Aspek & Pihak yang Berkepentingan Dalam Sengketa TUN (Bagian II)
Aspek
Kepentingan Dalam Sengketa Administrasi
Hak
keperdataan lumrahnya berkenaan dengan hubungan hukum antara subyek hukum
tertentu (orang ataupun badan hukum perdata), dengan obyek hukum tertentu
(benda bergerak ataupun tidak bergerak, maupun hak kekayaan intelektual). Dalam
situasi ideal, hubungan keperdataan dibuktikan dengan alat bukti tertentu
(surat, dokumen, dsb.) untuk menegaskan hubungan hukum antara subyek dan obyek
hukum tersebut. Sehingga pembuktian yang dilakukannya lebih bersifat formal
yuridis, karena mempertimbangkan keterkaitan antara subyek hukum dengan alat
bukti (surat, dokumen, dsb.) yang secara resmi (formal) diterbitkan oleh pihak
yang berwenang.
Sementara
kepentingan (belang), lebih merupakan
term socio-yuridis[1]
yang muncul dari kebiasaan masyarakat, baik didasarkan pada pengakuan maupun
pembiaran masyarakat, yang pada akhirnya menyematkan title sosial tertentu. Kepentingan secara harfiah memang lebih
abstrak dan kadang batasannya lebih fleksibel daripada hak keperdataan, sebab
ianya tidak dibatasi dengan adanya dokumen (formil) tertentu saja, melainkan
bisa juga terjadi karena keterkaitan fisik (materiil) dengan obyek hukum
tertentu, atau bahkan keduanya (keterikatan formil dan materiil).
Oleh
karena muncul dari term socio-yuridis, kebanyakan term
kepentingan tak harus paralel dengan adanya dokumen (fomil) sebagaimana hak
keperdataan. Ekstrimnya, seseorang yang tidak punya hubungan hukum apapun terhadap
suatu keputusan badan/pejabat pemerintah, secara formal-subyektif bisa
mengajukan gugatan ke Pengadilan. Selanjutnya pada tahapan pemeriksaan di
pengadilan itulah dibuktikan hubungan formal-subyektif yang mendasari, layak
dimasukkan dalam kriteria kepentingan ataukah tidak.
Hal
ini sejalan dengan prasyarat sebagaimana dimuat dalam Pasal 53 ayat (1)
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, bahwa penekanan hak gugat berada pada fase
“merasa kepentingannya dirugikan”, tak harus sampai pada tahap “kepentingannya
dirugikan”, sehingga singkatnya orang yang baru merasa dirugikan pun bisa
mengajukan gugatan sengketa tata usaha negara. Meski hal itu tentu tidak
menjamin dikabulkannya gugatan tersebut, sebab sebelum mempertimbangkan
mengenai pokok sengketa-nya, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara akan
terlebih dahulu memeriksa mengenai formalitas gugatan, termasuk di dalamnya
adalah mengenai terpenuhi atau tidaknya kepentingan untuk menggugat.
Pengertian
“belang” alam terminologi hukum acara
administrasi dikemukakan oleh Ten Berge & Tak adalah menunjuk kepada “de waarde die beschremd moeten warden en
inzet vormt van het proces (het rechtens te beschrement belang)” (nilai
yang harus dilindungi dan membentuk isi proses [kepentingan yang harus
dilindungi secara hukum]) dan dalam arti procesbelang,
yaitu tujuan yang hendak dicapai dengan proses[2].
Pihak
Yang Berkepentingan Dalam Sengketa Administrasi
Sejalan dengan konsep kepentingan tersebut di
atas, maka tafsiran tentang pihak yang berkepentingan di dalam praktik Peradilan
Tata Usaha Negara senantiasa berubah (fleksibel) dan berkembang, sesuai dengan
posisi kasus yang terjadi.
Bila
ditelaah, konteks yang berkaitan dengan “kepentingan” di dalam Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha negara ada dua jenis, yakni kepentingan yang berkaitan
dengan hak menggugat (vide Pasal 53
ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004[3]), dan kepentingan yang
berkaitan dengan pelibatannya sebagai pihak dalam sengketa (vide Pasal 83 ayat (1) Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986[4]).
Kendati
ditemukan dalam kedua konteksual pasal yang berbeda, namun kedua term kepentingan tersebut sebenarnya
memiliki batasan yang serupa, yakni hubungan kausalitas dengan adanya kerugian
yang muncul dari diterbitkannya obyek sengketa. Sehingga secara prinsip, bisa
dikatakan konteks kepentingan yang dimaksudkan pun adalah sebangun dan sama.
Yang membedakannya adalah tindakan hukum yang terjadi yakni tindakan hukum
aktif (dalam hal Penggugat yang mengajukan gugatan vide Pasal 53 ayat (1) Undang Nomor 9 Tahun 2004), dan tindakan
hukum pasif[5]
(dilibatkannya sebagai Tergugat II Intervensi, vide Pasal 83 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986).
1. Pihak yang dituju langsung oleh Keputusan
Tata Usaha Negara
Dalam
telaahan “pihak yang dituju secara langsung”, nampaknya tidak ada perdebatan
berarti, sebab penerbitan suatu keputusan tata usaha negara (beschikking) tentu berkenaan dengan
adanya hak dan kewajiban yang timbul setelahnya dimana hal itu tertuju pada
subyek hukum yang disebutkan namanya secara jelas dalam keputusan tata usaha
negara (beschikking) tersebut.
Sehingga konteks kepentingan baik berdasarkan ketentuan Pasal 53 ayat (1) UU
No. 9 Tahun 2004 maupun Pasal 83 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986, dalam hal subyek
hukumnya disebutkan secara jelas disana, tak diragukan lagi eksistensi
kepentingannya untuk menggugat ataupun menjadi pihak dalam sengketa tersebut.
2. Pihak ketiga (Intervenient) yang tidak dituju langsung oleh Keputusan Tata Usaha
Negara
Berbeda
halnya dengan pihak yang dituju secara langsung –pihak yang disebutkan namanya,
maupun pihak yang terdampak langsung- oleh suatu keputusan tata usaha negara,
kajian mengenai pihak lain (pihak ketiga/intervenient)
kerap menemukan disparistas ruang lingkup. Ini terjadi sebab prasyarat “merasa
kepentingannya” dirugikan memang cenderung abstrak, sehingga memerlukan
kearifan dan pertimbangan holistik dari Hakim/Majelis Hakim PTUN sendiri untuk
membuktikan hubungan kausalitasnya dengan akibat hukum yang timbul dari
keputusan tata usaha negara yang tengah diujikan.
Berkembangnya
pemikiran terhadap frasa “merasa kepentingannya” dirugikan, menyebabkan
kepentingan tersebut oleh sebagian kalangan ditafsirkan menjadi kepentingan
langsung dan kepentingan tidak langsung. Padahal seperti telah dikemukakan di
atas, oleh karena sengketa tata usaha negara bersifat tight standing alih-alih actio
popularis, sehingga tafsiran terhadap kepentingan untuk menggugat maupun
untuk dilibatkan sebagai pihak yang bersengketa pun seharusnya dipersempit,
menjadi hanya kepentingan yang bersifat langsung saja.
Sejalan
dengan hal ini, pendapat yang sering digunakan oleh Hakim Peradilan
Administrasi dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai kepentingan adalah
apa yang diungkapkan oleh pelopor Hukum Acara Administrasi Negara di Indonesia,
yakni Indroharto, ialah[6]: “..kepentingan dalam
Peradilan Tata Usaha Negara harus bersifat langsung, artinya yang terkena
secara langsung itu adalah kepentingan Para Penggugat sendiri, bukan diperoleh
dari pihak lain dan secara objektif dapat ditentukan, baik mengenai luas maupun
intensitasnya..”.
Lebih lanjut, perluasan kepentingan bagi pihak
ketiga ini pun telah terakomodir dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, sebab
secara normatif apa yang tertuang di dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986 hanya tenggang waktu pengajuan gugatan (i.c. hak gugat) bagi pihak yang
dituju secara langsung oleh suatu keputusan tata usaha negara saja, sedangkan
secara praktis, pengajuan gugatan tersebut juga sering berkenaan dengan
kepentingan pihak lain (ketiga) yang tidak dituju secara langsung oleh
keputusan tata usaha negara tersebut.
Untuk mengatasi persoalan kekosongan hukum
tersebut, berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor: 5
K/TUN/1992, tanggal 21 Januari 1993 jo. Nomor: 41 K/TUN/1994, tanggal 10
Nopember 1994, jo. Nomor: 270 K/TUN/2001, tanggal 4 Mei 2002, maka
dilakukan penafsiran terhadap ketentuan Pasal 55 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986 tersebut dalam bentuk perluasan makna (ekstensif), sehingga menjadi: “tenggang waktu pengajuan gugatan bagi pihak
yang tidak dituju secara langsung[7]
oleh suatu keputusan tata usaha Negara adalah dihitung secara kasuistis sejak
ia merasa kepentingannya dirugikan, dan mengetahui adanya keputusan tersebut”.
Terhadap
yurisprudensi ini, maka secara limitatif bagi pihak ketiga yang tidak dituju
langsung oleh keputusan tata usaha negara, hak gugat muncul -dan secara
normatif baru dikatakan muncul- sejak 2 syarat utamanya terpenuhi, yakni sejak
merasa kepentingannya dirugikan, dan sejak menyetahui adanya keputusan –yang
merugikannya- tersebut. Sehingga, pembuktian adanya hak gugat dan sejak kapan
hak gugat itu muncul serta dihitung tenggang waktu pengajuannya, bergantung
pada alat bukti yang relevan dengan 2 hal tersebut.
3. Pihak yang terkena dampak langsung oleh
Keputusan Tata Usaha Negara.
Dalam praktik peradilan
administrasi, tekstual “pihak yang dituju secara langsung” menurut hemat
penulis, tidak secara serta merta bisa diartikan secara kontekstual sebagai
“pihak yang namanya disebut secara langsung” oleh sebuah keputusan tata usaha
negara, sebab dalam artian yang lebih luas, “pihak yang dituju secara langsung”
oleh sebuah keputusan/tindakan administrasi pun bisa diartikan sebagai pihak
lain yang namanya tidak disebutkan langsung di dalam KTUN, asalkan memenuhi
syarat utama, yakni memiliki keterkaitan hukum maupun terkena akibat hukum oleh
keputusan tata usaha negara yang digugat tersebut.
Contoh konkritnya
adalah kreditur atas sertipikat yang tengah digugat di pengadilan, sebagaimana
berikut: Sebuah sertipikat atas nama A tengah digugat keabsahannya di
Pengadilan Tata Usaha Negara oleh C, masing-masing pihak menyatakan
kepentingannya terhadap tanah sebagaimana dimaksud dalam sertipikat tersebut.
Dalam pemeriksaan kemudian diketahui bahwa tanah tersebut ternyata tengah
ditanggungkan (dilekatkan Hak Tanggungan) di Bank B.
Hak Tanggungan atas
sertipikat (dalam kapasitasnya sebagai alas hak, juga sebagai sebuah keputusan
tata usaha negara) secara hukum privat adalah lumrah, sebab dalam hukum tanah
kita dikenal juga penguasaan yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk
menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Kreditor pemegang hak jaminan
atas tanah mempunyai penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan,
tetapi penguasaannya secara fisik tetap ada pada yang empunya tanah.[8]
Terkait hal ini, Budi
Harsono juga berpendapat bahwa[9]: Hak Tanggungan sebagai
hak penguasaan atas tanah, juga berisikan kewenangan bagi kreditor untuk
berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan, tetapi bukan untuk
dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjual jika debitor
cidera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian, sebagai
pembayaran lunas utang debitor kepadanya.
Berkaca pada pendapat
tersebut tentunya relevan dengan konsep kepentingan yang dikemukakan di atas,
yakni bahwa kendati sertipikat tercatat atas nama si A, akan tetapi karena
terhadapnya dilekatkan hak tanggungan atas nama Bank B, maka makna kepentingan
pun menjadi mulur (meluas) menjadi tidak hanya berada pada si A saja, tapi juga
terhadap Bank B.
Contoh lain misalnya, A
adalah salah seorang peserta seleksi Calon Anggota Komisioner “X”. Dalam
prosesnya, di tahapan wawancara A dinyatakan tidak lulus oleh Panitia Seleksi.
Setelah keputusan tidak lulusnya tersebut, A baru mengetahui bahwa pembentukan
Panitia Seleksi yang didasarkan pada Surat Keputusan “B”, ternyata melanggar
peraturan perundang-undangan, karena dipilih/ditunjuk oleh Badan/Jabatan Tata
Usaha Negara yang tidak berwenang. Sementara tahapan seleksi pada saat A baru
mengetahui pelanggaran pembentukan tersebut, sudah pada tahap penetapan hasil
akhir seleksi berdasarkan Surat Keputusan “C” yang diterbitkan oleh Panitia
Seleksi tersebut. Lantas, apakah kepentingan langsung dari si A ini, berkaitan
dengan Surat Keputusan “B” saja, atau juga terhadap Surat Keputusan “C”?.
Menurut hemat penulis,
oleh karena kepentingan menggugat–sebagaimana juga diungkapkan Indroharto- berkaitan dengan proses/nilai yang hendak
dibela/dipertahankan, maka oleh karena Surat Keputusan “B” dan “C” merupakan
satu rangkaian proses yang mau tak mau harus ada -conditio sine qua non-, dan secara kausalitas menjadi penyebab
adanya surat keputusan setelahnya, maka kepentingan yang direfleksikan dari
Surat Keputusan sebelumnya pun menjadi kepentingan langsung bagi si A.
Meskipun secara faktual
masih terdapat perdebatan mengenai cakupan kontekstual “pihak yang dituju
secara langsung” sebagaimana tersebut di atas, akan tetapi secara logika hukum
sederhana maupun pengujian kausalitas, adalah beralasan hukum tatkala pihak
yang –kendati- namanya tidak disebutkan secara langsung di dalam keputusan tata
usaha negara, memenuhi kriteria sebagai pihak yang dituju secara langsung oleh
keputusan tata usaha negara tersebut, sebab keputusan tata usaha negara yang
digugat, berada pada penguasaannya (misal: berdasarkan perjanjian keperdataan
antara kreditur dengan debitur), sehingga kepentingan yang dibelanya
sebangun/sama dengan kepentingan pihak yang namanya disebut secara langsung
dalam keputusan tata usaha negara yang digugat.
Kepentingan dimaksud
adalah sepanjang berkenaan dengan keadaan hukum tertentu, yang ada atau
tidaknya semata-mata berkorelasi dan memiliki hubungan sebab-akibat langsung
dengan keputusan administrasi yang diajukan upaya hukumnya (digugat).
Perluasan makna “pihak
yang dituju secara langsung” dalam konsep legal
standi untuk mengajukan gugatan administrasi berdasarkan unsur kepentingan
ini secara praktis memang masih berpolemik, akan tetapi atas dasar argumen
tersebut di atas, terlebih bila dikaitkan dengan frasa “merasa”, sebelum frasa
“kepentingan yang dirugikan” dalam undang-undang, maka tak terlalu keliru bila
perluasan makna berdasarkan prasyarat “pihak yang akan terdampak langsung” oleh
keabsahan keputusan tata usaha negara tersebut adalah beralasan hukum,
semata-mata demi terjaminnya kepentingan hukum para pihak yang berkepentingan
dan berkaitan dengan sengketa administrasi tersebut. Namun, tetap dengan tidak
pula mengabaikan asas tight standing
sebagai antitesis dari actio popularis
yang dianut dalam gugatan perdata.
Kesimpulan:
1. Hak
gugat di Peradilan Tata Usaha Negara tidaklah bersifat actio popularis, melainkan tight
standing.
2. Kendati
terdapat derivasi terkait batasan “kepentingan langsung” sebagai prasyarat hak
gugat administrasi, akan tetapi pada prinsipnya hanya kepentingan langsung saja
yang bisa ditafsirkan sebagai kepentingan mengajukan gugatan sebagaimana pasal
53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 maupun Pasal 83 ayat (1)
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986. Sementara kepentingan tidak langsung, tidak
memungkinkan dijadikan alasan mengajukan gugatan administrasi.
3. Kepentingan
langsung merupakan sebuah konsep yang harus diartikan tak hanya sebatas pada
pencantuman nama subyek hukum yang termuat dalam sebuah keputusan/tindakan
hukum pemerintah saja, melainkan lebih menekankan pada konsep nilai kepentingan
yang “terdampak langsung” dari keputusan/tindakan hukum pemerintah tersebut. Sehingga
konteks pihak yang dituju secara langsung, tidak dibatasi oleh frasa “pihak
yang namanya disebut” saja, melainkan juga kepentingan pihak-pihak lain yang
“terdampak langsung” oleh penerbitan keputusan tersebut.
Mataram,
18 Juni 2015
[1]
Dalam arti pranata hukum yang
muncul dari hukum kebiasaan, hukum adat atau hukum tidak tertulis lainnya.
[2]
J.B.J.M. ten Berge & A.Q.C.
Tak, Hoofdlijnen van het Nederlands
administratief procesrecht, W.E.J. Tjeenk Wilink – Zwolle, 1987, hlm. 65,
dalam: Irfan Fachruddin, Kepentingan Menggugat pada Badan Peradilan
Administrasi, Makalah Jurnal Hukum Yarsi Vol. 4 No. 2 Agustus 2007, hlm.
105-118, dalam: Subur MS,
dkk (ed.), Bunga Rampai Peradilan
Administrasi Kontemporer, Genta Press, Yogyakarta, 2014, hlm. 168.
[3]
Pasal 53
ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, menyatakan: “Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan
oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan..”
[4]
Pasal 83 ayat (1) Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986, menyatakan: “..setiap
orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh
Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun
atas prakarsa Hakim, dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara..”
[5] Meskipun secara faktual intervenient sebagaimana dimaksud di
atas bisa saja adalah pihak yang membela kepentingannya sendiri (Penggugat
Intervensi atau tussenkomst dalam
HIR), ataupun dalam praktek peradilan administrasi yang tetap melalui mekanisme
pengajuan permohonan, yang adalah tindakan hukum-aktif.
[6]
Indroharto, Usaha Memahami
Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993,
hlm 37.
[7]
Perlu ditekankan, bahwa frasa:
“pihak yang tidak dituju secara langsung” diartikan sebagai pihak lain yang
tidak disebutkan namanya dalam keputusan tata usaha negara, namun kepentingan –
yang dirugikan-nya tetaplah kepentingan langsung. Jadi, konteks “tidak secara
langsung” dalam hal ini berkenaan dengan subyek hukumnya, bukan kepentingan
yang dimilikinya. Sehingga prasyarat pengajuan gugatan administrasi (sengketa
TUN), tetaplah sebuah kepentingan langsung, bukan kepentingan tidak langsung,
hal mana yang sejalan dengan konsep tight
standing dalam praktik Peradilan Administrasi di Indonesia selama ini.
[8]
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid 1 Hukum Tanah Nasional. Cetakan 12,
Penerbit Djambatan, Jakarta: Penerbit Djambatan, 2008. hlm. 23.
[9] Budi Harsono, ibid. hlm. 24.
Lanjutkan Mang...:)
ReplyDeletelapan enam ;)
ReplyDeleteAtur nuhun
ReplyDelete