administrasi yang
mengeluarkannya.
Tafsiran inilah yang
selanjutnya secara praktis menjadi dasar pemikiran Menteri PAN-RB, Yuddy
Chrisnandi, menganggap Cuti setelah Idul Fitri 1437 H. dihimbau untuk dilarang
diberikan melalui Surat Nomor B/2337/M.PANRB/06/2016, karena konteks kebijakan
yang diagunakan adalah asumsi bahwa Cuti Bersama dan Libur Idul Fitri telah
cukup lama. Tinggal dikaji saja, koherensinya dengan peraturan
perundang-undangan, apakah beleid itu
bertujuan memudahkan urusan administrasi pemerintahan, menafsirkan ketentuan
mengenai pemberian hak cuti, ataukah sebaliknya, mengatur hal yang sama sekali
bertentangan dengan regeling maupun beschikking. Yang paling utama, karena
itu adalah beleid¸maka memperlakuannya
seolah-olah sebagai sebuah beschikking
bahkan regeling yang bersifat
imperative dan mau-tak mau harus dipatuhi, adalah sebuah kekeliruan
administrative, bahkan cara berpikir yang tidak tepat.
Contoh lain secara praktis
terkait beleid, adalah pembatasan
pemberian hak cuti sejumlah 5% dari keseluruhan pegawai sebagaimana Penjelasan
Umum Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1976. Hal pertama yang perlu diluruskan adalah kedudukan penjelasan dalam
sebuah peraturan perundang-undangan, bukanlah bagian dari norma yang mengikat
atau berakibat hukum di peraturan tersebut, dan tak lebih merupakan tafsiran
atau analogi konkrit dari pembentuk peraturan saja.
Hal kedua, norma dalam suatu regeling sebagaimana eksistensi
penjelasan dalam peraturan perundang-undangan, bila dianggap sebagai sebuah
petunjuk pelaksanaan urusan administrasi pemerintahan, tentu bisa ditafsirkan,
termasuk melalui beleid. Identik
dengan padanannya, beleid harus pula
mampu merefleksikan sifat “arif” dan “bijak”, serta kaidah yang memudahkan -bukan membebankan- pelaksanaan
administrasi Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penalaran
yang utama tentang beleid itu tentu
keharusan sejalan dengan aturan dasarnya, tidak bersifat mengatur apalagi
menentukan hal baru yang kontradiktif dan tidak senafas dengan normanya.
NOMENKLATUR
|
RECHTHANDELINGEN
|
FEITEDELIJKHANDELINGEN
|
||
Beschikking
|
Regeling
|
Materiale Daad
|
Beleid
|
|
Tipikal
|
Keputusan/Penetapan
|
Peraturan
|
Perjanjian
|
Edaran/Himbauan
|
Substansi pengaturan
|
Konkrit, Individual,
Final
|
Umum
|
Kesepakatan adalah
hukum Pacta Sunt Servanda
|
Tafsiran Badan/Jabatan
atas aturan
|
Akibat Hukum
|
Erga Omnes
|
Erga Omnes
|
Inter Partes
|
Tidak ada akibat hukum
|
Sifat
|
Konstitutif/Deklaratif/Condemnatoir
|
Konstitutif/Deklaratif/Condemnatoir
|
Konstitutif/Deklaratif/Condemnatoir.
Sebagaimana pasal 1320 KUHPerdata
|
Memudahkan Pelaksanaan
aturan/keputusan. Tak ada pembebanan akibat hukum.
|
Aspek utama yang menyebabkan edaran atau himbauan tidak
dikatagorikan sebagai beschikking apalagi regeling adalah
ketiadaan pernyataan kehendak (wilsvorming) dari penerbitnya, untuk
dipatuhi tanpa kecuali. Ini tergambar dari title maupun substansi yang
digunakan yakni, edaran ataupun himbauan yang secara gramatikal harus
ditafsirkan sebagai “nilai yang baik” atau “nilai yang berstandar baik”, yang
tentu berkaitan dengan etika, bukan “hal yang benar” atau “batasan tentang hal
yang benar” yang berkaitan dengan norma imperatif.
Atas dasar pemikiran tersebut, maka beleid
hanya bernilai etika, bukan bernilai hukum. Sehingga akibat pengabaian terhadap
sebuah beleid, baik dalam bentuk Surat Edaran maupun Himbauan hanya
bersifat sanksi etika belaka, tidak berakibat sanksi hukum. Pun halnya dengan
penundukkan terhadap substansi dari beleid tersebut, pengabaian
terhadapnya bukanlah pelanggaran hukum atau norma, karena apa yang termuat di
dalamnya tidak memiliki keterikatan hukum.
Di sisi lain, oleh karena tidak memiliki sanksi
konkrit, beleid kerap diabaikan sebagai salah satu acuan pelaksanaan
administrasi Negara, sehingga untuk memunculkan sifat imperative di dalamnya,
muncullah konsep baru yang kendati sejatinya merupakan sebuah kebijakan, akan
tetapi dikondisikan agar memiliki akibat dan sanksi hukum di dalamnya.
Karena isi muatannya merupakan juga suatu
pengaturan yang bersifat umum seperti halnya peraturan perundangan biasa, maka
hal itu disebut sebagai perundang-undangan semu atau pseudo wetgeving
atau spigel regelingen. Isi muatan dari keputusan TUN demikian itu,
merupakan pelaksanaan atau penjabaran kebijaksanaan-kebijaksanaan lebih lanjut
dari wewenang diskresioner yang dimiliki dan harus dilaksanakan oleh para badan
atau jabatan TUN sebagai aparat pemerintah. Oleh karena itu, lalu dinamakan
sebagai peraturan kebijaksanaan atau beleidsregels[2].
Peraturan kebijaksanaan (beleids
regel), merupakan produk hukum yang lahir dari kewenangan mengatur
kepentingan umum secara mandiri atas dasar prinsip freijs ermessen yang dalam prakteknya banyak dituangkan dalam
bentuk Keputusan Presiden atau Keputusan Menteri, akibatnya banyak Keputusan
Presiden yang ditetapkan, termasuk dalam materi ketentuan yang seharusnya
dituangkan dalam bentuk undang-undang, ditetapkan sendiri oleh Presiden tanpa
melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat[3].
Akan
tetapi dalam bentuknya sebagai suatu peraturan kebijaksanaan (beleids
regel/policy rules), Bagir Manan
mengatakan bahwa peraturan kebijakan bukan peraturan
perundang-undangan sehingga asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap
peraturan perundang-undangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijakan.
Suatu peraturan kebijakan tidak dapat diuji secara hukum (wetmatigheid),
karena memang tidak akan ada dasar peraturan perundang-undangan untuk membuat
peraturan kebijakan. Peraturan kebijakan dibuat berdasarkan freies ermessen dan
ketiadaan wewenang administrasi negara yang bersangkutan untuk membuat
peraturan perundang-undangan (baik karena secara umum tidak berwenang maupun
terhadap obyek yang bersangkutan tidak berwenang mengatur, karena tidak ada
peraturan perundangan yang mengatur). Selanjutnya dikatakannya bahwa pengujian
terhadap peraturan kebijakan lebih diarahkan pada doelmatigheid dan
karena itu batu ujiannya adalah asas-asas umum penyelenggaraan pemerintah yang
layak[4].
Baik beleid maupun beleidsregel dalam
kajian hukum administrasi, bukanlah sebuah keniscayaan. Hanya saja, tidak
segala aspek pelaksanaan administrasi Negara dapat diterjemahkan dalam beleid
maupun beleisregel. Setidaknya batasan tersebut diungkapkan oleh Van
Kreveld dalam disertasinya, bahwa syarat disusunnya suatu beleidsregels adalah[5]:
1. Tidak boleh bertentangan dengan
peraturan dasar yang mengandung wewenang diskresioner yang dijabarkannya itu;
2. Tidak boleh nyata-nyata
bertentangan dengan nalar yang sehat. (common
sense-pen.);
3. Harus dipersiapkan dengan cermat,
dengan pertimbangan teknis dari pihak-pihak yang terdampak;
4. Isinya harus jelas dan pasti
mengenai hak-hak dan kewajiban dari pihak-pihak yang terdampak;
5. Harus dapat menjelaskan
dasar-dasar dan tujuan diterbitkannya peratuan kebijakan tersebut;
6. Harus memenuhi syarat kepastian
hukum materiil. Hak dari pihak yang terdampak harus dihormati dan pengharapan
yang pantas dan telah ada sebelumnya tidak boleh dilanggar;
Karena tujuan awalnya adalah melancarkan urusan
pemerintahan, maka beleid maupun beleidsregel harus bercirikan
“menguntungkan” atau “memudahkan” pihak-pihak yang akan terdampak dalam
pelaksanaan tugas dan fungsinya di dalam pemerintahan, sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, bukan sebaliknya malah
membebani atau menimbulkan kerugian bagi pihak yang ditujunya[6].
Tabel 2
BELEIDBESCHIKKING
|
BELEIDSREGEL
|
BELEID
|
Kebijakan untuk
melaksanakan keputusan
|
Kebijakan untuk
melaksanakan peraturan
|
Kebijakan untuk
melaksanakan peraturan
|
Terjemahan pejabat
untuk memudahkan pelaksanaan sebuah keputusan/penetapan
|
Terjemahan pejabat
untuk memudahkan pelaksaan sebuah peraturan
|
Terjemahan pejabat
untuk memudahkan pelaksaan sebuah peraturan/beschikking
|
Di luar UU 12 Tahun
2011
|
||
Memiliki Akibat Hukum
tertentu.
|
Tidak memiliki akibat
hukum
|
|
Sifatnya Declaratoir
dan/atau Condemnatoir
|
Sifatnya memberikan
kemudahan/keringanan dalam pelaksanakan urusan pemerintahan
|
|
Keputusan Menteri
|
Peraturan Menteri
|
Surat Himbauan
|
Sumber: Penulis (diolah).
Persoalan lain yang muncul terkait eksistensi beleid
maupun beleidsregels adalah pengujian keabsahannya. Perangkat
perundang-undangan telah jelas dan tegas menunjukkan upaya dan institusi yang
berwenang menguji keabsahan (rechtmatieg) suatu regeling, baik di
level Undang-undang (ke Mahkamah Konstitusi) maupun level di bawah
Undang-undang, yaitu Peraturan Pemerintah dan seterusnya ke bawah (ke Mahkamah
Agung). Begitu pun halnya dengan kewenangan menguji keabsahan beschikking,
dengan pengajuan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara. Yang menjadi persoalan
besar, tatkala beleid ataupun beleidsregel memuat substansi yang
cacat secara substansi maupun prosedural, upaya atau institusi mana yang
berwenang menguji keabsahannya?
Baik beleid maupun beleidsregels
harus menduduki proporsi yang konsisten dan koheren secara fungsional maupun
konstitusional dengan aturan (regeling maupun beschikking) yang
mengatur substansi serupa. Beleid maupun beleidsregels secara
mutlak tidak bisa kontradiktif maupun menyimpangi aturan pokok di dalam regeling
ataupun beschikking, dengan alasan apapun juga. Semuanya harus
dikembalikan ke dalam fungsi pokok dari sebuah kebijakan, yakni memudahkan dan
melancarkan pelaksanaan administrasi pemerintahan. Bukan untuk menentukan atau
membentuk aturan yang sama sekali baru dan berbeda dengan peraturan
perundang-undangan yang telah ada sebelumnya.
Baik beleid maupun beleidsregels
harus menduduki proporsi yang konsisten dan koheren secara fungsional maupun
konstitusional dengan aturan (regeling maupun beschikking) yang
mengatur substansi serupa. Beleid maupun beleidsregels secara
mutlak tidak bisa kontradiktif maupun menyimpangi aturan pokok di dalam regeling
ataupun beschikking, dengan alasan apapun juga. Semuanya harus
dikembalikan ke dalam fungsi pokok dari sebuah kebijakan, yakni memudahkan dan
melancarkan pelaksanaan administrasi pemerintahan. Bukan untuk menentukan atau
membentuk aturan yang sama sekali baru dan berbeda dengan peraturan
perundang-undangan yang telah ada sebelumnya.
Beberapa parameter sebagaimana tersebut di ataslah
yang seharusnya dijadikan tolok ukur, bagaimana implementasi good governance
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, dimana dengan mengadaptasi konsep stufenbau
theory, maka peraturan perundang-undanganlah yang menjadi puncak acuan
pelaksanaan admistrasi Negara, selanjutnya beerpedoman pada keputusan
administrasi, baru di bawahnya adalah peraturan kebijakan (beleidsregel)
maupun kebijakan (beleid) dalam rangka mempermudah pelaksanaan
administrasi Negara. Tidak sebaliknya, mengenyampingkan norma hukum dalam
peraturan maupun keputusan, dan menempatkan beleidsregel dan beleid
seolah-olah sebagai lex specialis yang menjadi pedoman konkrit
pelaksanaan administrasi pemerintahan. Akan menjadi sebuah paralogis.
[1] Alasan logis mengapa beleid, baik dalam bentuk: (a). sikap
yang “menganggap” pembatasan pemberian Cuti sebesar 5% dari jumlah pegawai di
dalam Penjelasan PP 24 Tahun 1976 sebagai bagian dari norma positif, ataupun; (b).
menerapkan aturan 5% sebagai beleid personal
pejabat administrasi secara tersendiri, merupakan sebuah kekeliruan, adalah
berpulang pada sifat beleid itu sendiri.
Apakah memuat unsur “kebijakan”, saat pejabat administrasi menerapkan aturan 5%
pemberian cuti, tanpa sama sekali mempertimbangkan tempat (pusat dan pelosok)
pekerjaan, dan waktu (hari biasa dan hari-hari khusus) dalam pemberian cutinya?
Bukankah pemberlakuan aturan yang umum dan abstrak lebih merupakan sifat dari
peraturan, bukan kebijakan?
[2] Indroharto, op.cit, hlm. 197
[3] Jimly
Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD
1945, 2004, Yogyakarta: FH UII
Press, hlm. 25
[4] Bagir Manan, Peraturan Kebijakan, Varia Peradilan, Desember, 2008, hlm.15
[5] Indroharto, ibid, hlm. 200.
[6] Misalnya Surat Edaran Nomor:
33-1/SEK/KU.01/2/2016, Sekretaris Mahkamah Agung mengenai Ketatalaksanaan
Pengadilan, yang secara substantive bersifat menguntungkan Ketua, Wakil Ketua,
Panitera dan Sekretaris Pengadilan dalam hal urutan prioritas penggunaan
fasilitas barang milik Negara, meskipun di sisi lain juga ternyata merugikan
dan mengenyampingkan jabatan Hakim yang tidak termasuk dalam prioritas
sebagaimana substansi Edaran tersebut.
Comments
Post a Comment