Aspek & Pihak Yang Berkepentingan dalam Sengketa TUN (Bagian I)

Hukum Publik & Hukum Privat
Hukum privat dan hukum publik, memiliki karakteristik dan daya ikat (yurisdiksi) masing-masing yang juga berbeda. Pembedaan hukum menjadi 2 tipikal hukum ini didasarkan pada pendapat Van Vollenhoven[1], dan sempat pula menjadi perdebatan lama diantara para ahli, seperti halnya Hammaker yang menyatakan kendati ada perbedaan hakiki antara kedua macam hukum tersebut, namun ia masih menyatakan bahwa hukum publik itu sebenarnya bukan hukum, tetapi hanya suatu perumusan dalam UU mengenai tugas-tugas dan sarana yang digunakan publik adalah hukum yang dibuat oleh pembuat UU (wetgeversrecht). Karenanya di luar UU juga tidak ada tempat untuk hukum publik. Sedangkan hukum privat itu asalnya bersumber pada kesadaran hukum yang bersifat umum, karena ia lebih tinggi kedudukannya daripada pemerintah maupun UU[2].

Namun demikian menurut Van Apeldoorn, pembedaan itu bukanlah pemisahan (onderscheiding, geenscheiding). Kepentingan orang-seorang tidak dapat dipisahkan dari kepentingan umum, karena seorang manusia adalah bersama-sama merupakan orang-seorang (individu) dan juga sebagai anggota masyarakat (social wezen)[3].

Mengenai definisi dan cakupannya, bisa diperbandingkan antara pendapat Van Apeldoorn yang pada pokoknya membedakan kedua tipikal hukum itu berdasarkan kepentingan yang dilindungi, yakni bila kepentingan yang dilindunginya adalah kepentingan umum maka itu adalah hukum publik, namun bila kepentingan yang dilindunginya adalah kepentingan khusus (i.c. antar individu), maka itulah hukum privat[4], dengan pendapat dari Donner yang menyatakan bahwa hukum privat adalah hukum yang mengatur tentang hubungan-hubungan antar para individu, sedang hukum publik itu mengatur hubungan hukum antara penguasa (pemerintah) dengan para warga masyarakat atau antara para instansi pemerintah sendiri[5].

Meskipun pada awal mula berkembangnya kajian tentang hukum, pembedaan ini dianggap kurang relevan dan substantif, akan tetapi sejarah mencatat bahwa terlepas dari sistem hukum mana yang melingkupinya (baik sistem civil law maupun common law), pembedaan hukum publik dan hukum privat dalam kajian akademis maupun praktis, turut serta berperan dalam menyusun dan membangun peradaban hukum modern sesuai dengan tuntutan zaman dan masyarakat dimana hukum itu tumbuh dan berkembang.

Indikator sederhananya, banyak kalangan praktisi juga akademisi yang –sengaja ataupun tidak – mengkhususkan diri mereka pada keahlian hukum tertentu saja, baik itu dalam lingkup hukum publik (sebagai Jaksa, Advokat atau Dosen, khusus dalam Hukum Pidana) maupun hukum privat (Advokat, Konsultan Hukum Pajak, Notaris/PPAT). Pengecualiannya adalah Hakim, karena kendati saat ini tengah berada pada rangkaian modernisasi dalam konteks Sistem Kamar Peradilan (dengan dasar bidang keahlian hukum tertentu) maupun lingkungan peradilan (sebagaimana telah digariskan UUD 1945), Hakim tetap harus dianggap mengetahui –semua- hukum baik itu hukum publik ataupun hukum privat, sebagai refleksi umum dari asas ius curia novit.

Actio Popularis vs Tight Standing
Disadari atau tidak, pembedaan antara tipikal Hukum Publik dan Hukum Privat juga secara analogi terjadi pada aspek-aspek lain dalam kajian hukum, seperti adanya pembedaan Sistem Hukum Civil Law dan Common Law, yang sejatinya didasari praktik hukum dalam wilayah keberlakuan tertentu (Eropa Kontinental dan Anglo Saxon (Eropa Daratan) serta Amerika); dasar penegakan hukum, yakni wet/perundang-undangan (tertulis) yang diperbandingkan dengan recht/hukum (baik tertulis serta berdasarkan kebiasaan yang berlanjut); sampai tipikal negara hukum, yakni negara hukum murni dengan berbagai variannya, yang selanjutnya diperbandingkan dengan negara kesejahteraan (welfaar staat/welfare state).

Salah satu poin dikotomi yang relevan dengan bahasan ini adalah mengenai hak gugat (standing to the sue) atas dasar suatu kepentingan, yang juga memiliki 2 sisi perbedaan secara praktis, yakni dalam cakupan Hukum Perdata (Privat) dan Hukum Administrasi Negara (Publik), terkhusus dalam sistem hukum di negara ini.

Hak gugat umum (actio popularis) pada umumnya dilakukan dengan motivasi dasar adanya tuntutan ganti kerugian atas suatu tindakan pemerintah yang memiliki dampak kepada warga masyarakat. Kendati secara tekstual, actio popularis ini berkenaan dengan jaminan hukum bagi warga masyarakat (dalam bentuk tindakan hukum tertentu, baik secara indvidual maupun komunal), namun dalam prakteknya actio popularis lebih identik dengan gugatan perwakilan kelompok (Class Action) terhadap tindakan pemerintah (overheidsdaad) yang berimplikasi pada hajat hidup orang banyak, atau lingkungan hidup (alam).
Oleh karena motivasi dasarnya adalah adanya tuntutan ganti kerugian, maka secara prinsip konsep actio popularis baik dalam tindakan pokoknya maupun tuntutan pokoknya, cenderung ke arah praktik hukum perdata alih-alih dianut dalam praktik Hukum Administrasi Negara, yang substansinya adalah menguji keabsahan tindakan hukum pemerintah[6] dan/atau keputusan tata usaha negara[7] yang diterbitkan oleh pemerintah[8]. Sehingga dengan demikian, dalam sengketa tata usaha negara tak semua subyek hukum bisa mengajukan gugatan, kendati mendalilkan adanya kepentingan umum (masyarakat) yang dirugikan atas tindakan hukum pemerintah tersebut. Hal tersebut menjadi salah satu pembeda pokok antara hak gugat di dalam lingkup hukum perdata dengan hukum adminstrasi.

Bila dikaji secara mendasar terdapat pula pembeda pokok selain motivasi, yang secara prinsip juga harus dipahami adalah kepentingan yang menjadi dasar adanya motivasi untuk melakukan suatu tindakan hukum (gugatan) tertentu.

Perbedaan mendasar antara latar belakang adanya gugatan di Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara adalah adanya hak keperdataan yang dikomparasikan dengan adanya kepentingan. Keduanya kendati sering memiliki batasan yang serupa dan kadang sukar dibedakan, namun pada prinsipnya kedua term tersebut pada awalnya bersifat subyektif, yang pada akhirnya akan dibuktikan obyektivitasnya oleh Hakim/Majelis Hakim yang memeriksa.

Terkait dengan aspek kepentingan ini, ada pemaknaan yang silih berganti digunakan dan terkadang berderivasi (bila tidak dikatakan sebuah disparitas) terhadap pemaknaan konteks kepentingan mengajukan gugatan[9]. Dalam perkembangannya, terdapat dinamika pasang surut antara dua regim, yaitu actio popularis dan tight standing secara bergantian. Actio Popularis, diartikan bahwa setiap orang dapat mengajukan gugatan. Semua subyek hukum berkepentingan dengan pelaksanaan wewenang  pemerintah yang sesuai dengan hukum. Tight standing diartikan hak mengajukan gugatan hanya diberikan kepada pihak yang dialamatkan oleh suatu keputusan administrasi, yang ditujukan untuk menjaga ketepatan dan kepastian hukum[10].

Dalam actio popularis, hak mengajukan gugatan bagi warga negara atas nama kepentingan umum adalah tanpa syarat, sehingga orang yang mengambil inisiatif mengajukan gugatan tidak harus orang yang mengalami sendiri kerugian secara langsung, dan juga tidak memerlukan surat kuasa khusus dari anggota masyarakat yang diwakilinya[11].

Adanya pengidentifikasian class action dengan actio popularis ini secara hukum menjadi logis, karena apa yang dituntut pada keduanya, mayoritas berkaitan dengan kepentingan umum, yang –juga bukan merupakan kebetulan- sering bersinggungan dengan tindakan pemerintah, baik tindakan faktual pemerintah (feitelijkehandelingen) maupun tindakan hukum pemerintah (rechtshandelingen).

Sementara dalam tight standing, kriteria subyek hukum yang dapat mengajukan gugatan lebih ketat dengan parameter tertentu yang secara obyektif dapat diperkirakan eksistensinya. Kendati dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, frasa yang menjadi prasyarat hak gugat adalah “merasa kepentingannya dirugikan”, akan tetapi dengan mendasarkan diri pada konsep hukum publik dasar yang terkandung di dalamnya, dimana tidak semua subyek hukum dapat semaunya menggugat sebuah keputusan pemerintah[12] yang telah diterbitkan, maka konsep tight standing ini diterapkan sebagai penyeimbang dari frasa “merasa kepentingannya dirugikan” dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004.

Bahasan selanjutnya, mungkin ada beberapa kalimat yang menyamakan antara tata usaha negara dengan administrasi negara, atau sejenisnya. Hal ini tidak bertujuan untuk mencampur-baurkan ketentuan dalam Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara dengan Undang-undang Administrasi Pemerintahan, namun semata-mata untuk mempermudah bahasan saja, sebab dalam praktik peradilan saat ini, tengah berlangsung pembauran-pembaruan istilah tata usaha negara dengan administrasi. Hal mana yang secara normatif pun tidak bertentangan pula dengan Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara dengan Undang-undang Administrasi Pemerintahan[13].



[1] C.S.T. Kansil, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 14.
[2] Indroharto, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, LPP-HAN, Bogor 1999, hlm.3
[3] Samidjo. Pengantar Hukum Indonesia, Penerbit CV Armico: Bandung, 1985, hlm. 26.
[4] L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Pramita: Jakarta, 1990, hlm.74.
[5] Indroharto, op.cit, hlm.5-6.
[6] Lihat ketentuan Pasal 87 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang memperluas cakupan kewenangan pengujian keabsahan tindakan hukum pemerintah.
[7] Lihat ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009.
[8] Kendati Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 juga memberikan kemungkinan adanya pemberian ganti rugi dan rehabilitasi, namun besarannya terbatas dan itu hanya merupakan petitum (tuntutan) tambahan saja, bukan merupakan tuntutan pokok dalam sengketa tata usaha negara, sebagaimana ketentuan Pasal 97 ayat (7) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
[9] Terutama gugatan administrasi (Sengketa Tata Usaha Negara).
[10] Van Wijk, H.D, Hoofdstukkken Van Administratief Recht, Uitgeveru Lemma BV, Utrecht, 1995, hlm. 715, dalam Irfan Fachruddin, Kepentingan Menggugat pada Badan Peradilan Administrasi, Makalah Jurnal Hukum Yarsi Vol. 4 No. 2 Agustus 2007, hlm. 105-118, dalam: Subur MS, dkk (ed.), Bunga Rampai Peradilan Administrasi Kontemporer, Genta Press, Yogyakarta, 2014, hlm. 168
[11] Susanti Adi Nugroho, Class Action & Perbandingannya dengan Negara Lain, Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm. 386.
[12] Hal inilah yang mendasari adanya asas praesumptio justae causa atau asas praduga rechmatig, yang tujuannya antara lain adalah untuk melindungi kewibawaan pemerintah serta menghindari kekosongan hukum dalam pelaksanaan urusan administrasi negara.
[13] Bandingkan ketentuan Pasal 144 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dengan Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014.

Comments

Popular posts from this blog

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc

Kota Bandung dan Kota Malang