Apa Kabar RUU Contempt of Court (Bagian 1)
Prolog
Implementasi teori hukum pembangunan dinilai
berhasil diterapkan secara efektif selama 3 dekade, karena mampu menjawab dan
mengendalikan berbagai persoalan di dalam masyarakat. Namun demikian bagi
sebagian kalangan, Teori Hukum Pembangunan tersebut sering dimanfaatkan oleh
pengambil kebijakan pada saat itu, untuk menggunakan hukum
sekadar sebagai alat (mekanis) memperkuat dan mendahulukan kepentingan
kekuasaan ketimbang kepentingan masyarakat[1].
Dalam konteks kekinian, kebebasan berekspresi dan
berpendapat, dinilai sebagai salah satu indikator demokratis atau tidaknya
suatu Negara, juga politik hukum yang berlaku di dalamnya. Bila kebebasan
berekspresi, berpendapat bahkan berpolitik telah mendapatkan jaminan dari
Undang-undang, maka tentu penyematan Negara demokratis sudah sahih tanpa
perdebatan lagi. Oleh karena demokrasi kerap
diidentikan dengan kepatuhan terhadap hukum, maka tidak berlebihan Negara yang
demokratis lebih sering dirujukkan kepada Negara hukum.
Kajian filsafat umum mengasumsikan bahwa pemerintah
dan rakyat hakikatnya berada pada dua kutub neraca yang berlawanan. Bila satu
dominan, maka yang lainnya akan tersudut, dan hal itu berlaku secara universal,
baik saat pemerintah yang dominan ataupun dalam kebebasan rakyat yang dominan[2].
Pun halnya dengan regulasi yang diberlakukan, bila substansinya dirasa
bertujuan untuk memperkuat institusi kenegaraan, maka umumnya secara otomatis
akan mendapatkan reaksi penolakan, karena dinilai bertentangan dengan
kepentingan kerakyatan, nilai-nilai hak asasi manusia maupun spesifiknya
berkaitan dengan kebebasan individual maupun komunal.
Penjelasan Umum butir 4 Undang‐undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, menyebutkan: “untuk
dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik‐baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu dibuat suatu
undang‐undang yang mengatur penindakan terhadap
perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat merendahkan dan
merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan yang dikenal
sebagai contempt of courtʺ.
Ketentuan inilah yang kemudian menjadi dasar dari urgensi keberadaan regulasi
mengenai contempt of court.
Di dalam situs resmi DPR, rancangan
undang-undang contempt of court
menggunakan nomenklatur RUU tentang Penghinaan dalam Pengadilan, meskipun ada
juga yang menyebutnya sebagai RUU Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan. Rancangan Undang-undang Penghinaan Terhadap
Pengadilan (Contempt of Court) yang
tengah digodok untuk menjadi salah satu prioritas di dalam Program Legislasi
Nasional, kendati masih dalam fase perumusan naskah akademik, telah mendapatkan
resistensi dari berbagai kalangan, terutama pers dan pegiat hukum dari LSM.
Salah satu inti dari teori kedaulatan hukum adalah
adanya badan peradilan yang independen, dimana selain bebas dari pengaruh dari
cabang kekuasaan lainnya (baik eksekutif maupun legislative, sebagaimana Trias
Politica), juga harus terbebas dari pengaruh dari anasir lain termasuk tekanan
publik dan pemberitaan pers yang tidak berimbang. Pengejawantahan teori
kedaulatan hukum selanjutnya dapat secara praktis direfleksikan dalam teori
pragmatisme a la Amerika yang
dicetuskan oleh Roscoe Pound[3],
bahwa hukum itu adalah keseimbangan kepentingan. Bagi Pound, hukum tidak boleh
dibiarkan mengawang dalam konsep-konsep logis-analitis maupun tenggelam dalam
ungkapan-ungkapan teknis yuridis yang terlampau eksklusif. Sebaliknya, hukum
itu mesti didaratkan di dunia nyata, yaitu dunia sosial yang penuh sesak dengan
kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang saling bersaing[4].
Dalam konteks keperluan tersebut, hukum yang
bersifat logis-analitis dan serba abstrak (hukum murni) atau pun yang berisi
gambaran realitas apa-adanya (sosiologis), tidak mungkin diandalkan. Hukum
dengan tipe tersebut, paling-paling hanya mengukuhkan apa yang ada. Ia tidak
merubah keadaan. Karena itu, perlu langkah progresif yaitu memfungsikan hukum
untuk menata perubahan. Dari sinilah muncul teori Pound tentang law as a tool of social-engineering[5].
Resistensi terhadap Rancangan Undang-undang Contempt of court muncul karena terdapat
asumsi bahwa regulasi ini akan berpotensi mengekang kebebasan berpendapat
(termasuk kebebasan pers), dan membuat kekuasaan kehakiman (institusi yudisial)
menjadi tidak terkontrol. Perlawanan terhadap konsep contempt of court telah muncul, bahkan sebelum diputuskan apakah
rancangan undang-undang itu menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional.
Subyek utama yang menentang kehadiran regulasi
ini adalah Pers dan LSM yang bergerak di bidang Hukum. Saat pengusulan RUU ini
mencuat ke publik, respon terhadapnya langsung bermunculan di media massa[6].
Pers, terutama kerap melakukan pemberitaan yang bersikap kontra terhadap
regulasi tersebut, dengan menggunakan salah satu ketentuan di dalam RUU CoC tersebut, yakni[7]:
“Setiap
orang yang mempublikasikan atau memperkenankan untuk dipublikasikan proses
persidangan yang sedang berlangsung, atau perkara yang dalam tahap upaya hukum,
yang bertendensi dapat mempengaruhi kemerdekaan atau sifat tidak memihak hakim,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau dipidana denda paling
banyak Rp 1 miliar”.
Sekilas, memang ketentuan
tersebut sanksinya terlalu “mengerikan” untuk sebuah tindakan mempublikasikan
atau memperkenankan untuk mempublikasikan sebuah proses peradilan. Namun
sebenarnya, fokus bukan ditujukan pada tindakan formal mempublikasikan atau
memperkenankan mempublikasikan tindakan tersebut, namun perbuatan substansial:
“bertendensi dapat mempengaruhi kemerdekaan atau sifat tidak memihak hakim”.
Jadi penekanannya terdapat pada akibat yang ditimbulkan, bukan pada perbuatan
yang dilakukan.
Formulasi ketentuan tersebut
memang perlu ditelaah lebih lanjut, apakah benar merupakan tindak pidana materiil,
ataukah tindak pidana formil. Namun demikian, paranoid terhadap pengekangan
pers dengan berulangkali melakukan agitasi repetitive menggunakan rancangan
ketentuan tersebut di dalam pemberitaan, dengan mengabaikan substansi maupun
tujuan utama yakni independensi pelaksanaan kekuasaan kehakiman, tentulah
sangat berlebihan dan naïf.
Pengaturan mengenai contempt of court di dalam naskah Rancangan Undang-undang versi IKAHI yang terkait dengan proses persidangan ditemui dalam Pasal 2 ayat
(2), (4) dan (5), Pasal 3, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6 s/d Pasal 13, Pasal 17 dan
Pasal 18, Pasal 21 s/d Pasal 29, Pasal 32 s/d Pasal 41, Pasal 46. Sedangkan
ketentuan yang berkaitan dengan subyek dalam penegakan proses hukum di
pengadilan (Institusi Peradilan, Hakim, Advokat, Jaksa/Penuntut Umum, maupun
saksi), hanya diatur dalam Pasal 19, Pasal 20, Pasal 30 dan Pasal 31.
Bila dipersentasekan, maka penerapan regulasi contempt of court lebih besar ditujukan
pada proses persidangan, yakni sekitar 32 pasal (58%), sedangkan ketentuan yang
ditujukan pada subyek penegakan hukum (tak hanya Hakim, melainkan juga terhadap
Advokat, JPU maupun saksi) adalah sekitar 4 pasal (7%) saja. Sehingga jelas,
yang diperkuat oleh regulasi mengenai contempt
of court adalah lebih banyak mengenai proses persidangan, bukan institusi
yudisialnya, apalagi terhadap Hakim sebagai subyek utama penegakan hukum di
peradilan, yang diklaim dan dicap telah mengalami pembusukan dan degradasi
moralitas maupun kualitas.
Dari ketentuan dalam rancangan undang-undang
mengenai contempt of court, maka
secara umum penghinaan pengadilan berpotensi dilakukan oleh kalangan eksternal
(pihak yang berperkara (termasuk advokat dan JPU, pers, atau pihak lain yang
tidak berkepentingan secara langsung), serta tentu dari kalangan internal
pengadilan (Hakim dan pegawai pengadilan).
Penggunaan nomenklatur “setiap orang” dalam
beberapa ketentuan di dalam naskah RUU Contempt
of Court, tentu berarti bahwa yang dapat dikatagorikan melakukan penghinaan
pengadilan dan dapat dikenakan pidana terhadapnya, termasuk pula penegak hukum
itu sendiri, yakni Hakim, Advokat, Jaksa, maupun aparatur penegak hukum
lainnya.
Seperti halnya ketentuan Pasal 17[8]:
“Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya
penyelenggaraan peradilan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun atau pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”
Ketentuan Pasal
21[9]:
“Setiap orang membuka keterangan yang
telah disampaikan dalam penyelenggaraan peradilan dalam sidang tertutup, atau
membuka identitas orang yang harus dilindungi, diancam dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
Serta ketentuan Pasal 22[10]: “Dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.75.000.000.000,00 (tujuh
puluh lima juta rupiah) setiap orang yang :
a.
Membocorkan proses persidangan yang dinyatakan
tertutup untuk umum.
b. Mempublikasikan atau membiarkan dipublikasikan
proses persidangan yang dinyatakan tertutup untuk umum”.
Adanya
kemungkinan pemidanaan contempt of court
terhadap Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman sendiri, tentu menunjukkan
bahwa stigma yang terbentuk bahwa dengan adanya Undang-undang ini akan
menyebabkan kekuasaan kehakiman menjadi tanpa kontrol[11],
tidaklah tepat. Pengenaan pidana di dalam RUU tersebut, tidak melulu ditujukan
pada masyarakat pada umumnya, melainkan juga penegak hukum yang terbukti
memenuhi unsur-unsur pidana sebagaimana termuat di dalam ketentuan tersebut.
Bila diasumsikan,
ketentuan contempt of court ini parallel fungsinya dengan fungsi Komisi
Yudisial, namun dengan cakupan lebih luas. Komisi Yudisial berperan menjaga
kehormatan hakim dari internal Hakim itu sendiri (terhadap perbuatan yang
dilakukan oleh dan terhadap Hakim), maka regulasi contempt of court, cakupannya lebih luas dari kewenangan Komisi
Yudisial, yang tak hanya bersubyek hakim, namun juga proses peradilan maupun
institusi pengadilan secara umum. Dengan demikian, yang dilindungi oleh
regulasi contempt of court pada
pokoknya meliputi dua bagian utama, yakni proses penegakan hukum di pengadilan
dan subyek dalam penegakan proses hukum di pengadilan.
[1]
Romli Atmasasmita, Teori
Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum
Progresif, 2012, Yogyakarta: Genta Publishing, hlm. 76-77
[2]
Hal
ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Machiavelli, yang menyatakan secara
sarkasis bahwa bila ingin pemerintahan yang kuat maka rakyat harus lemah.
[3]
Lengkapnya
Nathan Roscoe Pound, 27 Oktober 1870 – 30 Juni 1964, Dekan Harvard Law School.
[4]
Bernard
L. Tanya, dkk. Teori Hukum: Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, 2010, Yogyakarta: Genta
Publishing. hlm. 154.
[5]
Roscoe
Pound, Contemporary Jursdic Theory, dalam
D. Llyod (ed.). Introduction to
Jurisprudence, London, Stecens, 1965.
[7]
Draft RUU Tindak
Pidana Penyelenggaraan Peradilan (Contempt
of Court) Lilik Mulyadi – IKAHI, 2015.
Comments
Post a Comment