Pergumulan THR dan Ketupat Lebaran



Hari raya identik dengan kemegahan atau kesenangan, bisa diartikan harfiah, bisa diartikan juga secara istilah. Yang pasti, haram bagi orang yang merayakannya untuk bersusah-susah. Malah dalam Islam, berpuasa (shaum) pun diharamkan di hari raya Idul Fitri, dengan alasan tidak ada pengecualian kebahagiaan bagi setiap orang di hari itu.

Identifikasi lain di hari raya Idul Fitri khususnya Indonesia adalah ketupat, meskipun dirasakan kian hari kian luntur. Hedonisme dan permisivisme boleh dikatakan memegang peranan vital sehingga semakin menafikan posisi ketupat di hari raya Idul Fitri, karena betapa tidak, ritual budaya -termasuk eksistensi ketupat- kian terpinggirkan oleh hal yang jauh lebih –bisa dikatakan vital dan -substansial daripada sebuntal beras yang dimasukkan ke kulit daun kelapa dan dikukus, kemudian dinikmati dengan makanan berkuah, opor, soto maupun rawon.

Tunjangan hari raya. Itulah terminologi yang mebiaskan kedudukan ketupat di hari raya. Terminologi yang sebenarnya hanya "sah & berkekuatan hukum" di dunia ketenagakerjaan/perburuhan, sebab sejatinya tunjangan hari raya merupakan salah satu komponen hak dari pekerja/buruh yang ditentukan undang-undang. Namun, seperti halnya banyak terminologi yang mengalami "peng-umum-an", seperti misalnya mie instan yang "di-umum-kan" menjadi Sarimi atau Indomie, atau air mineral botol ataupun gelas yang mengalami "peng-umum-an" menjadi Aqua botol atau Aqua gelas, maka tunjangan hari raya pun saat ini dianggap tak hanya menjadi domain kaum pekerja/buruh, melainkan pegawai negeri sipil pun merasa itu menjadi hak mereka, bahkan parahnya orang yang tidak memiliki hubungan pekerjaan, atau ekstrimnya orang yang tidak bekerja, merasa pula memiliki hak untuk mendapatkan tunjangan hari raya. Sebuah "peng-umum-an" yang luar biasa -kebablasan- bukan?

Berbeda untuk kaum pekerja/buruh yang memang memiliki legal standing untuk mendapatkan tunjangan hari raya, pergeseran makna THR ini makin menyebar dan seolah menjadi conditio sine qua non menjelang datangnya hari raya, tak pandang siapa dia, bekerjakah dia, atau adakah legal standingnya untuk mendapatkan (baca; meminta) tunjangan hari raya.

THR Yang Memilukan
Ditangkapnya 3 orang Hakim (salah satunya Ketua Pengadilan), seorang Panitera/Sekretaris dan seorang lagi advokat, tentu sangat menyesakkan. Ironisnya hal tersebut terjadi saat bulan Ramadhan menjelang berakhir, dan tak lama lagi adalah Idul Fitri. Kedua momen tersebut semestinya diisi dan dimanfaatkan dengan rasa berbahagia, bersama keluarga. Menyedihkan bukan? Dan itu masih ada sangkut pautnya dengan terminologi bernama Tunjangan Hari Raya.

Yang lebih menyedihkan adalah, perkara yang menyebabkan kelima orang tersebut ditangkap Komisi Pemberatasan Korupsi adalah perkara perdana di Indonesia mengenai pengujian ada tidaknya penyalahgunaan wewenang oleh Badan/Pejabat Pemerintahan. Hal mana yang sekaligus pula dianggap momentum kebangkitan dan merupakan re-eksistensi peranan Peradilan Tata Usaha Negara dalam membangun sinergitas penegakan hukum administrasi – hukum pidana, di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi. Tak kalah menyedihkannya bukan?

Sudahlah, biarkan proses hukum yang fair dan transparan yang akan membuktikan sangkaan suap atau gratifikasi itu. Terlalu penat rasanya pikiran, perkataan dan perasaan ini memberikan komentar dan ocehan-ocehan seputar hancur leburnya martabat penegak hukum akibat suap-menyuap, korupsi, kolusi dan penyelewenangan lainnya. Kini kembali kepada bahasan tunjangan hari raya.

Kebutuhan yang meningkat menjelang hari raya (lebaran), senantiasa berulang tiap tahun. Dan itulah hal yang menjadi pembenar bagi setiap orang untuk mendapatkan tunjangan hari raya. Pekerja/buruh, pegawai swasta, sampai pegawai negeri sipil, bahkan orang yang tidak bekerja/tidak mempunyai hubungan kerja sekalipun, akan dengan berbagai pembenaran menuntut diterimanya THR. Tidak percaya? Silahkan amati dan rasakan sendiri.
Budaya “peng-umum-an” kelayakan mendapatkan THR ini kian hari kian menggurita. Tanpa tedeng aling-aling, terkadang orang yang tidak memiliki kepentingan, urusan maupun hubungan kerja dengan pihak tertentu, memohon bahkan meminta –dengan kesan memaksa- agar bisa diberikan THR. Padahal sesuai konsep normatifnya, THR merupakan salah satu komponen hak yang harus diterima pekerja swasta/buruh, yang tentunya merupakan prestasi (isi perjanjian) dari sebuah perikatan kerja tertentu. Lantas apa relevansi –hukum-nya pihak yang sama sekali tidak memiliki perikatan kerja memohon, meminta bahkan memaksa diberikan THR?

Bisa jadi itu hanya peristilahan lain dari “jatah”, “shodaqoh”, “pemberian karena belas kasihan” atau apapun namanya, yang demi penghalusan istilah yang sebenarnya merupakan sarkasme, maka dipakailah istilah “THR”. Sehingga hadirlah “pekerja-pekerja” dadakan, yang muncul setiap menjelang lebaran. Wartawan minta THR ke pimpinan instansi-instansi tertentu, Ormas-ormas sempalan tanpa sungkan memohon partisipasi ke perusahaan yang kebetulan berada di daerah tempat mereka tinggal, aparat pengadilan yang meminta jatah THR kepada para pihak yang sedang, sudah atau akan – ini yang keterlaluan- berperkara di pengadilan, bahkan orang-orang yang bahkan jarang – bila tak mau dikatakan tidak pernah – bertegur sapa pun, baik dalam konteks bercanda ataupun serius, banyak yang meminta jatah “THR” kepada kerabat, kenalan atau temannya yang dianggap sukses dan hidup makmur.

Bila mau fair dan menghindari anggapan hipokritas dan kemunafikan, semestinya para peminta itu tak lagi memakai istilah “THR” saat menjelang lebaran ataupun hari raya lain. Pakai saja istilah apa adanya, yang memang mewakili “hajat” mereka pada saat itu, agar citra THR kian hari tak semakin terpuruk. Katakan saja, minta “jatah preman” bila Ormas meminta uang atau barang kepada perusahaan di wilayah mereka, atau sebut saja “uang tutup mulut atau uang penjaga rahasia” bila wartawan meminta sesuatu dari pimpinan instansi-instansi yang merasa kepentingannya ada di tangan mereka. Atau jujur saja menyebut “suap atau gratifikasi” ketika itu berhubungan dengan permintaan Hakim, Panitera, staf pengadilan atau aparat penegak hukum lainnya menjelang lebaran, atau sekalian saja “meminta uang jajan” saat ada kerabat atau rekan sejawat antah-berantah, - yang menganggap kita sukses dan makmur-, tetiba muncul dan meminta sesuatu saat lebaran tiba. Kasihan THR selalu disudutkan oleh “kepentingan dan Hajat” yang sebenarnya bukan mewakili dirinya.
Berharap mendapatkan THR, seolah-olah itu merupakan hak kita, padahal kita -secara de jure maupun de facto- tidak memiliki legal standing untuk itu, sudah merupakan tindakan mengada-ada nan memalukan, apalagi secara jelas-jelas dan terang-terangan meminta THR. Jauh lebih mengada-ada dan jauh lebih memalukan. Terlepas dari konteks penyampaiannya, bercanda maupun serius, menggunakan kedok THR untuk menutupi hajat sebenarnya yang berupa “meminta-minta, memaksa meminta bahkan memeras”, jelas bukanlah hal yang diajarkan Islam. Jangankan untuk hal yang secara konsep hak tidak menjadi tugas dan kewajiban kita, dalam hal itu adalah tugas dan kewajiban kita pun, adalah hina meminta-minta kompensasi dari apa yang sudah menjadi tugas dan kewajiban kita.

Biarlah Tunjangan Hari Raya itu menjadi milik para pekerja swasta/buruh, yang memang menjadi kewajiban pengusaha dan perusahaan untuk memberikannya. Pegawai Negeri Sipil, apalagi yang tidak bekerja, jangan sekali-kali terlintas mendapatkan THR, karena anda-anda –pegawai negeri sipil- telah diberikan gaji dan tunjangan setiap bulan, sampai pensiun, bahkan sampai meninggal. Sementara anda-anda yang tidak memiliki hubungan kerja, silakan pikirkan lagi legal standing anda meminta THR kepada orang lain. Berikan manfaat kepada yang akan anda mintai THR, agar terjalin hubungan yang mutualisme, harmonis dan agamis J. Dan kepada orang-orang yang tetiba meminta THR kepada kerabat atau sejawatnya, kaji kembali kebutuhan orang yang dimintai, apakah sudah layak mereka dimintai, mengapa tidak anda yang berada dalam posisi dimintai THR? Toh anda dan dia, sama-sama manusia yang memiliki kebutuhan dan konsumsi harian yang perlu juga dipenuhi.

Yang terakhir, siapapun anda, hentikan kebiasaan meminta-minta THR. Itu adalah hak pekerja yang muncul dari pemenuhan kewajiban pekerjaan. Bukan hak umum yang tiba-tiba hadir di setiap lebaran.

Comments

Popular posts from this blog

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc

Kota Bandung dan Kota Malang