Undang-undang Administrasi Pemerintahan: Quo Vadis Peradilan Tata Usaha Negara (Bagian 3)
Penambahan
Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara
Mengapa
harus ke Pengadilan Tata Usaha Negara? Karena penyalahgunaan wewenang dalam
jabatan sebagai salah satu unsur dalam Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor, pada
hakikatnya merupakan terminologi dan konsep yang berada dalam rezim Hukum
Administrasi. Berhubung wewenang adalah “kemampuan bertindak yang diberikan
oleh Undang-undang yang berlaku untuk hubungan hukum”, maka “kewenangan” yang
dimaksud oleh Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor tentunya adalah kewenangan yang
ada pada jabatan atau kedudukan yang dipangku oleh Pegawai Negeri berdasarkan
peraturan perundang-undangan[1]. Filosofi dasarnya karena
jabatan berhubungan dengan tindakan/urusan pejabat maupun badan publik dalam
melakukan urusan administrasi pemerintahan di pusat maupun daerah, berdasarkan
kewenangan atau diskresi yang ada padanya.
Penalaran
ini pun sejalan dengan ketentuan Pasal 53 ayat (2)
huruf b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, bahwa pengujian sengketa di bidang
administrasi (baik berdasarkan Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara maupun
Undang-undang Administrasi Pemerintahan), salah satunya karena adanya
pelanggaran terhadap Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik[2].
Dan bila pun pelanggaran terhadap larangan
penyalahgunaan wewenang tersebut tidak dinormakan sebagai peraturan, “penyalahgunaan
wewenang” tetap merupakan bagian dari pelanggaran terhadap Asas-asas Umum
Pemerintahan Yang Baik, sehingga jangkauan kewenangan pengujiannya tetap berada
pada Pengadilan Tata Usaha Negara[3].
Terlebih pengkajian mengenai ketidakberwenangan (onbevogheid) sebagaimana terjemahan
dalam pasal 17 ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan (baik dalam bentuk detournement de pouvoir maupun willekeur), selama ini sudah menjadi
domain Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mengujinya.
Pendapat ini senada dengan yang disampaikan Andhi Nirwanto[4], bahwa: “..parameter
utama untuk menentukan ada tidaknya onrechmatig overheidsdaad yang menjadi
domain tata usaha negara, terletak pada 2 (dua) hal pokok, yaitu: a. Apakah
pejabat pemerintahan telah menjalankan wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku?; b. Apakah pejabat pemerintahan telah menerapkan asas-asas umum
pemerintahan yang baik (AAUPB) dalam menjalankan kewenangan tersebut?”,
karena konteks penyalahgunaan wewenang adalah menggunakan wewenang yang
diberikan kepadanya itu menyimpang dari maksud dan tujuan asalnya. Sejalan juga
dengan konsep penyalahgunaan wewenang yang pernah ada dalam ketentuan Pasal 53
ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu menggunakan wewenang
untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut. Dalam mengukur
apakah telah terjadi penyalahgunaan wewenang, haruslah dibuktikan bahwa pejabat
telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain[5]. Terjadinya penyalahgunaan wewenang bukanlah karena suatu
kealpaan. Penyalahgunaan wewenang dilakukan secara sadar yaitu mengalihkan
tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu[6].
1. Menyimpang dari tujuan atau maksud dari suatu pemberian
kewenangan
2. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan
asas legalitas;
3. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik;
Dialihkannya
wewenang[8] untuk membuktikan adanya
penyalahgunaan wewenang ke Pengadilan Tata Usaha Negara, bukan disikapi dengan
anggapan hal itu merupakan suatu penghambatan dalam proses pemberantasan
korupsi, melainkan harus ditanggapi dengan sikap bahwa penegakan hukum itu harus
dilakukan sesuai dengan koridor hukum masing-masing, yakni penegakan hukum
pidana, diselesaikan dengan instrumen dan institusi penegak hukum pidana,
begitu juga dengan penegakan hukum administrasi, yang dalam hal ini adalah
pengujian penyalahgunaan wewenang harus disesuaikan juga dengan instrumen dan
institusi penegak hukum administrasi.
Pesan sama
yang juga sebenarnya tertuang dalam pertimbangan Majelis Hakim Agung, dalam
perkara Kasasi Nomor: 572 K/Pid/2003, yang pada pokoknya menyatakan bahwa
pengujian serta penentuan adanya penyalahgunaan wewenang tidak secara serta
merta dapat diputuskan oleh Peradilan Umum, melainkan harus dibuktikan terlebih
dahulu (tersendiri).
Putusan
Kasasi Nomor: 572 K/Pid/2003:
Menimbang, bahwa Mahkamah Agung tidak
sependapat dengan pertimbangan hukum judex factie, bahwa unsur menyalahgunakan
wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
itu disimpulkan terbukti dari rangkaian perbuatan hukm Terdakwa I yang tidak
melakukan atau mengusahakan suatu mekanisme koordinasi kerja yang tidak terpadu
dengan baik, sehingga perbuatan materiil Terdakwa I menurut hukum bertentangan
dengan asas kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian dalam pengelolaan uang
negara, padahal Terdakwa I memiliki wewenang untuk itu. Menurut pendapat
Mahkamah Agung, haruslah dibuktikan terlebih dahulu unsur pokok dalam Hukum
Pidana apakah Terdakwa I mempunyai kesengajaan (opzet) untuk melakukan
perbuatan penyalahgunaan wewenang tersebut, dan bahwa memang Terdakwa I
menghendaki dan mengetahui (met willens en wetens) bahwa perbuatan itu dilarang
tapi tetap dilakukannya..”
Dalam
perkembangannya, dapat dikaji bahwa yang menjadi dasar pertimbangan hukum judex factie (PN dan PT) dalam kasus
tersebut adalah berkenaan dengan asas
kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian dalam urusan pemerintahan (i.c. Pengelolaan Uang Negara), yang
berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, merupakan pengejawantahan dari
Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik.
Bila
implementasinya dilaksanakan dengan kaidah hukum yang konsisten dan
berkesinambungan, seharusnya dengan perubahan dasar uji bagi Peradilan Tata
Usaha Negara (melalui perubahan terhadap Pasal 53 ayat (2) Undang-undang
Peradilan Tata Usaha Negara), seharusnya juga berimplikasi langsung terhadap
pengujian unsur “menyalahgunakan wewenang” maupun “penyalahgunaan wewenang”
yang selama ini berlangsung. Sehingga setelah berlakunya Undang-undang Nomor 9
Tahun 2004, pengujian mengenai eksistensi unsur tersebut tidak secara serta
merta bisa dilakukan dalam satu pertimbangan hukum sekaligus, melainkan harus
dilakukan secara tersendiri.
Fallacy (kesesatan menafsir)
saat mempertimbangkan terminologi “menyalahgunakan wewenang” tersebut
berlangsung sekian lama, bahkan setelah Peradilan Tata Usaha Negara lahir dan
berdiri. Sebab dengan perluasan batasan dasar pengujian di Peradilan Tata Usaha
Negara, menjadi peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang
baik, maka konteks “menyalahgunakan wewenang”, “penyalahgunaan wewenang” atau
istilah lain yang sepadan, adalah termasuk dalam konteks tersebut.
Diputuskannya unsur “menyalahgunakan wewenang” ataupun “penyalahgunaan
wewenang” oleh Peradilan Umum, tentu merupakan sebuah paralogis kewenangan
mengadili yang berlangsung sampai saat ini, dan baru disadari saat disahkannya
Undang-undang Administrasi Pemerintahan.
Dari
ketentuan Pasal 21 ayat (2) Undang-undang Administrasi Pemerintahan, subyek
hukum yang berhak mengajukan permohonan
pengujian penyalahgunaan wewenang ini adalah Badan/Pejabat Pemerintahan.
Tidak dijelaskannya “siapa” atau “kapan” Badan/Pejabat Pemerintahan bisa
mengajukan permohonan penyalahgunaan wewenang tersebut, menimbulkan polemik,
namun juga membuka ruang penafsiran.
Tri
Cahya Indra Permana misalnya, menafsirkan “siapa” atau “kapan” dan dalam
ketentuan tersebut menjadi: Pertama, Pejabat
yang telah ditetapkan sebagai terdakwa karena diduga menyalahgunakan wewenang. Kedua, Pejabat yang gamang jika tindakan
yang dilakukannya dapat berakibat pada sanksi pidana, dan Ketiga, Badan khususnya penegak hukum/penyidik yang ingin
mengetahui ada atau tidak adanya unsur penyalahgunaan wewenang pada tindakan
Pejabat yang akan disidiknya[10].
Ruang
penafsiran terhadap ketentuan tersebut memang terbuka lebar, sebab sampai saat
ini belum ada aturan pelaksanaan yang bisa dijadikan panduan standar,
spesifiknya, hukum acara yang menjelaskan rangkaian pemeriksaan dalam pengujian
penyalahgunaan wewenang tersebut.
Paradigma
yang keliru kerap dilekatkan pada tipikal pengujian penyalahgunaan wewenang
tersebut. Tak hanya di kalangan eksternal (akademisi dan praktisi hukum lain),
namun di kalangan internal yudisial pun masih terdapat anggapan bahwa dalam
pengujian penyalahgunaan wewenang itu terdapat sebuah “keputusan” definitif,
baik yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Pemerintah, ataupun Penegak
Hukum/Penyidik. Selanjutnya, hal tersebut dinisbahkan kepada ketentuan Pasal 2
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, sehingga pada akhirnya sampai pada kesimpulan
yang keliru, pengujian itu bukan menjadi kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara
untuk memeriksa dan mengadilinya.
Sama
halnya dengan ketentuan mengenai permohonan fiktif positif, maka yang
dimintakan oleh pemohon adalah putusan pengadilan atas suatu keputusan
“fiktif”, yang sebenarnya tidak ada secara fisik. Sehingga obyek pengujiannya
bukanlah suatu obyek sengketa definitif, yakni dokumen tertulis ataupun dokumen
digital (keputusan tata usaha negara), melainkan keberadaan konsep
“penyalahgunaan wewenang”, yang dikonfrontasikan dengan regulasi yang relevan
dengan kewenangan yang diujikan.
Sehingga
secara pribadi, penulis hampir sepaham dengan pendapat Tri Cahya Indra Permana
sebagaimana tersebut di atas, hanya saja terdapat sedikit perbedaan, dimana
pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian penyalahgunaan wewenang
adalah: Pertama: Pejabat yang telah
ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menyalahgunakan wewenang, dan Kedua: Penyelidik ataupun penyidik
(secara alternatif), pada saat akan melanjutkan pelimpahan berkas perkara[11] tersebut ke pengadilan
(Tipikor).
Bersambung..
Bersambung..
[1]
Abdul Latif, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, Jakarta:
Prenada Media Grup, 2014, hlm. 46
[2]
Dalam hal ini terjadi pergeseran
status penyalahgunaan wewenang dari asas-asas umum pemerintahan yang baik (in cassu larangan detournement de pouvoir maupun willekeur)
menjadi norma hukum positif (sebagaimana ditunjukkan dalam Pasal 17 ayat (2)
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014).
[3] Lihat ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf
b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004.
[4]
Andhi Nirwanto, Arah Pemberantasan Korupsi Ke Depan (Pasca
Undang-undang Administrasi Pemerintahan), Makalah Seminar Nasional HUT
IKAHI, 2015, hlm.15
[5]
Philipus M. Hadjon, op. cit, hlm. 22.
[6] ibid
[7]
Supandi, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan
(Relevansinya terhadap Disiplin Penegakan Hukum Administrasi Negara dan
Penegakan Hukum Pidana), artikel dalam Majalah Varia Peradilan Tahun XXX
No. 353, Bulan April 2015, hlm. 29.
[8]
Meskipun istilah pengalihan wewenang
dirasa kurang tepat, sebab selama ini pengujian mengenai ada atau tidaknya
penyalahgunaan wewenang dalam jabatan, tidak dilakukan secara khusus oleh
Peradilan Umum, melainkan dipertimbangkan bersama-sama dengan unsur-unsur lain
dalam Pasal 3 UU Tipikor.
[9]
Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana
Korupsi dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009, Palangkaraya: Laksbang
Mediatama, hlm. 75-76. Dalam Supandi, op.cit,
hlm. 26
[10]
Tri Cahya Indra Permana, dalam
artikel Hak Permohonan Pejabat/Badan Atas
Dugaan Penyalahgunaan Wewenang. Dalam: Subur MS (ed.), dkk., Bunga Rampai Peradilan Administrasi
Kontemporer, 2014, Penerbit Genta Press, Yogyakarta. Hlm.50.
[11] Sebagaimana ketentuan Pasal 3
Undang-undang Tipikor.
Comments
Post a Comment