Beberapa Anotasi Terhadap UU Administrasi Pemerintahan (Bagian II)
UU AP
Dalam Bingkai Sengketa Tata Usaha Negara
Di
samping adanya hal positif terkait dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha
Negara dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014, terdapat pula beberapa norma
yang perlu dikritisi karena merupakan konsep administrasi negara kontemporer
dan baru dijadikan norma tertulis, diantaranya adalah:
1. Kewenangan
yang bisa ditarik kembali
Secara umum, Undang-undang Nomor 30 Tahun
2014 menyatakan bahwa hanya kewenangan yang bersumber dari delegasi serta
mandat saja yang bisa ditarik kembali oleh pemberi kewenangannya. Filosofi dasarnya adalah bahwa
keduanya bukanlah pemegang kewenangan yang asli, sehingga bila dikehendaki
pemegang kewenangan yang asli (atribusi) bisa menariknya sewaktu-waktu.
Ini sejalan dengan apa
yang diungkapkan SF Marbun, bahwa: “..pada delegasi, pemberi wewenang (delegans) tidak dapat menggunakan
wewenang itu lagi, kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang pada asas
contrarius actus, sedangkan pada mandat pemberi wewenang mandat (mandans)
setiap saat dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan itu”. (Philipus M. Hadjon, dalam SF Marbun: 2003, hlm. 128)
Dalam praktik hukum
administrasi, sebuah kewenangan tidak bisa mudah diberikan ataupun ditarik
kembali. Regulasi yang mendasari keberadaan suatu kewenangan idealnya tidak
memberikan peluang bagi kewenangan itu berpindah (ditarik kembali) kepada badan/jabatan
administrasi lainnya, sebab ini berkaitan dengan pertanggungjawaban kewenangan.
Bila sebuah kewenangan dengan mudah bisa berpindah (ditarik kembali), maka bisa
terjadi pelaksanaan kewenangan tanpa disertai pertanggungjawaban (pengelakan) atas
konsekuensi atau akibat pelaksanaan kewenangan tersebut.
Yang
perlu dikritisi dengan seksama adalah apakah dengan ditegaskannya (dalam
ketentuan normatif) bahwa sebuah kewenangan bisa berpindah, tidak akan
menghambat penegakan hukum administrasi? Sebab bila suatu badan/jabatan pemerintahan
bisa sewaktu-waktu kehilangan kewenangannya, akan menimbulkan ketidakpastian dalam hal pertanggungjawaban pelaksanaan
kewenangan tersebut.
2. Pengecualian
asas contrarius actus
Terjemahan
bebas asas contrarius actus adalah
badan/jabatan administrasi yang menerbitkan sebuah keputusan administrasi,
memiliki kewenangan pula mencabut/membatalkan keputusan administrasi tersebut.
Secara negasi, maka badan/jabatan administrasi yang tidak menerbitkan suatu
keputusan administrasi tidak memiliki kewenangan
mencabut/membatalkan keputusan administrasi tersebut.
Asas
ini dianut dan menjadi sebuah asas yang tetap di dalam praktik peradilan
administrasi, saat menentukan subyek sengketa tata usaha negara maupun
pertanggungjawaban kewenangannya. Namun Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan menentukan bahwa badan/jabatan pemerintahan
yang lain pun bisa menerbitkan dan/atau mencabut suatu tindakan/keputusan yang
tidak dilakukannya, konteksnya adalah struktural atasan-bawahan dalam sebuah
instansi.
Kerangka
berpikir yang dipakai adalah konsep yang diterapkan dalam Upaya Administrasi,
dimana instansi atasan dari suatu badan/jabatan administrasi lain dapat
mencabut/membatalkan bahkan menerbitkan tindakan/keputusan dari badan/jabatan
administrasi yang secara struktural menjadi bawahannya.
Norma dalam asas contrarius
actus di Undang-undang Administrasi Pemerintahan ini merupakan terjemahan
lanjutan dari dimungkinkannya perpindahan kewenangan (delegasi dan mandat) antara
institusi atasan-bawahan, yang berpotensi menimbulkan kebingungan masyarakat
terhadap tindakan/keputusan yang akan dilakukan, sebab bisa jadi sebuah produk
administrasi diterbitkan oleh 2 institusi yang berbeda, kendati secara organisatoris
keduanya memiliki hubungan kerja.
3. Upaya
Administrasi: Urgensi dan Ketepatgunaannya
Tak
berbeda dengan kaidah yang terkandung dalam Undang-undang Peradilan Tata Usaha
Negara, penyelesaian sengketa administrasi di Undang-undang Administrasi
Pemerintahan pun mensyaratkan adanya Upaya Administrasi sebelum diselesaikan
secara litigasi di Pengadilan. Di satu sisi kajian, hal ini bisa dikatakan
sebagai sebuah konsistensi pembentuk undang-undang dalam hal normatif, namun
terhadap –masih adanya- Upaya Administrasi dalam fase penegakan hukum
administrasi, penulis memiliki pandangan yang berbeda.
Menyimpang
dari penegakan norma hukum publik pada umumnya, agak janggal tatkala penegakan
hukum administrasi ternyata secara normatif masih dimungkinkan diselesaikan
tidak melalui institusi yang secara atribusi diberikan kewenangan oleh
Konstitusi untuk menyelesaikan hal
itu. Sebab menurut penulis, marwah penegakan hukum publik hanya tegak tatkala
penegak hukum (Yudikatif) berfungsi dan difungsikan sebagaimana mestinya,
sebagai satu-satunya penilai dan pemutus dalam hal adanya pelanggaran terhadap
norma-norma hukum publik.
Hal
tersebut berbeda dengan kaidah hukum privat, karena norma yang dianut di dalamnya
adalah sebisa mungkin persoalan yang timbul diantara privat-privat (individu
maupun kelompok) diselesaikan dengan upaya perdamaian (kekeluargaan), dengan
alasan utama bahwa kaidah hukum privat hanya mengikat antar para pihak yang
mengikatkan diri terhadapnya, dan tidak ada kaidah hukum publik yang terlanggar
oleh perikatan tersebut.
Upaya
administrasi seperti halnya konsep-konsep dalam hukum pidana maupun perdata
yang kini berlaku di Indonesia, merupakan adaptasi dari Sistem Hukum
Eropa-Kontinental (khususnya Belanda (W. Riawan Tjandra: 2009, hlm. 46 maupun Prancis) dan patut
diakui masih kuat pengaruhnya dalam penyusunan tertib hukum di negeri ini,
kendati telah lama memerdekakan diri (Muchsan: 1981, hlm. 21-22). Yang berbeda adalah, adanya
penekanan konsep asli Indonesia untuk memberikan kesan karakteristik
ke-Indonesia-an dalam tatanan hukum tersebut, yakni penyematan konsep
musyawarah mufakat maupun perdamaian sebagai landasan filosofis keberadaan
Upaya Administrasi dalam penegakan hukum Administrasi di Indonesia.
Inilah
yang penulis simpulkan dari konsep Upaya Administratif selama ini, sebagaimana
sejalan dengan apa yang diungkapkan SF
Marbun (SF Marbun: 2003, hlm. 59), bahwa: “..Dalam hal terjadi sengketa antara pemerintah
dengan rakyat, prinsip utama yang perlu dikedepankan adalah prinsip
penyelesaian sengketa dengan cara musyawarah melalui wadah atau sarana upaya
administratif, sedangan penyelesaian melalui peradilan administrasi dijadikan
sebagai sarana terakhir”.
Hal
yang secara konseptual serupa pun dikatakan oleh Bachsan Mustafa (Bachsan Mustafa: 2001, hlm 111) : “Sesuai dengan asas negara hukum dan asas pancasila, maka yang dimaksud
dengan upaya administratif dalam menyelesaikan sengketa tata usaha negara
adalah upaya musyawarah untuk mufakat di antara para pihak yang bersengketa..”
Dari kedua
pendapat itu secara sumir dapat disimpulkan, latar belakang Upaya Administrasi
dalam penegakan hukum administrasi di Indonesia pada prinsipnya adalah
penyelesaian secara damai (kekeluargaan) maupun musyawarah mufakat dalam hal
terjadi sengketa antara pemerintah dengan warga. Konsep hukum yang bisa
dikatakan masih kentara terpengaruh oleh kaidah-kaidah Hukum Perdata, yang
menekankan penyelesaian sengketa terlebih dahulu diselesaikan dengan mediasi
–atau sejenisnya-, sebelum persoalan tersebut diselesaikan di badan peradilan. Meskipun
dengan argumentasi adanya pertimbangan menyeluruh terhadap sengketa
administrasi (aspek doelmatigheid
maupun rechtmatigheid), tetap saja
merupakan hal yang janggal bila didasari fakta bahwa hukum administrasi negara
adalah kaidah hukum publik yang harusnya non-negotiable.
Bisa
dibayangkan tatkala penegakan hukum publik, seperti adanya tindak pidana
korupsi ataupun pelanggaran norma konstitusional, bisa diselesaikan dengan
upaya perdamaian (kekeluargaan). Dimana marwah negara, pemerintahan atau bahkan
penegak hukum (yudikatif), tatkala regulasi bisa ditawar-tawar atas nama upaya
perdamaian (kekeluargaan), saat pelanggaran terhadap konstitusi sekalipun bisa
diselesaikan atas nama musyawarah mufakat antara para pihak yang bersengketa?
Tentu hal ini akan menafikan fungsi penegakan hukum publik, dan akan menjadi
preseden buruk, bahkan bagi status “Negara Hukum” itu sendiri.
4. Ambiguitas
& Pertentangan Norma tentang Kewenangan mengadili
Sebagaimana
telah dikemukakan di atas, kaidah upaya administrasi ditemukan tak hanya dalam
Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara tapi juga dalam Undang-undang
Administrasi Pemerintahan. Ini termuat dalam Pasal 76 ayat (3) Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2014, bahwa: “Dalam hal
Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat,
Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan”
Klausula
tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan kritis, apakah kata “dapat” itu
merepresentasikan kaidah imperatif (keharusan) ataukah kaidah alternatif
(pilihan)? Kata “dapat” dalam ketentuan Pasal Pasal 76 ayat (3) Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2014 itu secara filosofis mungkin meniru kata “dapat” dalam
ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, yang diartikan
bahwa orang/badan hukum perdata, boleh menggugat, boleh juga tidak menggugat.
Namun
konteks “dapat” di dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9
Tahun 2004 itu kurang pas bila diterapkan dalam kaidah upaya administratif, sebab
kata “dapat” di dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 lebih
merupakan pilihan tindakan hukum (bersifat alternatif), sedangkan kata “dapat”
di dalam Pasal 75 ayat (1) Undang-undang Administrasi Pemerintahan maupun Pasal 76 ayat (3) Undang-undang
Administrasi Pemerintahan merupakan kaidah prosedural yang harus ditempuh
(bersifat imperatif).
Potensi
pertentangan norma muncul saat Pasal 76 ayat (3) Undang-undang Administrasi
Pemerintahan dikonfrontasikan dengan ketentuan pasal 48 jo. Pasal 51 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, sebab bila
makna “Pengadilan” dalam ketentuan Pasal 76 ayat (3) Undang-undang Administrasi
Pemerintahan tersebut diacukan kepada Pasal 1 angka 18 Undang-undang
Administrasi Pemerintahan, maka akan terjadi ambiguitas makna serta kompetensi
absolut antara Pengadilan Tata Usaha Negara dengan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara.
Terkait hal ini, mungkin saja ada yang berpendapat bahwa
asas hukum umum bisa diterapkan, yakni asas lex
speciali derogate legi generali ataupun
asas lex posteriori derogate legi priori. Namun tepatkah memperbandingkan
kekhususan/keumuman Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara dengan
Undang-undang Administrasi Pemerintahan, atau memperbandingkan
kebaruan/kelampauan Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara dengan
Undang-undang Administrasi Pemerintahan?
KESIMPULAN
1. Kendati
dimungkinkan, adanya penarikan kembali kewenangan (delegasi maupun mandat) oleh
instansi pemberi kewenangan itu, hendaknya dibatasi secara ketat
pelaksanaannya. Hal ini untuk mencegah inefektivitas pelaksanaan kewenangan
maupun putusan pengadilan, yang mewajibkan badan/jabatan pemerintahan
melaksanakan suatu tindakan/keputusan administrasi negara.
Pengetatan syarat ini pun merupakan bentuk perlindungan
hukum bagi administrasi negara itu sendiri, sehingga menjadi jelas dan tetap
lingkup tugas pokok dan fungsi, serta pertanggungjawaban yang mereka lakukan.
Sehingga pada akhirnya, asas contrarius
actus dapat tetap diimplementasikan secara konsisten.
2. Upaya
Administrasi dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014, menurut hemat penulis
telah tepat merupakan norma alternatif yang bisa ditempuh oleh Warga Masyarakat
sebagai reaksi atas tindakan/keputusan administrasi pemerintahan.
Namun
norma itu akan menjadi mubadzir dan tidak efisien tatkala proses yang ditempuh oleh
pencari keadilan ternyata memakan waktu yang lebih lama dari penyelesaian
sengketa administrasi sebelum disahkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014.
Terlebih adanya kemungkinan penarikan kewenangan antar badan/jabatan
administrasi, yang berpotensi pula menghambat pelaksanaan tindakan/keputusan
administrasi maupun putusan pengadilan terkait tindakan/keputusan administrasi
tersebut.
Comments
Post a Comment