Undang-undang Administrasi Pemerintahan: Quo Vadis Peradilan Tata Usaha Negara (Bagian 4)


Perluasan Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara
Selain penambahan kewenangan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, pasca berlakunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, terdapat pula perluasan kewenangan bagi Peradilan Tata Usaha Negara. Secara garis besar perluasan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara itu mencakup 2 hal pokok, yakni yang berkaitan dengan Keputusan Tata Usaha Negara, dan yang berkaitan dengan upaya hukum sebelum diajukannya gugatan ke Pengadilan.
Merupakan sebuah fakta notoir bagi kalangan praktisi, bahwa eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara sedemikian terbatasnya. Tak hanya ruang lingkup kewenangannya, tapi juga faedah serta kepastian penyelesaian (pelaksanaan putusan) hukum, yang menjadi tujuan akhir proses peradilan, dirasakan masihlah jauh dari konsep ideal. Seperti yang pernah diungkapkan Adriaan W. Bedner, bahwa: “Pada dasarnya pemerintah tidak menyukai kehadiran Peradilan Tata Usaha Negara, terlihat bahwa hampir semua wakil rakyat (waktu itu) menyadari bahwa pemerintah orde baru tidak akan bersedia menerima campur tangan pengadilan dalam hal-hal yang langsung berkaitan dengan pengendaliannya pada negara[1].
Salah satu indikasinya menurut Umar Dhani adalah: “tidak ada dukungan dari penguasa dalam tataran implementatif, sehingga apa yang menjadi kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang dalam tahap pelaksanaannya tidak didukung oleh saran dan prasarana, sehingga penyelesaian dari putusan pengadilan menjadi terabaikan[2]”.
Indikasi normatif yang juga menunjukkan pembatasan itu adalah ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, serta Pasal 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, yang secara jelas merefleksikan sesempit apa peranan Peradilan Tata Usaha Negara dalam menegakkan supremasi hukum di negeri ini.
Undang-undang Administrasi Pemerintahan, dapat dikatakan sebagai titik balik dari keterbatasan peranan Peradilan Tata Usaha Negara dalam menegakan Hukum Administrasi. Asumsi itu tumbuh saat Undang-undang Administrasi Pemerintahan memberikan perluasan makna Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana menjadi kewenangan absolut Peradilan Tata Usaha Negara, yang selama ini cenderung restriktif.
Paradigma Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, maupun Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, telah bergeser dengan ketentuan Pasal 38 ayat (3) serta Pasal 87 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014. Syarat limitatif semisal, konkrit, indvidual dan final, mengalami perluasan makna, terutama dalam hal akibat hukum yang timbul, dan subyek yang dikenai akibat hukum tersebut. Lebih dari itu, Undang-undang Administrasi Pemerintahan juga memberikan kewenangan bagi Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan memutus tindakan faktual administrasi pemerintahan.
Namun demikian, pemberlakukan ketentuan dalam Undang-undang Administrasi Pemerintahan tersebut, terutama ketentuan Pasal 87, tidak serta merta menghapus kriteria-kriteria KTUN yang diatur dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, melainkan mengalami revitalisasi[3].
Dengan tidak adanya penegasan ketidakberlakukan terminologi serupa dalam Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara (terkhusus kriteria KTUN), maka menurut hemat penulis, pengujian keabsahan KTUN di Peradilan Tata Usaha Negara bisa dilakukan secara alternatif, dengan menggunakan dasar Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara sendiri, ataupun dengan dasar Undang-undang Administrasi Pemerintahan.
1.  Keputusan Berbentuk Elektronis
Sebagaimana diungkapkan Indroharto, sebuah surat dikatakan keputusan tata usaha negara, penekanannya berada pada sifat dan isi/substansi, bukan pada bentuk dari surat tersebut. Jadi sepanjang memenuhi prasyarat sebagaimana Pasal 1 angka 3, dan terakhir diubah menjadi Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 51 Tahu 2009, maka kendati tidak berjudul “Keputusan”, maka surat tersebut telah memenuhi kriteria keputusan tata usaha negara.
Dengan demikian, konsep yang dibangun dalam ketentuan Pasal 38 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014, sejalan dengan hal itu. Karena sejatinya, keberadaan suatu keputusan terletak pada sifat serta isi/substansi dari surat tersebut, bukan pada bentuk maupun wujud fisik berupa dokumen yang dicetak ataupun dokumen digital (tidak dicetak), sepanjang telah jelas dan nyata apa yang diputuskan/diterangkan di dalamnya, maa secara limitatif itu merupakan sebuah “beschikking”.
2.  Perluasan Makna Keputusan Tata Usaha Negara
a.  Mencakup tindakan faktual;
Pergeseran kewenangan menguji tindakan faktual dari Peradilan Umum kepada Peradilan Tata Usaha Negara, bukanlah hal yang mengherankan. Onrechtmatige overheidsdaad
b.  Keputusan TUN di lingkungan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif dan penyelenggara negara lain;
Pemuatan norma ini secara tekstual, merupakan penegasan dari konsep bahwa keputusan tata usaha negara bukan hanya terbatas pada lingkup eksekutif saja. Sepanjang yang dilaksanakannya adalah urusan pemerintahan, dalam arti bukan fungsi legislasi (pembuatan perundang-undangan), maupun fungsi yudikasi (mengadili dan memutuskan perkara[4]), maka keputusan tersebut termasuk kriteria keputusan tata usaha negara.
c.  Berdasarkan perundang-undangan dan AUPB;
Karena sifat praesumptio justae causa, maka seburuk apapun sebuah keputusan administrasi tetap dianggap sah dan berlaku, selama belum dinyatakan sebaliknya. Sehingga dengan analogi terhadapnya, semua keputusan administrasi secara filosofis harus dianggap telah diterbitkan berdasarkan perundang-undangan AUPB, sepanjang belum dinyatakan sebaliknya.
d.  Final dalam arti luas;
Dalam penjelasan Pasal 87 huruf d Undang-undang Administrasi Pemerintahan, dikatakan bahwa final dalam arti luas diartikan mencakup keputusan yang diambilalih oleh atas pejabat yang berwenang.
e.  Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum;
Dapat ditafsirkan bahwa ketentuan ini lebih bersifat visioner, yakni mengasumsikan adanya potensi akibat hukum dari keputusan yang terbit. Misalnya, A mempersoalkan pengumuman data yuridis BPN, karena lokasi tanah tumpang tindih dengan tanah yg diklaim miliknya.
f.    Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat.
Kendati rumusan yang dipakai adalah “berlaku bagi masyarakat”, tapi secara limitatif hal ini hanya terbatas pada “beschikking” saja, yakni berlaku pada orang tertentu, golongan tertentu atau kelompok masyarakat tertentu. Sehingga misalnya, walaupun Peraturan Daerah juga memiliki kekuatan imperatif terhadap warga masyarakat, namun karena itu bersifat “regeling”, maka tidak termasuk katagori Keputusan Tata Usaha Negara.
3.  Sifat Fiktif Positif
Hal ini bisa disebut sebagai langkah progresif, implementasi dari pergeseran konsep administrastur pemerintahan yang mengatur (regulatory function), menjadi administratur pemerintahan yang melayani (service function), dan hakikatnya itu tak lain juga merupakan pergeseran paradigma dari negara hukum menjadi negara kesejahteraan.
Kontradiktif dengan ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, maka dalam Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2015 tegas dinyatakan bahwa tidak ditetapkannya atau tidak dilakukannya (sikap diamnya) Badan/Pejabat Pemerintahan, terhadap permohonan yang diajukan, maka dianggap dikabulkan secara hukum.
Namun demikian, terhadap sikap diamnya tersebut tetap harus menempuh proses pengadilan untuk mendapatkan putusan penerimaan permohonan[5]. Pemeriksaan pengadilan dalam permohonan ini, diasumsikan sama/serupa dengan pemeriksaan pengadilan dalam hal permohonan pengujian penyalahgunaan wewenang (vide Pasal 21 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014), sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Karena pada keduanya, tidak terdapat obyek sengketa definitif (berupa sebuah keputusan tata usaha negara, bahkan tindakan tata usaha negara), melainkan lebih bersifat pemeriksaan normatif terhadap permohonan yang diajukan[6], yang secara konseptual semestinya tidak jauh berbeda dengan sifat pemeriksaan PUU di Mahkamah Konstitusi.
III. 4. Ambiguitas & Pertentangan Norma tentang Kewenangan Mengadili
Kaidah upaya administrasi ditemukan tak hanya dalam Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara tapi juga dalam Undang-undang Administrasi Pemerintahan. Ini termuat dalam Pasal 76 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014, bahwa: “Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat, Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan”
Klausula tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan kritis, apakah kata “dapat” itu merepresentasikan kaidah imperatif (keharusan) ataukah kaidah alternatif (pilihan)? Kata “dapat” dalam ketentuan Pasal Pasal 76 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 itu secara filosofis mungkin meniru kata “dapat” dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, yang diartikan bahwa orang/badan hukum perdata, boleh menggugat, boleh juga tidak menggugat.
Namun konteks “dapat” di dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 itu kurang pas bila diterapkan dalam kaidah upaya administratif, sebab kata “dapat” di dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 lebih merupakan pilihan tindakan hukum (bersifat alternatif), sedangkan kata “dapat” di dalam Pasal 75 ayat (1) Undang-undang Administrasi Pemerintahan[7] maupun Pasal 76 ayat (3) Undang-undang Administrasi Pemerintahan merupakan kaidah prosedural yang harus ditempuh (bersifat imperatif)[8].
Potensi pertentangan norma muncul saat Pasal 76 ayat (3) Undang-undang Administrasi Pemerintahan dikonfrontasikan dengan ketentuan pasal 48 jo. Pasal 51 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, sebab bila makna “Pengadilan” dalam ketentuan Pasal 76 ayat (3) Undang-undang Administrasi Pemerintahan tersebut diacukan kepada Pasal 1 angka 18 Undang-undang Administrasi Pemerintahan, maka akan terjadi ambiguitas makna serta kompetensi absolut antara Pengadilan Tata Usaha Negara dengan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara[9].
Terkait hal ini, mungkin saja ada yang berpendapat bahwa asas hukum umum bisa diterapkan, yakni asas lex speciali derogate legi generali ataupun asas lex posteriori derogate legi priori. Namun tepatkah memperbandingkan kekhususan/keumuman Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara dengan Undang-undang Administrasi Pemerintahan, atau memperbandingkan kebaruan/kelampauan Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara dengan Undang-undang Administrasi Pemerintahan[10]?

Mataram, 18 Agustus 2015


[1] Adriaan W. Bedner, Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia (Sebuah Studi Sosio-Legal), Jakarta: Huma, 2010, hlm. 68.
[2] Umar Dhani, Putusan Pengadilan Non-Executable. Proses dan Dinamika Dalam Konteks PTUN, Yogyakarta: Genta Press, 2015, hlm. 3
[3] Lihat: Slamet Suparjoto, op.cit. hlm. 67
[4] Namun perlu dikaji bahwa saat ini, fungsi -yang serupa dengan fungsi- yudikasi tak hanya menjadi domain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konsitusi selaku pemegang Kekuasaan Kehakiman saja. Lembaga semisal KPPU, DKPP atau Komisi Informasi Pusat/Daerah, dipersepsikan memiliki fungsi yudikasi juga.
[5] Lihat ketentuan Pasal 53 ayat (4), (5), dan (6) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014.
[6] Bisa diperbandingkan juga dengan sistem pemeriksaan akusator dan inkuisitor dalam Hukum Pidana. Dimana dalam sistem akusator, para pihak diposisikan setara dan sama-sama menjadi subyek pemeriksaan, sementara dalam sisten inkuisitor, para pihak diposisikan sebagai obyek pemeriksaan.
[7] Meski tekstualnya berbunyi: “dapat” namun sifat imperatif-nya disini adalah ketentuan Pasal selanjutnya yang menyatakan bahwa Upaya Administratif itu adalah Keberatan dan Banding. Hal yang paralel juga bisa ditemui dalam ketentuan Pasal 76 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
[8] Berbeda dengan konsep Upaya Administratif yang selama ini dikenal dalam praktik Peradilan Administrasi berdasarkan UU Peratun maupun dikatakan dalam SEMA Nomor 2 Tahun 1991, yang tidak secara tegas menyiratkan jenis maupun hierarki serta fase Upaya Administrasi yang harus dilakukan vide Pasal 48 UU Nomor 5 Tahun 1986, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menetapkan dengan jelas jenis serta berjenjangnya Upaya Administrasi yang harus ditempuh.
[9] Pasal 76 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 menyatakan bahwa Pengadilan (Tata Usaha Negara) berwenang untuk memeriksa gugatan yang telah menempuh upaya administrasi. Sedangkan Pasal 51 ayat (3) menyatakan bahwa yang berwenang memeriksa sengketa yang telah menempuh Upaya adminstrasi adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
[10] Bandingkan dengan pendapat,: “Apakah lex generalis in cassu UU AP dapat merubah lex specialis (UU PTUN) dengan dalih UU AP lex posterior? Apakah lex posterior generalis dapat merubah lex prior specialis?” dalam Philipus M. Hadjon , loc.cit. hlm. 4
[11] Bandingkan dengan pendapat,: “Apakah lex generalis in cassu UU AP dapat merubah lex specialis (UU PTUN) dengan dalih UU AP lex posterior? Apakah lex posterior generalis dapat merubah lex prior specialis?” dalam Philipus M. Hadjon , loc.cit. hlm. 4

Comments

Popular posts from this blog

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc

Kota Bandung dan Kota Malang