PERBUATAN PEMERINTAH (BESTUURHANDELINGEN) DALAM PRAKTIK ADMINISTRASI (1)
Mochtar
Kusumaatmadja pernah mengungkapkan secara singkat tentang relasi antara hukum
dan kekuasaan, yakni bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, sementara
kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman[1].
Hal yang secara analogi sejalan dengan perumpamaan mengenai ayam dan telur,
siapa yang lebih dulu ada dan menyebabkan lainnya. Apakah hukum yang
menyebabkan adanya kekuasaan, ataukah sebaliknya?
Pergeseran
konsep hukum serta tipikal Negara hukum dari yang bersifat murni dan formal,
menjadi lebih material-fungsional serta responsif telah memperkenalkan tipikal
Negara yang tak hanya bercirikan hukum dan kekuasaan semata, namun juga tujuan
hakiki dari penggunaan kekuasaan serta manfaat keberadaan hukum bagi masyarakat
sebagai subyek utama dari Negara, yakni kesejahteraan.
Lahirnya
paham Negara kesejahteraan (welfare state
–pen.) tersebut memberikan alasan yang kuat bagi Negara untuk berperan
lebih luas guna mewujudkan kemakmuran dan keamanan sosial rakyat dalam arti
luas. Campur tangan Negara yang luas dalam kehidupan sosial masyarakat tersebut
merupakan pergeseran dari konsep staatsonthouding,
yang membatasi keterlibatan Negara dalam kehidupan sosial rakyat, menjadi
konsep staatsbemoienis, yang
mendorong Negara ikut campur dalam pengaturan kehidupan sosial sehingga
melahirkan Negara hukum sosial (sociale
rechtstaat)[2].
Lebih
lanjut, Maria Farida dengan mengutip pendapat Attamimi menyatakan[3]:
“Dalam wawasan Negara hukum yang baru ini, keketatan sudah lebih dilonggarkan
dengan pengakuan terhadap adanya kebijaksanaan (freiss ermesen) bagi tindakan pemerintahan Negara meskipun dengan
disertai imbangan dalam bentuk peradilan administrasi”, yang selanjutnya
dirangkaikan oleh Muchsan dengan menyebutkan bahwa salah satu gejala yang
muncul dalam Negara kesejahteraan adalah sering digunakannya asas diskresi
dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan[4].
Perbuatan
administrasi Negara atau perbuatan tata usaha Negara merupakan terjemahan dari bestuurhandelingen yang hakikatnya berfungsi
untuk mewujudkan tujuan Negara kesejahteraan tersebut. Sebagai personifikasi
dari Negara, pemerintah (bestuur)
dalam melaksanakan setiap perbuatan administrasi Negara tersebut harus
mendasarkan diri pada peraturan perundang-undangan dan/atau asas-asas umum
pemerintahan yang baik, sebagaimana norma yang termuat dalam Pasal 53 ayat (2)
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004.
Perbuatan tata usaha Negara (bestuurhandelingen)
dalam kepustakaan hukum administrasi Negara dapat diklasifikasikan atas
perbuatan materiil/nyata (feitelijk handeling) dan perbuatan hukum (rechthandeling).
Perbuatan materiil[5]
adalah perbuatan yang dilakukan oleh badan atau pejabat TUN untuk memenuhi
kebutuhan nyata yang tidak dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum[6]. Sehingga
dari definisi tersebut, secara a contrario perbuatan hukum adalah
perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum. Konkritnya, akibat
hukum dikatakan ada bila menimbulkan
beberapa perubahan hak, kewajiban dan kewenangan, kedudukan hukum, atau
pembebanan hak, kewajiban, kewenangan, ataupun status tertentu yang baru dan
sama sekali berbeda dari sebelumnya[7].
Dari rumpun perbuatan hukum (rechtshandelingen),
terdapat tipikal perbuatan hukum tata usaha Negara adalah perbuatan hukum yang
dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha Negara berdasarkan norma hukum
tata usaha Negara dan dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum tertentu,
yaitu berupa hak dan kewajiban bagi seseorang atau badan hukum perdata yang
dituju.
Indroharto mendefinisikan bahwa tindakan dalam
lingkup administrasi Negara in cassu penerbitan sebuah produk hukum, ada
yang bersifat abstrak, umum, final, dan ada pula yang bersifat konkrit,
individual dan final[8]. Implementasinya
jelas, jenis tindakan yang pertama dengan output berupa regulasi atau
peraturan perundang-undangan (regeling), melekat kewenangannya pada
legislative dan/atau eksekutif dalam kategori tertentu. Sementara jenis
tindakan yang kedua dengan output berupa keputusan atau penetapan (beschikking),
melekat kewenangannya pada badan/jabatan administrasi yang tentu proporsinya
lebih besar berada pada lingkup eksekutif.
Kedua jenis output maupun dasar kewenangan penerbitannya
tersebut, tentu termasuk dalam lingkup tindakan hukum (rechthandelingen),
sebab dilakukan berdasarkan kewenangan yang telah ada (baik yang bersumber
secara atributif maupun delegatif), serta ditujukan untuk dipatuhi (mengikat)
dan memberikan akibat hukum tertentu bagi pihak secara umum, maupun pihak
tertentu secara spesifik.
Pelaksanaan suatu tindakan atau keputusan
administrasi secara normatif memiliki kaidah yang harus dipatuhi, sehingga
tujuan serta hasil pelaksanaan tindakan atau keputusan tersebut memiliki nilai
kepastian, kemanfaatan serta yang terpenting adalah keadilan. Dalam ilmu
perundang-undangan, hal-ikhwal ini diistilahkan dengan daya laku karena ia
memiliki keabsahan (validity/geltung) dan daya guna (efficacy) karena
ia ditaati. Bila validity berkaitan dengan dari mana norma itu dibentuk,
apakah dari norma yang lebih tinggi dan/atau lembaga yang berwenang
membentuknya, maka efficacy berkenaan dengan efektivitas/daya guna norma
tersebut[9].
Lebih lanjut dalam praktiknya, perbuatan administrasi
negara (bestuurhandelingen) kerap
diidentikkan secara spesifik dengan pelaksanaan urusan pemerintahan, yang tentu
bersinggungan dengan tindakan administrasi maupun penerbitan keputusan
administrasi Negara. Sejalan dengan pendapat dari H.J
Romeijn, bahwa
tindakan hukum administrasi
(administratieve rechthandelingen)
merupakan suatu pernyataan kehendak yang muncul dari organ
administrasi dalam keadaan khusus, dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum
dalam bidang hukum administrasi[10].
Istilah tindakan hukum TUN (administratieve rechtshandelingen)
berasal dari dogmatik hukum perdata yang artinya “suatu tindakan hukum menurut
hukum perdata adalah tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menimbulkan
suatu akibat hukum”. Jadi, kalau suatu tindakan hukum pemerintahan (keputusan
TUN) itu tidak menimbulkan suatu akibat hukum, maka tindakan itu (seperti
memberikan penjelasan secara tertulis) bukan merupakan suatu tindakan hukum[11].
Secara konseptual, tindakan hukum pemerintah ini
dikatagorikan menjadi dua golongan besar yakni tindakan hukum publik yakni
penerbitan/penyusunan suatu keputusan/penetapan (beschikking) dan penerbitan/penyusunan
peraturan (regeling), serta tindakan dalam ranah hukum privat, yang
dalam pemahaman penulis dapat diidentikkan dengan materiale daad[12].
Keduanya memiliki perbedaan spesifik, dimana dalam penerbitan beschikking maupun
regeling¸ tindakannya bersifat sepihak dan pemerintah berfungsi
berdasarkan aturan hukum publik. Sementara dalam materiale daad, tindakannya
bersifat dua arah (resiprokal) yang para pihaknya setara, sebab dalam hal ini
pemerintah berlaku sebagaimana badan hukum perdata, karena mendasarkan perbuatannya
itu pada aturan hukum perdata/privat[13].
Bagi Hakim di Lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara, tentu bukanlah hal asing menguji eksistensi kewenangan, serta akibat
hukum yang ditimbulkan dari suatu tindakan administrasi maupun penerbitan suatu
keputusan administrasi (beschikking), sebab hal tersebut secara limitative
sudah menjadi suatu keharusan secara formal sebelum mempertimbangkan aspek
substansial mengenai pokok sengketa tata usaha negara.
Pembentuk Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (khususnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986), telah dengan brilian dan
detail mendefinisikan syarat pengklasifikasian suatu keputusan tata usaha
Negara sebagaimana Pasal 1 angka 3 (yang berdasarkan Undang-undang Nomor 51
Tahun 2009 telah diubah menjadi pasal 1 angka 9). Tak hanya untuk membedakannya
dengan tindakan/keputusan administrasi yang bersifat abstrak dan umum (dalam
bentuk regeling), tapi secara konseptual juga untuk membedakannya dengan
tindakan faktual pemerintahan (feitelijke handeling) yang tidak memiliki
akibat hukum tertentu[14].
Untuk membedakan tindakan hukum pemerintah dengan
tindakan faktual pemerintah, maka dapat dianalisa bahwa unsur-unsur dari tindakan hukum pemerintahan (rechthandelingen), adalah sebagai berikut[15]:
a. Tindakan tersebut dilakukan
oleh aparatur pemerintah dalam kedudukannya sebagai penguasa, maupun sebagai
alat perlengkapan pemerintahan (bestuurs organ);
b. Tindakan
dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan;
c. Tindakan
yang dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum (recht
gevolgen) di bidang hukum administrasi;
d. Tindakan
yang dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan umum;
e. Tindakan
dilakukan berdasarkan norma wewenang pemerintah;
f. Tindakan
tersebut berorientasi pada tujuan tertentu berdasarkan hukum;
Konsep dasar tentang tindakan/keputusan
administrasi, secara sinthesis maupun antithesis dapat merujuk pada rumusan
Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009. Singkatnya, tatkala suatu
tindakan pemerintahan berupa penerbitan suatu surat/dokumen memiliki
unsur-unsur yang identik dengan ketentuan tersebut secara kumulatif, maka pada titik
tersebut tindakannya dapat diklasifikasikan sebagai tindakan hukum pemerintahan
(rechthandelingen) berupa penerbitan keputusan tata usaha negara (beschikking).
Anthithesisnya, bila ada salah satu atau lebih unsur tidak ditemukan di
dalamnya, berarti surat/dokumen tersebut bukanlah keputusan (beschikking),
melainkan resultante tindakan faktual belaka.
[1] Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam
Pembangunan Nasional, 1970, Bandung:
Binacipta, hlm. 5
[2] W. Riawan Tjandra, Peradilan Tata Usaha Negara: Mendorong
Terwujudnya Pemerintah Yang Bersih dan Berwibawa, 2009, Yogyakarta:
Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hlm. 123-124.
[3] Maria Farida Indrati Soeprapto,
Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan
Pembentukannya, 1998, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hlm. 128.
[4] Muchsan, Perwujudan Pemerintah Yang Bersih dan Berwibawa dalam Negara Kesejahteraan,
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, 1999, Yogyakarta, hlm. 4-5.
[5] Terhadap istilah ini, penulis menilai perlu
membedakan perbuatan materiil sebagai padanan dari feitelijk handeling, dengan perbuatan materiil sebagai terjemahan
dari Materiale Daad. Sehingga dalam
peristilahan selanjutnya, penulis lebih memilih menggunakan padanan kata
perbuatan nyata atau perbuatan faktual sebagai terjemahan dari feitelijk handeling.
[6] Philipus M. Hadjon, dkk. Pengantar Hukum Administrasi Negara
Indonesia, 1994, Yogyakarta: UGM Press, hlm. 175-178.
[7] Ini identik dengan sifat dari
keputusan (beschikking) maupun
putusan (vonnis) yang secara tipikal
dibedakan menjadi sifat konstitutif,
declaratoir dan condemnatoir.
[8] Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, 2000, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
hlm. 144-145
[9] Maria Farida I.S., op.cit, hlm. 19
[10] H.J. Romeijn dalam
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara,
2006, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hlm.13
[11] Indroharto, op.cit, hlm.146.
[12] Sebagian sarjana berpendapat
bahwa materiale daad ini identik
dengan tindakan nyata (faktual), namun penulis berpendapat bahwa material daad adalah komplemen dari
sifat dualisme Badan/Pejabat Pemerintahan yang bisa juga berperan sebagai badan
hukum privat tatkala melakukan perikatan dengan pihak lain, sehingga
menundukkan diri pada kaidah hukum perdata. Hal yang tentu tidak dapat
diklasifikasikan sebagai tindakan faktual dalam konteks feitelijkhandeling, sebab terdapat kontradiksi dalam hal eksistensi
akibat hukum yang terjadi.
[13] Bandingkan dengan
pengkatagorian dalam W. Riawan Tjandra, op.cit,
hlm. 160, yang membedakan tindakan hukum tata usaha Negara memasukkan perbuatan
banyak pihak (meerzijdige) ke dalam
perbuatan hukum publik, sementara sebagaimana Scheltema maupun Sybenga, penulis
lebih berpendapat bahwa segala tindakan yang dilakukan pemerintah dalam ranah
hukum publik haruslah sepihak (eenzijdige)
dan bersegi satu, karena merupakan refleksi dari sifat kekuasaan dan kewenangan
serta kaidah erga omnes yang
dimilikinya.
[14] R.J.H.M
Huisman,
dalam Ridwan HR, loc.cit.
[15]Sadjijono, Bab-Bab Pokok
Hukum Administrasi, 2011,
Yogyakarta: Laksbang Mediatama, hlm. 86
Comments
Post a Comment