Apa Kabar RUU Contempt of Court (Bagian 2)
Contempt of Court & Sikap Kritis Masyarakat
Penetrasi yang terlampau mudah terhadap
penegak hukum maupun penegakan hukum, yang berpotensi menggiring opini dan
membuat intervensi dalam proses peradilan itulah, yang hendak dicegah oleh
regulasi contempt of court. Terutama ditujukan
terhadap kekuatan-kekuatan tak terlihat dan tersamarkan oleh klausul
“kepentingan rakyat”, “kepentingan umum & keadilan” atau “atas nama
demokrasi dan kebebasan berpendapat”.
Persoalan hukum yang tidak jelas sumbernya
pun, baik dalam bentuk kutipan putusan yang dipahami keliru, pendapat advokat
yang kalah di persidangan, pernyataan di dalam putusan yang diambil secara
parsial, kian mudah menyudutkan peradilan dalam penegakan hukum. Misalnya,
Putusan PN Palembang dalam sengketa perdata (PMH) terkait kebakaran hutan, yang
langsung menuai kritikan pegiat dunia maya (netizen) melalui meme yang tendensius dan merusak
karakter personal Hakim[1],
dengan menyebut bahwa Hakim dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa: “pembakaran hutan tidak merusak lingkungan,
karena dapat ditanami lagi”[2],
padahal di dalam Pertimbangan Hukum tersebut tidak ada satu pun kalimat yang
bernada demikian[3].
Satu hal yang pasti, karakter personal Hakim tersebut[4],
telah rusak. Padahal yang tidak dipahami publik, putusan itu produk Majelis
Hakim secara kolektif, bukan perseorangan.
Ini jelas secara logis, tentu bertentangan
dengan ide dasar keadilan dan fairness
yang kerap disuarakan, sebab menimpakan sumpah-serapah dan caki-maki mereka
pada personal hakim.
Efek lanjutan terhadap perkara yang tersebut
di atas adalah banyak tersebar olok-olok berbentuk meme yang menistakan secara personal Hakim maupun institusional.
Ada pula yang memperbandingkan antara perkara Nomor
24/Pdt.G/2015/PN.Plg tersebut, dengan perkara
Nomor 179/Pid.B/2014/PN.Pbl[5],
padahal bila mau sedikit bertanya dan berprasangka dengan lebih logis, dapat
diketahui bahwa perkara pertama adalah Perdata, dan yang satunya adalah pidana,
yang jelas berbeda pertimbangan, pembuktian maupun jenis putusannya[6].
Yang diputuskan dalam sengketa perdata (Perbuatan Melanggar Hukum), adalah
eksistensi perbuatannya yang dianggap melanggar hukum, yang sama sekali tidak
berakibat dipidana atau dibebaskan dari pidana, melainkan hanya persoalan ganti
kerugian secara perdata saja[7].
Terminologi “bebas”, hanya ada dalam hukum pidana, bukan perdata. Hal inilah
yang kendati telah berulang-ulang dijelaskan kepada masyarakat –awam maupun tidak
awam-, tidak kunjung mendapatkan akseptasi pemahaman, dengan tetap bersikukuh
bahwa hal itu tidaklah adil.
Dalih bahwa meme
bukanlah produk media, di satu sisi bisa dibenarkan. Namun munculnya meme tersebut tentu bermula dari
pemberitaan media yang tidak utuh atau parsial, yang terlanjur dianggap sebagai
fakta oleh penyimak berita tanpa melakukan cek dan ricek tentang kebenarannya.
Hal yang setakar buruknya adalah manuver
politis yang tidak mendidik dari kalangan legislative yang turut serta menghakimi
persoalan hukum, yang sejatinya bukan ranah apalagi keahliannya untuk menilai[8],
apalagi mencerca dan mengancam institusi atau personal peradilan. Akan semakin
melunturkan kewibawaan peradilan di mata masyarakat.
Ketidakpahaman masyarakat terhadap proses atau
prosedural hukum yang ada –disadari atau tidak-, menyebabkan mereka kerap
terlibat dalam tindakan penghinaan terhadap pengadilan.
Peran media yang tendensius dalam membentuk asumsi
bobrok atau ketidakprofesionalan institusi peradilan, juga dapat ditemukan
dalam berita tertangkap tangannya seorang pegawai Mahkamah Agung, yang
sebelumnya diberitakan adalah seorang Hakim Agung, kemudian diralat sendiri
oleh media tersebut[9]. Atau pemberitaan tentang
ditunjuknya Hakim Agung dari Kamar Agama, untuk menangani sengketa perdata di
Mahkamah Agung, padahal berita itu ternyata tidak terbukti kebenarannya, dan
lagi-lagi diralat sendiri oleh media tersebut[10].
Keduanya tanpa permohonan maaf secara institusional, apalagi personal.
Tanpa mengurangi peranan positif media yang
berfungsi sebagai penyambung dan penyebar fakta maupun berita, tidak dapat
disangkal pula bahwa media berperan dalam membentuk persepsi, opini bahkan hal
fiktif menjadi fakta yang dianggap sebagai kebenaran bagi masyarakat, kendati
ternyata sarat dengan kebohongan, pengaburan bahkan tangan-tangan kepentingan
di dalamnya.
Sejatinya bila ditelaah, konsep regulasi contempt of court ditujukan untuk
memperkuat proses penegakan hukum di institusi yudisial, bukan semata
memperkuat institusi yudisial itu sendiri. Penilaian minor terhadap kinerja
pengadilan, harus pula fair diberikan tatkala variable yang mempengaruhi kinerja tersebut tak hanya dari internal
Pengadilan saja (SDM, sarana & prasarana), tapi juga dari eksternal
(regulasi, intervensi, dan persepsi).
Hal yang sejalan pula dengan apa yang disampaikan
oleh Bagir Manan, bahwa sebenarnya sebutan contempt
of court adalah tidak akurat dan menyesatkan (inaccurate and misleading). Sebutan itu mengesankan seolah-olah
yang akan dilindungi adalah keagungan pengadilan. Sesungguhnya dalam contempt of court, keadilan (justice) itu sendiri-lah yang
dicemoohkan, bukan pengadilan sebagai sebuah badan, bukan –pula- hakim[11].
Fobia terhadap regulasi khusus contempt of court agaknya perlu
diluruskan, mengingat tidak semua aturan di dalam rancangan undang-undang
tersebut, bertujuan mengekang kebebasan dan sikap kritis terhadap peradilan dan
prosesnya. Hemat penulis, rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
proses peradilan, selain disebabkan karena faktor internal penegak hukum yang
memang bermasalah dan rentan diintervensi, namun besar pula dipengaruhi oleh faktor
eksternal, yakni asumsi masyarakat yang mudah menggeneralisir bahwa penegakan
hukum memang harus dilakukan secara “kotor”.
Paradigma berfikir semacam itu lalu dikuatkan
dengan prasangka dan pengabaian iktikad baik tentang perbaikan penegakan hukum
yang senantiasa dan terus dilakukan, sehingga tanpa pandang bulu, segala proses
peradilan dianggap “kotor”, begitu pun aparatur penegak hukumnya. Jadi saat ada
penegak hukum dan proses penegakan hukum yang “bersih”, yang muncul adalah
sinisme dan pandangan merendahkan bernada: “Apa iya?”.
Alasan lain yang kerap disuarakan tentang tidak
perlunya pengaturan contempt of court
ini diatur di dalam undang-undang tersendiri, adalah karena tumpang tindih
dengan KUHP, KUHAP maupun UU Kekuasaan Kehakiman. Secara umum memang benar di
dalamnya terdapat aturan yang bersinggungan dengan proses penegakan hukum, akan
tetapi sifatnya masih sangat umum. Dalam Pasal 207 KUHP misalnya, tidak secara
spesifik merujuk pada Peradilan maupun Pengadilan, melainkan hanya penguasa
atau badan umum di Indonesia. Atau di dalam Pasal 218 KUHAP yang tidak secara
tegas menyebutkan sanksi bagi pembuat onar di dalam persidangan.
Sementara tumpang tindih regulasi yang
dikhawatirkan terjadi antara RUU Contempt
of court dengan RUU KUHP, semestinya tidak dijadikan persoalan berlarut,
karena toh keduanya masih dalam
proses draft rancangan. Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa pembahasan RUU
KUHP sangat berlarut-larut, bahkan sampai melewati 2-3 rezim pemerintahan,
belum juga tuntas dibahas, apalagi disahkan menjadi undang-undang. Justru,
dengan diajukannya RUU KUHP dan RUU Contempt
of Court secara bersamaan, menjadi alternative solusi bagi pembentuk
undang-undang, yaitu:
1.
Pengaturan
mengenai contempt of court disatukan (dimasukkan) ke dalam naskah RUU KUHP,
sebagai bab khusus mengenai tindak penghinaan pengadilan; atau
2.
Pengaturan
mengenai contempt of court dibuat
secara terpisah, melalui satu undang-undang tersendiri dan mandiri mengenai contempt of court.
Agaknya pengusul RUU Contempt of Court tidak akan berkeberatan bila salah satu dari
kedua alternative tersebut dipilih pada akhirnya. Yang paling penting adalah
substansi mengenai aturan penghinaan pengadilan yang urgen segera diundangkan,
bukan pada nomenklatur formalnya atau produk hukum khusus-nya yang mencantumkan
regulasi.
Pada akhirnya, konsensus keberadaan regulasi
tentang contempt of court serta
penerapannya, akan tergantung pada kekuatan (force) sebagai pendukung serta pelindung bagi sistem-sistem aturan
hukum untuk kepentingan penegakannya, yang berarti bahwa hukum pada akhirnya
harus didukung serta dilindungi oleh sesuatu unsur yang bukan hukum, yaitu oleh
kekuasaan itu tadi. Kekuatan (force) yang diperlukan ini, dalam kenyataannya
dapat berwujud sebagai[12]:
1.
Keyakinan
moral dari masyarakat;
2.
Persetujuan
(konsensus) dari seluruh rakyat;
3.
Kewibawaan
dari seorang pemimpin kharismatik;
4.
Kekuatan
semata-mata yang sewenang-wenang (kekerasan belaka);
5.
Kombinasi
dari factor-faktor tersebut di atas;
Mengatur sanksi contempt
of court, penting untuk menjaga martabat peradilan dari tindak pidana
terhadap proses peradilan. Proses inisiasi RUU Jabatan Hakim dan RUU Contempt
of court seyogyanya bisa dilakukan secara simultan, karena tujuan akhirnya
adalah sama, yakni kemuliaan Badan Peradilan. Kontrol eksternal terhadap
kinerja institusi yudisial tetap dapat dilakukan, bahkan diperkuat saat kedua
perangkat itu telah resmi menjadi regulasi. Eksistensinya bukan untuk
melemahkan pengawasan, namun memperkuat imunitas terhadap intervensi dari luar
dan meningkatkan kualitas serta integritas sumber daya manusia dari internal.
Stigma silence
corps bagi Hakim selaku pelaku kekuasaan kehakiman, harus dipahami sebagai
tidak banyak komentar mengenai proses peradilan sedang berlangsung atau putusan
yang telah dijatuhkan, bukan pada reaksinya terhadap berbagai cercaan dan
cemooh yang kerap ditudingkan publik atas kinerjanya dalam penegakan hukum.
Bila pun hal itu dianggap tidak patut secara etika[1],
maka adanya pengaturan contempt of court–
baik dalam bentuk Undang-undang sendiri atau menyatu dengan KUHP nantinya-,
merupakan penyeimbang dan terjemahan konkrit dari prinsip etik silence corps tadi.
[3] Lihat Putusan Nomor
24/Pdt.G/2015/PN.Plg di: putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/0eefbd16fb31db1936f732586efd2047
[5] Merusak
ekosistem mangrove, dan dipidana 2 tahun serta denda 2 Milyar (bila tidak
dibayar, diganti pidana kurungan 1 bulan). Sumber: putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/b18b5aa9eaf64213416eb119ec5da15e
[6]Kekeliruan pemahaman itu
terjadi saat dalam perkara Busrin (179/Pid.B/2014/Pn.Pbl), yang “korbannya”
hanya beberapa pohon mangrove, ternyata terbukti bersalah dan dipidana.
Sementara dalam perkara PT. BMH (24/Pdt.G/2015/PN.Plg), yang “korbannya” hutan,
ternyata dibebaskan. Fallacy tersebar adalah PT. BMH harusnya dipidana
juga, padahal faktanya itu sengketa perdata, bukan pidana.
[7]
Secara konseptual, dalam
sengketa perdata yang dibuktikan adalah kebenaran formil. Jadi siapapun yang
mendalilkan, maka ia harus membuktikan kebenaran dalil itu. Manakala dalilnya
tidak terbukti, maka karena sifat Hakim Perdata yang pasif, maka dalilnya akan
dinyatakan tidak terbukti, dan dikalahkan. Berbeda dengan konsep hukum pidana
–juga administrasi Negara- yang bertujuan untuk menemukan kebenaran materiil.
[11]
Bagir Manan, Contempt of Court vs Freedom of Press,
artikel di Majalah Varia Peradilan Tahun XXIX Nomor 336
Bulan November 2013, hlm. 7
[12]
Lili
Rasjidi, dkk, Dasar-dasar Filsafat dan
Teori Hukum, cetakan ke XI, 2012, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 78
[13]
Mengingat
tuntutan akan Hakim yang harus adil dan bijak menanggapi berbagai persoalan
yang menimpanya, termasuk bila personal Hakim dinistakan.
Comments
Post a Comment