Opportunisme & Hipokritas

Bila oportunisme di dunia sepakbola identik dengan ketajaman dan naluri mencetak gol yang tinggi, yang tentu berkesesuaian dengan besarnya pengidolaan supporter dan fans kepadanya, seperti yang disematkan kepada striker ceking Italia : Pippo Inzaghi, tapi oportunisme di dunia nyata, identik dengan hal negatif, sebuah hipokritas, ataupun sebuah inkonsistensi sikap.
Tak perlu payah-payah mencari idiom oportunisme semisal naluri mencetak gol Pippo Inzaghi – yang bisa mencetak gol, tak hanya melalui kaki kanan-kirinya, tapi juga lewat sundulan kepala, bahkan mulut, dada, perut dan hampir semua anggota tubuhnya-, di dunia nyata, pelototi saja televisi lokal, terutama yang memuat berita-berita –yang juga lokal-, niscaya banyak kita temui subyek dan obyek oportunisme berseliweran di depan muka kita.
Teori mendasar dari oportunisme alias hipokritas adalah, saat A berada pada posisi X, maka dia bersikap B. Namun saat A berada pada posisi Y, sikapnya adalah C, bukan lagi B. Rumusan matematisnya: (A + X = B; A + Y = C; sehingga C≠B, kendati juga X≠Y, namun untuk mempertahankan konsistensi persamaan, A dan B merupakan konstanta, sementara X dan Y merupakan variabel derivatif yang berjangka waktu.). Memusingkan bukan? Tak apalah, yang jelas tersampaikan pesan bahwa pada saat kondisinya bukan sebagai pengambil kebijakan, si A ini bilang kebijakan X itu menyengsarakan rakyat, sampai menangis-nangis darah, namun pada saat si A ini berposisi sebagai mandatoris, dengan tanpa dosa dia berkata kebijakan X itu untuk kepentingan rakyat banyak, bla..bla..bla...ble..ble..ble..

Tak heran sebenarnya, hipokritas semacam itu menggejala luas dan sporadik. Dari hal remeh-temeh semisal bau kentut atau bau keringat saja, kebanyakan dari kita sudah bersikap oportunis. Dan selemah-lemahnya oportunisme pada momen itu adalah, membesar-besarkan kadar polusi dan density yang timbul dari aroma kentut orang lain, namun berpura-pura dan memasang tampan polos saat kita tak sengaja meloloskan beberapa psi tekanan udara bermuatan gas toxic dari lambung kita yang kosong.
Contoh lain, -ini agak serius-, seorang kawan –entah siapa- yang kencang bener suaranya saat berdemonstrasi dan bercuap-cuap soal anti korupsi, pengusutan korupsi, penegakan hukum, bobroknya aparatur hukum, bla..bla..bla..ble..ble.., dengan ringan dan enteng nyontek, membuka buku – yang jelas bukan buku gambar atau buku Kho Ping Hoo-, atau tolah-toleh nyari jawaban dari kawannya yang lain, untuk mencari jawaban, pada saat ujian semesteran. Sebuah manifestasi sempurna dari sikapnya yang anti ini-itu, yang kerap diteriakan di jalan, tapi tak berlaku saat berada di dalam ruangan.

Contoh lain – yang juga serius -, aparatur pemerintah yang amat sangat prosedural dan patuh bersimpuh pada aturan dengan seketat-ketatnya, pada saat berhadapan dengan Pak Lik Tukidjan yang bersendal jepit, berkopiah hitam nyaris beludru, dan beraroma tembakau atau solar jalanan, karena tiap hari mendorong bakul es tebu tiap hari. Sementara tersenyum –ala grinch- penuh arti saat bertatap muka dengan Mas Santosa – nggak pake Achmad ya-, dengan dasi Hugo Boss dan setelah Ralph Lauren ORIGINAL, padahal mereka sama-sama mengurus –katakanlah- SIM C. Pada momen seperti ini, bisa kita identikan oportunisme dengan diskriminasi.
Itulah realitanya. Bukan menuding pemegang kewenangan yang kerap bersinggungan dengan oportunisme, hipokritas dan diskriminasi dengan berbagai derivasinya, kita pun bisa menjadi pelaku aktif dari oportunisme, hipokritas dan diskriminasi dalam skala tertentu. Menuding pemerintah tidak anti korupsi, sementara –kita- mengurus perijinan, pajak STNK, atau tetek-bengek yang berhubungan dengan birokrasi saja, nggak mau repot dan menyuruh orang lain dengan membayar – namanya mencalokan-, sementara yang pelaku usaha (pedagang, pengusaha, penyedia jasa) pada momen-momen tertentu dan pada orang-orang tertentu, menaikan harga semau sendiri, karena dengan kondisi permintaan yang tak terbatas (unlimited demands) dihadapkan pada persediaan yang terbatas (limited supply), ditambah bumbu omong kosong semisal “intervensi The Fed”, “sentimen negatif global”, “sektor riil & gaib” atau “level psikologis”, yang sampai muntah-muntah pun nggak bakal masuk di akal, telah membuat mereka (pelaku usaha itu) kemaruk dengan meraup keuntungan potensial sebanyak-banyaknya. Lagi, pengejawantahan hakiki dari konsep oportunisme di kalangan akar rumput.

Lantas, tatkala ada suatu kebijakan, dimana dahulu kutentang –dengan diam ataupun terang-terangan-, lalu datang suatu momen saat jiwa dan raga ini ditawarkan ikut berpesta, memeriahkan dan menjadi bagian dari sorak-sorai dan kegegap-gempitaan momen itu, apakah harus berpikir dua kali untuk menolak diri – atau memilih bergabung- di dalamnya. Apa kabar akal sehat? Dimanakah konsistensi yang tentu berseberangan dengan oportunisme dan hipokritas itu? 
Ahh, taik kucing!! Silakan berpesta yang mau berpesta. Aku tak terlalu suka gegap gempitanya, apalagi sampai mengganggu tetangga bahkan membebani orang dengan biaya-biaya. 

Comments

Popular posts from this blog

Kota Bandung dan Kota Malang

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc