Undang-undang Administrasi Pemerintahan: Quo Vadis Peradilan Tata Usaha Negara (Bagian 2)
Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara
Pasca Undang-undang Administrasi Pemerintahan
Secara
sporadis, terdapat penambahan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara setelah
disahkannya Undang-undang Administrasi Pemerintahan. Dikatakan sporadis, karena
secara substansial apa yang menjadi perluasan kewenangan tersebut hanya
disematkan secara parsial oleh Undang-undang Administrasi Pemerintahan, dan
tidak mengubah secara keseluruhan praktik maupun hukum acara dalam praktik
Peradilan Tata Usaha Negara yang ada.
Dari
beberapa pasal yang secara signifikan memiliki dampak kebaruan bagi praktik
peradilan administrasi, dapat dipilah menjadi 2 tipikal utama, yakni yang
bersifat menambahkan kewenangan dan yang memperluas kewenangan.
Disebutkan
penambahan kewenangan (kompetensi) absolut Peradilan Administrasi, karena
sebelum disahkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014, kewenangan tersebut
belumlah ada. Kewenangan dimaksud adalah sebagaimana disebutkan dalam ketentuan
Pasal 21 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014, yakni mengenai pengujian adanya
penyalahgunaan wewenang, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2014 bahwa:
“Pengadilan berwenang menerima, memeriksa dan
memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh
Pejabat Pemerintahan”;
Sementara
perluasan kewenangan merupakan penambahan kewenangan yang disebabkan karena
adanya perluasan ataupun perubahan batasan konsep, yang sebelumnya sudah diatur
di dalam Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara. Perluasan tersebut adalah
definisi Keputusan Tata Usaha Negara, sebagaimana Pasal 87 Undang-undang Nomor
30 Tahun 2014, serta pergeseran ketentuan Pasal 3 mengenai tindakan diamnya
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, yang dianggap menolak menerbitkan keputusan,
menjadi menganggap mengabulkan menerbitkan keputusan, meskipun tindak lanjutnya
tetap harus melalui putusan pengadilan, sebagaimana ketentuan Pasal 53 ayat (3)
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014.
Polemik
dan pro-kontra seputar adanya kewenangan menilai penyalahgunaan wewenang masih
berlangsung hingga saat ini. Stigma negatif: “menghambat agenda pemberantasan
korupsi” menjadi tajuk utama dalam setiap kajian maupun diskusi antara
praktisi-akademisi hukum, khususnya yang mengkonfrontasikan pendekatan hukum
pidana dan hukum administrasi.
Dalam
beberapa tulisan, penulis berpendapat bahwa kaidah pengujian ada atau tidaknya
penyalahgunaan wewenang, merupakan terminologi hukum administrasi, sehingga
upaya hukumnya (baca: pengujiannya) pun harus dilakukan dalam kaidah hukum
administrasi dan tentunya peradilan administrasi. Akan tetapi oleh karena dalam
penyalahgunaan wewenang jabatan ini potensial
mengandung unsur-unsur pidana, maka pendapat semacam penulis pun mendatangkan
kontra-argumen yang secara hukum sebenarnya juga merupakan hal yang logis.
Bila
disikapi dengan bijak dan pikiran terbuka, adanya peranan Pengadilan Tata Usaha
Negara dalam menguji ada/tidaknya penyalahgunaan wewenang sejatinya dimaksudkan
untuk mempermudah penentuan unsur “penyalahgunaan wewenang” sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor, sehingga pertimbangan Majelis
Hakim yang memeriksa Tindak Pidana Korupsi selanjutnya akan lebih fokus pada
unsur-unsur pidana dari Tindak Pidana Korupsi itu sendiri. Hal yang merupakan
efek lanjutan dari pendapat Romli Atmasasmita[1]: “..bahwa penyidik dan penuntut tindak pidana korupsi eks Pasal 3 UU
Tipikor 2001/1999, pasca berlakunya UU ADP 2014 tidak akan mengalami kesulitan
yang berarti untuk menerjemahkan pengertian istilah Penyalahgunaan Wewenang
terkait penuntutan dan pembuktian tindak pidana korupsi oleh penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri
lainnya atau aparat penegak hukum”.
Sejauh
ini, pengertian “menyalahgunakan wewenang” –dalam konteks Pasal 3 UU Pemberantasan
Tipikor- secara praktis mengambil alih pengertian “penyalahgunaan wewenang”
dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986. Hal yang bisa
dikatakan merupakan implementasi dari teori Autonomie van het Materiele Strafrecht dari H.A.
Demeersemen[2],
yang pada intinya menyatakan bahwa: “Hukum Pidana mempunyai otonomi untuk memberikan
pengertian yang berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam cabang ilmu hukum
lainnya, akan tetapi jika hukum pidana tidak menentukan lain, maka dipergunakan
pengertian yang terdapat dalam cabang hukum lainnya”, untuk mempertanyakan adakah
harmoni atau disharmoni antara Hukum Pidana dengan lingkup hukum lainnya,
termasuk Hukum Administrasi.
Namun
di dalam realitas sosial, terjadi perbedaan pemahaman mengenai penerapan teori Autonomie
van het Materiele Strafrecht
tersebut.
Sebagian menganggap pengujian penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh
Pengadilan Tata Usaha Negara, telah tepat. Akan tetapi ada pula yang menganggap
pengujian penyalahgunaan wewenang secara khusus/tersendiri tidaklah perlu,
karena Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, bisa menafsirkan sendiri unsur
penyalahgunaan wewenang dalam Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor, dengan melandaskan
diri pada asas tersebut di atas, yakni mengambil alih konsep serupa –yaitu
penyalahgunaan wewenang - yang telah ada dalam Hukum Administrasi[3].
Di
Belanda dianut asas bahwa peradilan biasa (peradilan umum kita) mengisi
kekosongan perlindungan hukum yang ditinggalkan peradilan tata usaha negara[4]. Hal yang tentu
berkebalikan dengan praktik peradilan Indonesia, dimana Peradilan Tata Usaha
Negara hanya mengadili sengketa yang bukan merupakan (residu) kewenangan
peradilan umum. Bahkan, bila pun suatu sengketa telah didaftarkan dan diperiksa
di Peradilan Tata Usaha Negara, terkadang ditahbiskan pula menjadi “bukan
kewenangan” Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa, memutus dan
menyelesaikannya, dengan pertimbangan bukan merupakan sengketa tata usaha negara,
ataupun persoalan hukum lain (selain sifat hukum administrasinya) harus
diselesaikan terlebih dahulu.
Inferioritas
(baca: prioritas hukum privat>hukum publik) semacam ini, bila terus
berlanjut akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum administrasi di
Indonesia, dan bukan tidak mungkin terjadi juga dalam hal pengujian
penyalahgunaan wewenang sebagaimana secara atributif telah diberikan
Undang-undang Administrasi Negara kepada Peradilan Tata Usaha Negara. Dan
lagi-lagi, bisa terjadi Peradilan Tata Usaha Negara akan “dipaksa mengalah”
menyerahkan pengujian penyalahgunaan wewenang tersebut melalui jangkauan
kewenangan dan syarat-syarat yang sangat dibatasi.
Konsep
pembedaan kewenangan mengadili seharusnya tegas ditegakkan dan dipisahkan. Oleh
karena Peradilan Tata Usaha Negara tidak berwenang memeriksa (dan memutus)
sengketa tata usaha negara (sengketa administrasi) serta Keputusan Tata Usaha
Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986,
kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004), maka secara negasi
juga berarti bahwa Lingkungan Peradilan lainnya tidak memiliki kewenangan
memeriksa sengketa tata usaha negara (sengketa administrasi) maupun Keputusan
Tata Usaha Negara (KTUN)[5], sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 serta Undang-undang
Administrasi Pemerintahan.
Bersambung..
Bersambung..
[1] Romli Atmasasmita, Penyalahgunaan Wewenang Oleh Penyelenggara Negara: Suatu Catatan Kritis Atas UU RI Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan, , Makalah Seminar Nasional HUT IKAHI, 2015, hlm.
2-3.
[2] SF Marbun. Hukum Administrasi Negara II, Yogyakarta: FH UII Press, 2013, hlm.
114
[3]
Bandingkan misalnya dengan Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 1340 K/Pid/1992, tanggal 17 Februari 1992.
[4]
Philipus M. Hadjon, dkk., Hukum Administrasi dan Tindak Pidana
Korupsi, Cetakan Kedua, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012,
hlm. 9.
[5]
Sejalan dengan Pasal 87
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014, maka makna Keputusan Tata Usaha Negara
haruslah dimaknai pula keselarasannya dengan kewenangan PTUN, in cassu pengujian penyalahgunaan
wewenang vide Pasal 21 Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2014.
[6]
Abdul Latif, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, Jakarta:
Prenada Media Grup, 2014, hlm. 46
Assalamualaikum wr.wb. Salam kenal saya mhsi FH Universitas Riau yang ingin mengangkat tentang penambahan wewenang PTUN dalam UU Nomor 30 tahun 2014, kalau boleh sharing sebaiknya rumusan masalah yang bisa diangkat apa ya? dan mohon dijelaskan juga tentang penambahan wewenang tersebut yang mana dari artikel diatas saya belum paham apa maksudnya. Makasih @cicajoli
ReplyDeleteWaalaikumsalam warahmatullah.
DeleteSecara normatif beberapa perubahan terkait kewenangan PTUN, tersebar secara acak di UU Administrasi Pemerintahan. Misalnya tentang Penyalahgunaan wewenang dan konsep fiktif positif, itu 2 hal "besar" yang diamanatkan di dalam UU Administrasi Pemerintahan.
Jadi, menarik bila salah satu atau bahkan kedua hal itu dikaji dari aspek Hukum Administrasi maupun Hukum Pidana (khusus yang terkait penyalahgunaan wewenang), karena referensi tentang keduanya masih sangat minim (ini peluang sekaligus tantangannya).
Silakan dicoba dek. :)