Imunitas & Fungsi Hakim Secara Kelembagaan

Dikotomi Fungsi
Istilah core/main unit dan supporting unit di dalam suatu institusi Peradilan, agak tabu untuk dikonfrontasikan. Tarik menarik kewenangan (baca: kepentingan) pun kerap terjadi diantara keduanya. Hal yang tak menjadi masalah, apabila kedua unit tersebut bersepaham dan memiliki gagasan yang sama tentang peradilan yang agung, namun akan menjadi persoalan saat kedua unit tersebut berjalan sendiri-sendiri, dengan kepentingannya masing-masing.

Rancangan Undang-undang tentang Jabatan Hakim dalam pemikiran FDHI (Forum Diskusi Hakim Indonesia), berawal dari adanya kesadaran mengenai “fungsi” Hakim yang tidak hanya terbatas pada kewenangan menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya (original authority), namun termasuk dalam menentukan performa pengadilan secara kelembagaan (institutional authority, managerial authority).

Kedua fungsi tersebut memang masih layak menjadi bahan dialektika, khususnya fungsi yang berhubungan dengan peranan Hakim dalam performa institusi secara umum. Namun yang perlu disepakati terlebih dahulu adalah vitalnya penguatan peradilan, untuk tujuan supremasi & profesionalitas penegakan hukum, dimana Hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, memerlukan instrument yang kuat dan rigid dalam memperkuat dirinya dan (kedua) fungsinya itu dalam menegakkan hukum dan keadilan, dan memberikan refleksi dari penegakan hukum yang berkeadilan tersebut kepada para pencari keadilan.

Sejalan dengan itu, maka apa yang termuat di dalam Undang-undang tentang Jabatan Hakim nantinya, diharapkan mampu merepresentasikan fungsi Hakim yang tak hanya – meminjam istilah YM Gayus Lumbuun- sebagai mesin perkara, tapi juga berperan aktif dalam penentuan kebijakan maupun penyelenggaraan peradilan secara umum.

Hal sensitif dan jelas akan mendapatkan tentangan reaktif khalayak adalah Imunitas Hakim, yang menurut hemat penulis perlu dihadirkan dalam RUU tersebut. Sebagaimana halnya pemikiran pembentuk Undang-undang (misalnya dalam UU SPPA) yang menghendaki Hakim dapat dikenakan sanksi (pidana ataupun administrative) atas putusan yang dibuat, tentu merupakan antithesis dari konsep imunitas Hakim atas pelaksanaan fungsi yudisialnya, yang -untungnya- telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Dalam pemikiran FDHI, imunitas Hakim merupakan salah satu komponen hak dalam UU Jabatan Hakim selain hak keuangan, hak membela diri, fasilitas Negara, protokoler, dan lainnya, yang didefinisikan bahwa Hakim tidak dapat dituntut di depan pengadilan atas keseksamaan hasil pelaksanaan tugas dan kewenangannya menurut undang-undang.

Namun demikian, imunitas yang dimaksudkan disini bukan persoalan teknis yang berkaitan dengan putusan, melainkan hal non-teknis berkenaan dengan fungsi yang penulis istilahkan institutional authority atau managerial authority sebagaimana tersebut di atas. Mungkin dalam konteks ini, peristilahan imunitas dirasa kurang tepat, tapi konsep yang tergambar memang mewakili konsep “kekebalan” Hakim dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tersebut.

Imunitas Hakim
Dalam konteks ini, imunitas Hakim penulis terjemahkan dalam dua bagian utama, yakni imunitas dari intervensi internal dan eksternal. Hal ini bisa menjadi addendum dalam naskah akademik maupun substansi pasal-per pasal dalam RUU Jabatan Hakim, yang berkenaan dengan bagaimana kedudukan Hakim dalam Pengadilan.

Pertama, imunitas terhadap intervensi internal. Persoalan utama Hakim dalam peradilan adalah fakta bahwa kebanyakan Hakim hanya melaksanakan fungsi yudisialnya semata. Dengan bahasa lain, Hakim sebagai core unit dari pengadillan justru tidak memiliki peranan riil dalam menentukan “jalannya” peradilan, melainkan hanya sebagai pemutus dan penyelesai perkara saja.

Institusi Peradilan, unik dan tidak dapat diperbandingkan dengan institusi dalam lingkup eksekutif maupun legislative. Dipimpin oleh Ketua dan/atau Wakil Ketua yang juga adalah Hakim, di sisi lain posisi Hakim secara manajerial menjadi mengambang karena secara struktural tidak memiliki hubungan, baik dengan Pimpinan Pengadilan (hubungannya bersifat koordinatif saja) apalagi dengan kepaniteraan dan/atau kesekretariatan.

Optimalisasi peranan Hakim di Pengadilan harus diimplementasikan sesuai dengan harkat & martabatnya.  Kendati tidak dapat digeneralisasi, namun dalam kenyataannya core unit (khususnya Hakim) memiliki gerak terbatas dibandingkan dengan supporting unit, karena segala kebijakan maupun sarana & prasarana peradilan yang tujuannya untuk menunjang fungsi Hakim sudah “ditentukan” oleh supporting unit.

Peranan Hakim Pengawas Bidang, harus diakui tak lebih merupakan formalitas peranan Hakim dalam pengadilan. Output dari hasil pengawasan Hakim Pengawas Bidang, semata hanya menjadi bahan laporan dan pertimbangan bagi Pimpinan Pengadilan. Eksekusi dari hasil pengawasan tetap berada di tangan Pimpinan Pengadilan atau Kesekretariatan dan/atau Kepaniteraan, sebab secara struktural memang hanya Pimpinan Pengadilan dengan unsur supporting unit.

Di alam pemahaman penulis, seharusnya Hakim pun perlu diberikan ruang secara aktif dalam penentuan arah kebijakan pengadilan. Keterlibatannya tentu ditujukan pada resultante berupa kemandirian dan pe-martabatan Hakim baik sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, ataupun subyek utama di pengadilan. Hal ini tak melulu berkaitan realisasi hak-hak Hakim sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012, tapi lebih kepada perumusan kebijakan yang lebih partisipatif dan melibatkan Hakim sebagai komponen utama Pengadilan

Perdebatan alot terhadap pemikiran tersebut tentu berkenaan dengan pemurnian fungsi Hakim yang secara strict hanya berurusan dengan persoalan teknis yudisial, yang melalui Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 diperjuangkan dan berujung pada unifikasi kelembagaan yudisial. Namun dalam menyikapi itu penulis berpendapat, benar bahwa Hakim hanya boleh “dipusingkan” oleh persoalan perkara/sengketa yang ditanganinya saja, dan tak boleh terlibat dalam hal-hal lain selain itu. Akan tetapi di sisi lain, tatkala kebijakan pengadilan membuat “pusing” Hakim, maka menjadi wajar saat Hakim harus diberikan peranan dalam penyusunan kebijakan tersebut.

Hakikat dari pemurnian fungsi yudisial Hakim, terletak pada aturan normatif terhadap Hakim yang memastikan independensi Hakim tidak akan terganggu oleh urusan non teknis sebagaimana pernah dialami sebelum terintegrasinya pembinaan teknis dan organisasi ke Mahkamah Agung. Bahwa Hakim tidak lagi boleh berurusan dengan hal-hal yang mengganggunya dalam menjalankan fungsi yudisial, termasuk urusan sarana-prasarana penunjang kinerjanya

Ironisnya hal ini kemudian diterjemahkan dengan di-lepastangankan-nya Hakim dari urusan non-teknis pengadilan. Meski di tataran yudisial pusat, beberapa posisi non teknis (supporting unit) dijabat oleh seorang Hakim, namun di setiap satuan kerja praktis hanya Ketua dan Wakil Ketua saja, personifikasi Hakim yang memiliki peranan dalam menyusun kebijakan terkait penyelenggaraan peradilan.

Hal inilah yang terdefinisikan sebagai imunitas dari intervensi internal, bahwa Hakim tidak boleh lagi dipengaruhi dan terpengaruh oleh kebijakan-kebijakan yang dapat mengganggu kinerjanya, sehingga diharapkan secara normatif  nantinya Hakim dilibatkan dan memiliki peranan aktif dalam menyusun kebijakan strategis rumah tangga pengadilan.

Imunitas selanjutnya yang bersifat internal adalah dari anasir yang berpotensi mempengaruhi independensi maupun profesionalitas fungsi Hakim, dari tuntutan penilaian kinerja (SKP dalam kapasitas Hakim sebagai ASN), serta “ancaman & harapan” yang klise tentang mutasi-promosi tanpa parameter pengukuran kinerja atau integritas yang baku dan jelas.

Ambiguitas kedudukan Hakim sebagai Pejabat Negara dan sebagai ASN, menimbulkan persoalan dalam penilaian kinerja. Ketidakseragaman parameter pengukuran kinerja Hakim sebagai akibat dari perbedaan kriteria penilaian dan proporsi penilaiannya dengan ASN dalam urusan eksekutif, membuat makin absurd, sebenarnya Hakim yang berkinerja baik itu seperti apa? Apakah dengan banyaknya perkara yang diputus, apakah dengan banyaknya putusan yang dianggap mencerminkan keadilan, atau dengan banyaknya tugas-tugas delegatif/mandate yang diberikan kepadanya dari Pimpinan Pengadilan?

Parameter penilaian yang semacam itu, tentu akan membuat Hakim terpengaruh dalam melaksanakan fungsi yudisialnya. Konkritnya, bila parameternya adalah jumlah perkara yang ditangani, maka Hakim akan berlomba “meminta” perkara, atau bila parameternya adalah besaran tugas-tugas delegatif/mandat dari Pimpinan Pengadilan, maka Hakim akan saling mendekatkan diri kepada Pimpinan, demi meraih kepercayaan.

Itu tentu tak hanya berlaku di tiapsatuan kerja, melainkan juga secara vertikal ke atas, baik pengadilan yang lebih tinggi maupun direktorat jenderal serta Mahkamah Agung. Bila parameter kinerja hanya diukur oleh kepuasan atau pemenuhan selera publik atau pencitraan baik secara pribadi maupun institusi, lantas dimana ruh dari keadilan, kemanfaatan dan/atau kepastian hukum dari setiap putusan yang dihasilkan?

Hal inilah yang kemudian harus terformulasikan di dalam RUU Jabatan Hakim yang tengah dirancang, bahwa Hakim harus pula immune terhadap intervensi internal sebagaimana dicontohkan tadi. Pemuatan secara normatif ketentuan yang menegaskan penguatan dan kemandirian Hakim, diantaranya:
1.  Pelibatan Hakim di dalam penyusunan kebijakan penyelenggaraan peradilan serta pada proses evaluasi kebijakan yang lebih imperative untuk dilaksanakan oleh supporting unit;
2. Harmonisasi regulasi (eksternal maupun internal) serta kebijakan yang disusun dari Mahkamah Agung untuk mereduksi percik persoalan yang akan memantik reaksi negative dari kalangan Hakim, tatkala kebijakan yang dibuat ternyata bersimpangan jalan dengan regulasi yang berlaku;
3. Penyeragaman dan konsensus parameter penilaian kinerja yang baku dan terukur, sebagai salah satu komponen penentu dalam hal melakukan manajemen Hakim, termasuk mutasi-promosi

Apa kabar RUU Contempt of court?
Kendati sempat dimunculkan sebagai salah satu Rancangan Undang-Undang, namun agaknya pemegang kewenangan maupun lembaga dan masyarakat yang memiliki konsen tentang penegakan hukum, masih menganggap regulasi khusus mengenai penghinaan peradilan belum, bahkan tidak perlu disusun. Padahal sebagaimana dikatakan oleh Bagir Manan, tujuan adanya pengaturan tentang itu adalah untuk mencegah dihinakannya keadilan. Sesungguhnya dalam contempt of court, keadilan (justice) itu sendiri-lah yang dicemoohkan, bukan pengadilan sebagai sebuah badan, bukan –pula- hakim.

Persoalan utamanya berkutat pada perlu atau tidaknya aturan tentang hal itu dilembagakan melalui Undang-undang khusus (tersendiri). Sementara secara substansial, dipisahkan melalui Undang-Undang tersendiri atau menjadi satu kesatuan dengan KUHP, tidaklah menjadi masalah sebab yang terpenting adalah harus ada aturan mengenai contempt of court. Dalih bahwa norma penghinaan terhadap pengadilan telah ada dalam RUU KUHP, kendati menjawab persoalan tentang gagasan perlu adanya aturan mengenai contempt of court itu, namun akan menimbulkan pertanyaan lain: Kapan RUU KUHP itu akan disahkan? Bukankah sudah terlampau lama penyusunan RUU KUHP itu dilakukan?

Tipikal yang kedua, yakni imunitas terhadap intervensi eksternal inilah yang sebenarnya termuat secara konseptual di dalam RUU Contempt of Court. Eksistensi imunitas ini tak pula berarti bahwa Hakim tidak dapat dikoreksi, atau kekuasaan kehakiman menjadi tidak dapat terkontrol, seperti kekuatiran sebagian kalangan bila RUU Contempt of Court disahkan. Dalam pelaksanaan tugas yudisialnya, Hakim tetap dapat mengalami koreksi melalui mekanisme yang telah ditetapkan, baik oleh Mahkamah Agung (secara teknis yudisial maupun etis) maupun oleh Komisi Yudisial (secara etis).

Imunitas dimaksud adalah mencegah anasir-anasir dari luar yang dapat menggoyahkan dan mempengaruhi proses peradilan yang tengah dilakukan, serta asumsi-asumsi tak berimbang dan tak teruji yang bersifat menghinakan personal maupun kelembagaan yang bermula baik dari pers, masyarakat, bahkan penyelenggara Negara lainnya.

Masih membekas peristiwa yang menimpa Hakim Parlas Nababan, yang diberitakan menyatakan bahwa kebakaran hutan tidak merusak lingkungan di dalam putusannya. Atau berita mengenai ditunjuknya Hakim Agung dari Kamar Agama untuk menangani sengketa perdata (niaga), untuk memunculkan persepsi bahwa terjadi inkonsistensi penerapan sistem Kamar di Mahkamah Agung dan secara langsung menyerang pribadi Hakim yang bersangkutan. Keduanya berujung pada ketiadaan serta keengganan untuk mengkonfirmasi keakuratan hal itu dari si pembuat dan penyebar berita.

Sebaran informasi yang dinamis, tak berbatas membuat peranan media sangat strategis, dan bahkan terkadang offside, cenderung menggiring opini tanpa memberikan fakta yang telah ditelusur dengan benar. Sementara masyarakat, lebih suka menerima secara sepihak hal-hal miring mengenai lembaga peradilan, tanpa cek-ricek yang mendalam. Imunitas Hakim dalam hal ini bukan soal anti-kritik, anti-kontrol, tapi menempatkan obyektivitas penilaian dan keakuratan informasi jauh di atas prasangka dan asumsi-asumsi negative tentang peradilan.

Disinilah peranan Komisi Yudisial dalam menjaga marwah peradilan muncul dan sangat vital diperlukan. Menjaga kehormatan dan martabat Hakim tak hanya dapat dilakukan dengan cara memberi sanksi atau mempublikasikan jumlah laporan “Hakim yang bermasalah” tiap tahunnya, tapi juga memastikan bahwa Hakim tidak terhinakan atas laporan, hujatan, bahkan fitnah yang sebenarnya berpangkal pada persoalan kalah-menang dalam pemeriksaan suatu perkara.

Persepsi bahwa Hakim yang dilaporkan ke Komisi Yudisial pasti bermasalah, sudah memiliki contoh ironis. Tindakan Hakim Sarpin yang melaporkan dua Komisioner KY ke Polisi, tentu bermula dari adanya pernyataan ke media bahwa yang bersangkutan pernah dilaporkan kepada Komisi Yudisial, yang selanjutnya tanpa disadari membentuk opini kuat di kalangan awam maupun terdidik, bahwa Hakim tersebut “bermasalah”. Disebut ironis, saat Komisi Yudisial yang kewenangannya menjaga martabat Hakim, justru melempar bola panas kepada khalayak agar membuat prasangka berjamaah mengenai hal negatif.

Sebagai saran, bila Komisi Yudisial telah memiliki SOP terhadap laporan atas Hakim yang diduga melakukan pelanggaran kode etik yang berujung pada proses di MKH, seharusnya Komisi Yudisial juga memiliki SOP terhadap laporan dari Hakim sendiri, atas laporan, hujatan, surat kaleng, pernyataan dan pencemaran nama baik Hakim, yang kemudian tidak pernah terbukti, dan ternyata hanya merupakan bentuk ketidakpuasan atas putusan pengadilan. Bentuknya bisa berupa pengadvokasian Hakim dalam melakukan proses hukum ke pihak yang berwajib atas tindakan pencemaran tersebut, publikasi di media massa, atau hal lainnya. Intinya KY maupun para penghubungnya di berbagai daerah, harus secara optimal menjaga kehormatan dan kemuliaan Hakim, atas tindakan tidak etis dari Hakim tersebut, dan juga tindakan tidak etis terhadap Hakim.

Kedua tipikal imunitas ini, mungkin hanya sebagian kecil dari ide besar mengenai pembenahan manajemen dan penguatan kedudukan Hakim dalam proses peradilan. Terlibatnya berbagai pihak: Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, IKAHI, bahkan FDHI selain Lembaga Legislatif sendiri yang menjadikan RUU Jabatan Hakim sebagai inisiatifnya, akan semakin memperkaya khasanah konseptual tentang bagaimana Hakim akan didudukkan di masa yang akan datang. Inti dari semua kegiatan dan dialektika yang dilakukan dalam rangka penyusunan RUU Jabatan Hakim, baik yang bersifat formal maupun informal, hakikatnya adalah untuk kemuliaan peradilan dan supremasi hukum yang berkeadilan melalui Hakim yang berkualitas, berintegritas dan bermartabat. Maka sudah seyogyanya seluruh komponen Pengadilan berperan aktif dan mendorong DPR RI serta Presiden untuk segera mengesahkan RUU Jabatan Hakim.

Sekaranglah saatnya menjadikan Pengadilan sebagai rumah yang “nyaman” bagi Hakim.

Comments

Popular posts from this blog

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc

Kota Bandung dan Kota Malang