Hakim Inspiratif, ataukah Fiktif?
Masukan saja ke dalam penggolongan
narasi biasa, yg tidak terlalu serius. Serupa dengan postingan sebelumnya yg
lebih bernada "teriakan sumbang" seorang idealis daripada
"bisikan merdu" ilmiah yg kerap -dicoba- disampaikan dalam blog ini.
Cerita -same old brand new-,
kembali terangkai tentang Hakim, yang secara viral sudah banyak
menyebar. Penuturnya kali ini adalah seorang pendidik, yang entah mulai melunak
setelah teguran tajamku tempo hari, atau memang karena ingin membawakan
manifestasi konkrit dari subyek kajian yg diasuhnya tentang Hukum &
Masyarakat.
Kunilai sang pendidik itu dangkal -sepertiku-,
karena kerap menyampaikan narasi ataupun analogi dalam ceramah akademisnya
dengan menggunakan diri sendiri sebagai acuan dan konstanta. Bahasa
sederhananya, doyan curcol, bahasa fotografinya doyan selfie,
bahasa Islamiknya, doyan riya.
Berawal dari bahasan struktur hukum
yang kuat, yang di dalamnya meliputi aparat hukum yang berintegritas dan
profesional, tertuturlah cerita tentang seorang Hakim yg mengadili nenek tua
pencuri kakao.
Identifikasinya tentu langsung kepada
kejadian beberapa tahun ke belakang yang sempat menghebohkan dunia peradilan.
Singkat cerita, Hakim tersebut -yg secara sepintas (sepertinya agar terkesan
dramatis) diakui sebagai teman kuliah sang pendidik- memutuskan nenek itu
bersalah dijatuhi pidana serta denda. Tidak jelas pidana apa yg dikenakan
terhadap nenek malang itu, yg jadi sorotan adalah pidana dendanya. Hakim
tersebut, lanjutnya menghukum para pengunjung sidang untuk turut menyumbang
nenek tersebut agar bisa membayar denda yg dijatuhkan kepadanya. Si Hakim
sendiri ikut menyumbang 1 juta yang dimasukkan ke dalam topinya, sementara
pengunjung sidang juga dimintai uang yg dikumpulkan lewat topi itu.
Mengharukan bukan? Tapi tunggu dulu,
cerita ini bukan cerita baru. Bahkan telah lama beredar di media sosial, serta
mengalami perubahan versi. :) Bila sang pendidik itu mengatakan kejadiannya di
Jawa Tengah, lain lagi dengan postingan salah seorang kawan di media sosial,
yang menyebutkan itu terjadi di Prabumulih - Lampung. Padahal jelas-jelas
Prabumulih itu termasuk Provinsi Sumatera Selatan, bukan Lampung. ;)
Sebaik-baiknya cerita, memang yang
inspiratif, namun cerita inspiratif pun bila didalilkan berdasarkan kisah
nyata, tentu harus diuji pula kebenarannya. Inilah yang harus dikritisi.
1.
Tentang Topi.
Karena pemeriksaannya berhadap-hadapan
langsung dengan terdakwa, berarti setting kejadian ini ada pada
pengadilan tingkat pertama. Pertanyaannya, apa Hakim tingkat pertama (PN)
mengenakan topi saat sidang? Tettottt. Jawabannya tidak. Silakan cari
bila ada Hakim yang melaksanakan sidang, dari ujung Sabang sampai Merauke, yang
berani menggunakan topi pada saat sidang. Bagaimana tidak, Hakim yang menguap
saat sidang pun dikatakan melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim,
bahkan bisa dilaporkan ke KY. Apalagi sok-sokan bergaya memakai topi. Nnnaahhh.
2.
Hakim yang menyidangkan.
Seolah-olah
dipersepsikan bahwa pengambilan putusan hanya merupakan pendapat -satu orang-
pribadi Hakim -yang kawan sang pendidik tadi saja-. Lantas dimana peran kedua
Hakim Anggota lainnya? Hanya terpana menyaksikan kemuliaan hati sang Hakim -
kawan sang pendidik - tadi? Bila tindakan si nenek malang tadi termasuk tindak
pidana ringan, mungkin iya bisa dilakukan dengan Hakim Tunggal. Nah kalo
masuknya bukan tindak pidana ringan? Harus dengan Majelis Hakim dong pemeriksaannya, sehingga setidaknya
dilakukan 3 orang Hakim.
3.
Pidana Denda
Keadilan
itu harus obyektif. Sama dengan keharusan Putusan yang bersifat obyektif. Bila
seseorang dikenakan hukuman atas hal yang bukan merupakan kesalahannya, apakah
termasuk obyektif? Sama halnya dengan putusan Hakim di cerita itu, yang
memutuskan pengunjung sidang ikut membayar denda yang dijatuhkan kepada si
nenek malang tadi. Bisa jadi pengunjung sidang itu mahasiswa hukum yang sedang
mempelajari proses persidangan, orang yang sedang menunggu giliran sidang
berikutnya, orang yang tersasar tak sengaja masuk ruang sidang, atau orang yang
kepanasan dan menumpang berteduh disana, sembari melihat besar dan banyaknya
rasa simpati dari para pengunjung terhadap nenek malang yang tengah diadili.
Lantas bila orang-orang yang tak ada
kaitan langsung dengan perkara itu, lalu juga dihukum denda, keadilan macam apa
yang tengah ditegakkan?
Sebenarnya cerita ini sudah lama
menguap, dan sudah pula diragukan tentang eksistensinya, apalagi kebenaran
ceritanya. Namun karena disampaikan kembali dengan spesial oleh seorang
pendidik, tentu menjadi hal yang sangat menggelitik. Bagaimana bisa, seorang
pendidik yang khatam luar-dalam miniatur hukum dalam kajian akademisi, menelan
mentah-mentah cerita tentang Hakim inspiratif itu, dengan mengabaikan fakta-fakta
sederhana, yang bisa mementahkan kebenarannya sendiri. Padahal kesehariannya
bergelut dan mendidik anak bangsa untuk mendalami dan menguasai hukum. Sungguh
dangkal -seperti saya (lagi)- dan ironis.
Penulis menjunjung kemuliaan dan
hakikat dari penegakan hukum secara substansial, yakni keadilan itu sendiri.
Mencontohkan hal yang paralel antara konsep keadilan dalam tataran ideal dengan
implementasinya dalam praktik seperti cerita tersebut, tentu merupakan pengobat
dahaga atas carut-matur dan kelamnya citra lembaga peradilan di dalam dunia
nyata. Namun membawakan cerita inspiratif, dan memperlakukannya sebagai fakta,
dengan disusupi sedikit kebohongan, tentu malah berakibat sebaliknya.
Sungguhpun ingin menyampaikan pesan tentang masih adanya nilai-nilai luhur dan
adil dalam penegakan hukum di negeri ini, tak perlu dilebih-lebihkan dengan
kebohongan dan cerita yang mengada-ada. Akan berkontradiksi dengan tujuan
inspiratif, bahkan kemuliaan kebenaran itu sendiri. Apa adanya saja. Jangan
lebay. :)
Rewrite -29112015 @ Mataram
Comments
Post a Comment