Beberapa Anotasi Terhadap UU Administrasi Pemerintahan (Bagian I)
Welfare State dan Peradilan Tata Usaha Negara
Hukum
dan kesejahteraan secara terminologi mungkin berada di dua ranah yang sama
sekali berbeda, dimana salah satunya berbicara mengenai aturan, keterikatan dan
sanksi, sedangkan di sisi lain berkenaan dengan keadilan dan pemerataan
ekonomi, kelayakan hidup serta kemakmuran rakyatnya.
Konsep
negara hukum modern menuntut aturan hukum yang disusun, tak semata bertujuan
untuk keteraturan masyarakatnya semata, namun juga memberikan manfaat dan
kontribusi positif bagi masyarakat dalam menjalani kesehariannya. Hal itulah
yang sejatinya terkandung dalam terminologi welfare
state sebagaimana dicetuskan Beveridge (Soehardjo, dalam Muchsan: 1981, hlm. 1) maupun Kranenburg, bahwa
negara harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil yang dapat
dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan seimbang,.
Tuntutan
masyarakat menyebabkan terjadinya pergeseran fungsi negara (i.c Pemerintahan),
yang tak lagi hanya tentang “aturan” dan “sanksi”, tapi juga memberikan jaminan
pemerataan kesejahteraan dan kelayakan hidup rakyatnya, melalui fungsi pelayanan
dalam aturan-aturan yang disusunnya. Negara kita juga mengikuti kecenderungan
tersebut, dimana salah satu regulasi yang menjadi indikasinya adalah Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang harus diakui adalah
pengejawantahan dari fungsi pelayanan pemerintah dan merupakan salah satu
refleksi dari konsep welfare state.
Perjalanan
pengesahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administasi Pemerintahan
yang panjang dan berliku, harus disikapi oleh
dugaan positif bahwa penyusun undang-undang memang bermaksud mematangkan dan
menampung segala konsep pelayanan publik yang berkaitan dengan administrasi
pemerintahan, agar kelak tak hanya masyarakat saja yang bisa mengambil manfaat
dari adanya regulasi tersebut, namun juga aparatur pemerintah memiliki panduan
dan rambu-rambu riil dalam melakukan tugasnya sebagai pelayan publik.
Di
awal penyusunannya, bisa dikatakan yang paling bersemangat dan antusias
mendukung dan memperjuangkan hadirnya Undang-undang Administrasi Pemerintahan adalah
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Hegemoni positif itu paralel dengan
asumsi bahwa keberadaan hukum positif yang mengatur administrasi pemerintahan
dalam satu bangun regulasi yang terkodifikasi, diharapkan akan memperkuat
kedudukan serta kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam penegakan hukum
administrasi.
Namun
seiring waktu sampai dengan disahkannya Undang-undang Administrasi Pemerintahan
Tahun 2014, penulis menganggap kendati Undang-undang tersebut memang relatif
holistik namun substansinya cenderung tidak menyentuh langsung penguatan
penegakan hukum administrasi in cassu
penguatan kewenangan dan kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara, melainkan lebih
kepada panduan internal bagi administratur pemerintahan (aparatur sipil negara)
dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.
Minimnya
regulasi mengenai penegakan hukum administrasi oleh Yudikatif (i.c. Peradilan Tata Usaha Negara) di
dalam Undang-undang tersebut, memang patut disesali. Sebab ekspektasi mayoritas
Hakim di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara –termasuk penulis-, ialah apa
yang termuat juga merepresentasikan peranan Lembaga Peradilan, khususnya
Peradilan Tata Usaha Negara dalam menegakkan hukum administrasi. Respon positif
terhadapnya mungkin paradigma bahwa Undang-undang Administrasi Pemerintahan
bukanlah hukum formil yang mengatur bagaimana penegakan hukum administrasi
dilakukan, melainkan hukum materiil yang berisikan pokok-pokok dari hukum
administrasi negara, seperti sumber kewenangan, perintah dan larangan dalam
melaksanakan kewenangan, serta sanksi terhadap pelanggaran administrasi (Enrico Simanjuntak, dalam Subur MS (ed.), dkk: 2014, hlm. 57).
Penegakan
Hukum Administrasi
Pedoman
utama dalam pelaksanaan administrasi negara (termasuk di dalamnya administrasi
pemerintahan) sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9
Tahun 2004 adalah peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan
yang baik. Hal ini paralel dengan apa yang termuat dalam Pasal 7 ayat (1)
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014, perbedaannya ada satu addendum, yakni kebijakan pemerintahan.
Peraturan
perundang-undangan, terlepas dari konfigurasi politik yang bertarik-ulur di
belakangnya, harus dipandang sebagai sebuah konsensus yang relatif ajeg
diantara para pembentuknya (eksekutif dan/atau legislatif), sebab semuanya
bermuara, berasal dan harus sesuai dengan Konstitusi. Pun halnya dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik, kendati kebanyakan berasal dari praktek
administrasi negara yang tak tertulis apalagi terkodifikasi, namun diakui
sebagai sebuah pedoman yang konsisten dijadikan acuan dalam pelaksanaan kewenangan
dan pelayanan oleh administratur pemerintah.
Di
sisi lain, kebijakan pemerintahan menurut hemat penulis lebih merupakan
tafsiran sepihak dari pemerintah (eksekutif) dalam mengimplementasikan praktek
administrasi negara yang dianggap sesuai dan sejalan dengan perundang-undangan,
yang bisa jadi tafsiran ini relatif berubah-ubah sesuai dengan rezim
pemerintahan (eksekutif) yang tengah berkuasa. Dimuatnya kebijakan pemerintahan
sebagai salah satu pedoman pelaksanaan administrasi pemerintahan juga berlebihan
dan terkesan menunjukkan kepentingan pemerintah sendiri dalam melaksanakan
fungsinya (pengaturan & pelayanan) terhadap masyarakat, mengingat masih ada
(dan berlaku) AAUPB yang bisa dijadikan dasar tafsiran praktis bagi pedoman
pelaksanaan administrasi pemerintahan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Lantas,
bila yang dipedomani dalam pelaksanaan administrasi pemerintahan itu adalah
kebijakan pemerintah (misalnya pelaksanaan kewenangan diskresi), yang terlepas
dari keberadaan kaidah peraturan perundang-undangan dan/atau asas-asas umum
pemerintahan yang baik, maka apa yang akan dijadikan alat uji tatkala ada
permasalahan terhadapnya?
Comments
Post a Comment