Kolot
-Pelajaran moral kali ini adalah: Kampus terkadang bukan tepat yang tepat untuk mencari kebenaran, apalagi hiburan-.
Masih
tergambar jelas di dalam benak kejadian sekitar 10 atau 15 tahun lalu,
settingnya saat masih berstatus mahasiswa S-1 di Malang, interaksi langsung
dengan seorang Guru Besar yang mengajar Hukum Agraria. Interaksi yang terbilang
membekas dalam font Arial Black
ukuran 18 pt dan tipe Bold, bagi
seorang pendendam yang memiliki ingatan kuat sepertiku.
Karena
masuk kelas belakangan, saat itu kebagian jatah duduk di VIP alias front row di ruang kelas. Entah karena
ingin memberi perhatian lebih pada paparan sang Guru Besar, penulis tidak- atau
mungkin tidak kelihatan- sekali pun menggerakkan ujung pena untuk menulis apa
yang dijelaskan sang dosen. Dan itu rupanya menjadi masalah yang sangat besar
bagi sang Professor.
Maka
terlontarlah ucapan telaknya: "Anda ini tidak menulis apa yang saya catat
di papan. Kalau tidak memiliki pena, biar saya pinjamkan!". Kurang lebih
seperti itu.
Reaksi
penulis, yang masih polos -sepolos Mahasiswa S1 yang baru masuk - dan lugu saat
itu, langsung menunduk malu dan pura-pura menulis.
Kuliah
berlanjut dan berlalu.
Setting berikutnya, saat setelah menjadi
Pengadil, sekitar 2 atau 3 tahun ke belakang. Seorang Guru Besar di Universitas
setempat dijadikan ahli untuk memberikan keterangan dalam sebuah sengketa
terkait pemilihan kepala daerah.
Setelah
menjelaskan kajian umum tentang legal
standing pengajuan gugatan, yang -secara sumir- mengindikasikan bahwa hak
gugat administrasi itu bisa diajukan siapapun, terlepas dari kepentingan
langsung ataupun tidak langsung, yang secara doktrinasi, berbeda dengan praktik
peradilan administrasi selama ini. Kemudian penulis bertanya: "Apakah ahli
tahu asas actio popularis?"
"Bisa ahli jelaskan tentang prinsip erga
omnes dalam hukum administrasi?"
Pertanyaan
pertama dijawab dengan diam dan pernyataan tidak tahu oleh sang Guru Besar, dan
pertanyaan kedua dijawab dengan pernyataan yang juga sama sekali berbeda dengan
yang selama ini dipahami oleh praktisi hukum administrasi.
Oke
lah, jawaban yang sedikit "berbeda" tidak menjadi masalah, karena
keterangan ahli -sekalipun Guru Besar, dan sekalipun sang Pengadil yang cuma
lulusan S1-, tidaklah mengikat dan tidak pula harus diikuti secara utuh dan
mentah. Hanya sebagai tambahan atau pembanding ratio legis dalam pertimbangan hukum, sepanjang relevan.
Sidang
selesai. Setelah sengketa itu diputus dan pihak yang mengajukan sang Guru Besar
sebagai ahli di persidangan ternyata kalah, melalui lisan seorang rekan
pengadil yang kebetulan merupakan mahasiswa bimbingannya S2 yang tengah
menyusun thesis, sang Guru Besar mencak-mencak. "Itu, si anu koq memberikan pertanyaan seperti itu.
Sesaat saya merasa bodoh dengan pertanyaannya, itu tidak relevan dan melenceng
dari pokok sengketa, sepertinya dia hanya mengetes saya, bla..bla..bla.."
Penulis
hanya tersenyum mendengar hal itu disampaikan oleh rekan tadi. Dalam hati:
"Lha, masak seorang Guru Besar tidak bisa menjawab pertanyaan seorang Pengadil
yang hanya lulusan S1? Lagian niatnya bukan ngetes, cuma ingin menggali
ilmu sang Professor. Tugas dan yang terbiasa ngetes khan pengajar, bukan pengadil?”
Setting ketiga, kembali di dunia akademis.
Dalam
momen perkuliahan selepas hujan deras yang menaik-turunkan antusiasme menuntut
ilmu dan kebutuhan akan daftar hadir, sang Guru Besar yang lain berkata:
"Ada yang ingin ditanyakan?" Spontan penulis angkat tangan dan
bertanya: "Pada momen apa seorang bla..bla..bla..? Yang dijawab secara sumir oleh sang Guru Besar, sesuai
dengan apa yang ditampilkannya dalam slide
power point. Tidak ada tambahan penjelasan lain.
Sebenarnya
penulis ingin mengakhiri pertanyaan itu, karena tidak menjelaskan hal baru
selain apa yang telah diketahui. Namun pernyataan sang dosen memancing
pertanyaan lagi: "Ada yang mau ditanyakan lagi, atau yang masih
mengganjal?".
Sontak
penulis angkat tangan, sekedar ingin menyimpulkan apa yang tadi dipaparkannya,
karena masih belum yakin benar tidaknya maksud penjelasan sang Professor tadi.
"Itu
sudah saya jelaskan tadi. Anda jangan mengajari saya!" Semua mahasiswa
lain, apalagi penulis, langsung diam dan kaget. Nnahhh, maksudnya apa dosen ini. "Saya hanya mengkonfirmasi
apa yang bapak katakan tadi, agar tidak keliru" ucap penulis mencoba
menetralkan suasana.
Sebuah
argumentum ad hominem.
Setali 3 Uang, tapi bukan generalisasi
3
Professor yang berbeda di 3 Universitas yang berbeda pula. Satu kemudian jadi
Hakim Mahkamah Konstitusi -yang padahal adalah berlatar belakang Guru Besar
Hukum Agraria-, satu adalah -konon- tim penyusun Undang-undang Administrasi
Pemerintahan, dan yang terakhir adalah -menurutnya- kawan dekat dan teman sekamar
Ketua Umum PBB, Prof. YIM. Kesemuanya berbeda, namun disamakan pada satu
persepsi: antitesis dari Padi. Yang makin berisi makin merunduk dan rendah hati.
Iya,
pada batas-batas tertentu ada sikap dan gestur penulis yang mungkin membuatnya
tersinggung secara pribadi -bukan secara ilmiah akademis-, sehingga secara
responsif bereaksi demikian. Namun itukah kebijaksanaan atau sikap keluhuran
hati seorang Guru Besar? Pendikte, reaksional, penggerutu, penggertak atau anti
kritik merupakan anasir yang tidak pantas disematkan kepada seorang Guru yang
Besar.
Hikmahnya,
semoga saja akibat-akibat tersebut: jadi obyek dikte, digertak, digerutui atau
dimarahi, sedikit menularkan ilmu-ilmu kecukupajaran atau keterdidikan sang
Professor kepada penulis yang mungkin kurang ajar atau kurang didik. :)
Teringat
sebuah quote dari idealist bernama Gie, yang secara
monolog diucapkan secara berkesan oleh Nicolas Saputra: "Guru yang tak tahan kritik boleh masuk
keranjang sampah. Karena guru bukanlah dewa yang selalu benar, dan murid
bukanlah kerbau."
Tapi
maqom penulis belum sampai pada level
tokoh se-inspiratif -setidaknya dalam idealismenya- Soe Hok Gie. Cukuplah dalam
level sebisa penulis saja. Sehingga penulis mengarang-ngarang quote lain, agar bisa mendekati
pemikiran Gie soal pendidik tadi. Apalagi orang tua dan keluarga penulis,
kebanyakan seorang pendidik. Takut terkena tulah. J
Sehingga
mendapatkan pemisalan terhadap hal itu, yang terinspirasi saat di jalanan:
Relasi mahasiswa dengan guru besar itu, seperti mengemudi mobil di belakang
mobil besar, dan jalannya kecil. Mau nyalip kita takut celaka, tidak nyalip,
bakal lama perjalanan kita. Yang bisa dilakukan adalah bersabar di belakangnya,
menunggu momen dan jalan yang pas. Bila momen itu datang, kita tikung cepat-cepat
mobil besar itu.
Mataram,
3 Desember 2015. 09.21 PM
Comments
Post a Comment