PERBUATAN PEMERINTAH (BESTUURHANDELINGEN) DALAM PRAKTIK ADMINISTRASI (2)
Tindakan Faktual dan
Diskresi
Varian
lain dari perbuatan pemerintah adalah perbuatan faktual (feitelijkehandeling),
yang definisi sederhananya adalah tindakan-tindakan yang tidak ada
relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak menimbulkan akibat hukum[1]. Menurut
Kuntjoro Probopranoto, tindakan berdasarkan fakta (feitelijkehandeling)
ini tidak relevan, karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan
kewenangannya[2].
Konsep yang secara praktis hampir mirip
dengan perbuatan faktual adalah diskresi, sebab pelaksanaannya tidak bersumber
dan didasarkan pada keberadaan peraturan perundang-undangan, baik berkenaan
dengan kewenangannya, tipikal perbuatan/tindakan administrasinya maupun akibat
hukum dan daya ikatnya. Dapat dikatakan bahwa diskresi merupakan reaksi dari
pejabat administrasi terhadap persoalan hukum yang belum memiliki aturan rigid,
sementara keadaan mengharuskan segera dilaksanakannya suatu perbuatan
administrasi. Yang membedakannya dari perbuatan faktual adalah keberadaan
akibat hukum yang ditimbulkannya.
Diskresi didefinisikan sebagai kebebasan mengambil keputusan dalam
setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya[3].
Dalam pemahaman umum, diskresi sering disamakan dengan freiss ermessen meskipun ada pula yang menganggap bahwa diskresi
merupakan species dari freiss ermessen, yang didefinisikan oleh
Philippus M. Hadjon sebagai kebebasan bertindak yang pada dasarnya berarti kebebasan untuk menerapkan peraturan dalam
situasi konkrit tersebut dan kebebasan untuk bertindak meskipun tidak ada atau
belum ada peraturannya secara tegas (sifat aktifnya pemerintah)[4].
Hal inilah yang mendasari pemikian penulis untuk mengidentikkan diskresi dengan
perbuatan faktual, karena sama-sama menekankan pada perbuatan nyata (faktual)
dalam menjalankan fungsi administrasi pemerintahan.
Dengan merujuk kembali pada teori
perundang-undangan sebagaimana telah diulas sepintas sebelumnya, segala
perbuatan hukum pemerintah secara umum dapat dikatakan didasari oleh adanya
keabsahan (validity) untuk melaksanakannya. Bila jelas sumber dan dasar
eksistensinya, maka itulah yang dinamakan kewenangan baik secara atributif,
delegatif maupun mandat. Sementara bila tidak/belum jelas dasar keabsahannya,
maka seyogyanya disepakati hal itu didasarkan pada diskresi yang kerap
dijalankan untuk memperlancar dan mereduksi hambatan administasi Negara.
Keputusan atau tindakan pemerintahan yang
dilakukan atas dasar diskresi seharusnya memiliki sifat, kriteria dan akibat
hukum yang serupa, baik dalam proses pembentukannya, sifat keterikatannya, dan
secara ideal memang harus dianggap sama dengan keputusan atau tindakan
administrasi berdasarkan wewenang atributif maupun delegatif.
Asumsi semacam ini mendapat justifikasi dan
contoh konkrit yang kendati agak kontroversial dan menimbulkan polemik, namun
menunjukkan seperti apa pemahaman diskresi di kalangan administrator pemerintah
yakni pernyataan Kepala Kepolisian RI tentang Konvoi Moge di Yogyakarta, yang
diberitakan media disebabkan adanya “Hak Diskresi” pada setiap polisi[5],
apakah implementasi dan pemahaman mengenai diskresi telah tepat diterapkan
semacam itu?
Baik stufenbautehorie Hans Kelsen,
maupun stufenordnung der rehcstnormen Hans Nawiansky, keduanya memiliki
konsensus bahwa norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis. Suatu norma
itu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya lagi, demikian
seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi dan tidak dapat ditelusuri
lagi sumber dan asalnya[6].
Berdasarkan dua deskripsi tersebut, penulis
berpendapat bahwa oleh karena sifat “saling mengadakan” dan “saling meniadakan”
antar norma di dalam piramida perundang-undangan, sebagaimana teori hierarkhi
perundang-undangan tersebut, maka bila muncul norma/aturan yang dibentuk selain
dari klausul “saling mengadakan” dan “saling meniadakan” tersebut, sumber validity-nya
bukanlah wewenang, melainkan hasil diskresi.
Hal yang sama pula, yang penulis tafsirkan
terhadap eksistensi dan hierarki jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana
disebutkan dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011,
bahwa kesemua jenis norma in cassu peraturan perundang-undangan yang
eksplisit disebutkan disana – kecuali Pancasila yang merupakan grundnorm-,
merupakan manifestasi dari wewenang (atribusi maupun delegasi) terkait
perbuatan hukum pemerintah, dalam hal dibentuknya regeling serta aturan
pelaksanaannya, yang diistilahkan Hans Nawiansky sebagai Verordnung dan autonome
satzung, termasuk pula beschikking dalam praktik
administrasinya.
Sehingga terhadap hal ini penulis berpendapat
bahwa, segala produk aturan yang berkaitan dengan perbuatan pemerintah (bestuurhandelingen),
sepanjang tidak memenuhi klausul “saling mengadakan” dan “saling meniadakan” sebagaimana
konsep utama pemikiran mengenai stufenbau theorie tersebut dan sepanjang
tidak pula termuat di dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana Pasal
Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, tak lebih merupakan beleid
dan jika pun tidak demikian, maka setidaknya hanya berada pada level beleidsregels
saja, yang sumbernya berdasarkan diskresi badan/jabatan administrasi
negara.
Penormaan diskresi secara formal dilakukan
dalam kajian pasal-perpasal melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014. Sama
halnya dengan penormaan asas-asas umum pemerintahan yang baik di dalam
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 maupun Undang-undang lainnya, menurut hemat
penulis pemuatan norma diskresi di dalam suatu perundang-undangan, dengan
sendirinya akan mempersempit konsep mengenai diskresi itu sendiri sebab syarat-syarat
suatu tindakan/keputusan dikatakan sebagai sebuah diskresi akan menjadi lebih
terbatas dan terikat dengan norma hukum positif.
Kewenangan diskresi sejatinya digunakan
dengan tujuan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat
bukan sebaliknya dan untuk mencapai tujuan
bernegara tersebut maka pemerintah berkewajiban memperhatikan dan memaksimalkan
upaya keamanan sosial dalam arti seluas-luasnya. Hal tersebut mengakibatkan
pemerintah harus aktif berperan mencampuri bidang kehidupan sosial-ekonomi
masyarakat (public service) yang mengakibatkan administrasi negara tidak
boleh menolak untuk mengambil keputusan ataupun bertindak dengan dalih
ketiadaan peraturan perundang-undangan (rechtsvacuum). Oleh karena itu
untuk adanya keleluasaan bergerak, diberikan kepada administrasi negara
(pemerintah) suatu kebebasan bertindak yang seringkali disebut fries
ermessen (Jerman) ataupun pouvoir discretionnaire (Perancis)[7].
Perkembangan Konsep Bestuurhandelingen
Sebagaimana telah
dipaparkan sebelumnya, karena relevansinya dengan pemenuhan esensi dari Negara
kesejahteraan yang terkadang berhadap-hadapan secara konfrontatif dengan
kekakuan peraturan, maka praktik administrasi Negara dewasa ini kerap dihiasi
dengan penggunaan diskresi dalam berbagai tindakan administrasi Negara.
Konsepsi
pembagian kekuasaan yang secara eksplisit menunjukan pembedaan fungsi alat
Negara menjadi pembentuk, pelaksana dan penegak perundang-undangan juga secara vis
a vis berpotensi menghambat tujuan Negara kesejahteraan, bila diterapkan
secara tegas dan kaku. Bila proses pembentukan peraturan harus selalu menempuh
kajian panjang dan politis di legislatif, maka realisasi dari tujuan
kesejahteraan rakyat akan terhambat sebab menempuh proses yang tidak singkat, bertele-tele,
bahkan saat dalam tahap penyusunannya saja, terlebih saat pelaksanaannya.
Maka
dari itu, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 mengakomodir kewenangan dari
eksekutif untuk membuat regeling, dalam bentuk Peraturan Pemerintah
maupun Peraturan Presiden, kendati tetap harus sejalan dan memiliki keterikatan
konstitusional maupun fungsional dengan peraturan perundang-undangan di
atasnya. Hal mana yang sejalan dengan esensi teori oleh Hans Kelsen tentang
hierarki dari peraturan perundang-undangan yang akan dibuat, bahwa peraturan
perundang-undangan yang[8]:
1.
Lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan undang-undangan yang lebih tinggi; dan
2.
Peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tidak boleh bertentangan dengan undang-undang
yang lebih tinggi lagi.
Atas nama tuntutan praktik administrasi Negara,
peraturan yang bercorak regeling karena berisikan norma-norma yang
bersifat abstrak dan umum, dan keputusan atau penetapan yang bertipikal beschikking
karena memuat norma yang bersifat konkrit dan individual, mengalami modifikasi
dan pengembangan, sesuai dan sejalan dengan kebutuhan dalam pelaksanaan urusan
pemerintahan.
Secara praktis, norma yang bertitel peraturan dan
mengikat secara umum, tak lagi terbatasi dan menjadi domain pembentuk undang-undang
(legislative) saja, namun kewenangannya dapat pula terdapat pada
badan/pejabat eksekutif. Disamping Peraturan Pemerintah atau Peraturan
Presiden, dalam praktik administrasi Negara juga ditemui eksistensi dari
Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur maupun Peraturan Walikota/Bupati, yang
nyata dan jelas berada dalam lingkup kekuasaan eksekutif, bukan legislative.
Sebaliknya, norma yang memiliki karakteristik beschikking,
baik yang bertitel keputusan, penetapan maupun ketetapan, dapat diterbitkan
oleh badan/jabatan yang berada dalam lingkup legislative maupun yudisial,
kendati konsep awal beschikking merupakan domain dari kekuasaan
eksekutif dalam melaksanakan urusan administrasi pemerintahannya. Beschikking
dalam lingkup yudisial misalnya adalah Penetapan Ketua Pengadilan tentang
Susunan Majelis Hakim yang memeriksa suatu perkara, sementara dalam lingkup
legislative, produk yang berkarakteristik beschikking misalnya adalah Keputusan
mengenai penetapan anggota KPI/KPID.
Sebagai imbangan dari pelaksanaan urusan
pemerintahan yang didasarkan baik berdasarkan regeling maupun beschikking,
dalam literasi hukum administrasi Negara, dikenal pula istilah beleid
atau kebijakan yang secara dogmatis dimiliki oleh pejabat administrasi
pemerintahan. Menurut hemat penulis, beleid ini merupakan refleksi dari
tindakan nyata/faktual (feitdelijkhandeling) yang di awal bahasan,
merupakan salah satu jenis perbuatan pemerintahan sebagai antithesis dari
perbuatan hukum (rechthandeling);
Oleh karena sifatnya yang tidak memiliki akibat
hukum – karena hanya merupakan tindakan nyata/faktual-, sehingga tentu tidak
memiliki sanksi terhadap ketidaksesuaian dan pelanggaran atas hal tersebut, beleid
hanya memiliki sifat keterikatan etika di internal administrator pemerintahan
saja, baik secara struktural maupun fungsional. Tidak adanya akibat hukum
maupun sanksi dalam sebuah beleid dikarenakan sebelumnya telah ada norma
yang rigid, baik dalam regeling maupun beschikking, yang telah
pula mengatur hal yang serupa. Beleid-lah yang menafsirkan dan
memberikan petunjuk untuk memudahkan pelaksanaan norma dalam regeling
maupun beschikking itu.
[2] Sadjijono, op.cit. hlm. 84.
[3] JCT
Simorangkir, dkk., Kamus Hukum,
2008, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, hlm. 38.
[4] Philipus
M. Hadjon, Pengertian-Pengertian Dasar
tentang Tindak Pemerintah (Bestuurhandeling), 1980, Surabaya: Djumali, hlm.
40-41.
[6] Maria Farida I.S., op.cit., hlm. 29
[7] Nieke Zulfahanum, Pengujian Keputusan Diskresi oleh Pengadilan
Tata Usaha Negara Setelah Berlakunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, Thesis, Mataram: Universitas Mataram, 2016, hlm. 61
[8] Salim H.S. dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, 2013,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
hlm. 57.
Comments
Post a Comment