Lelang dan Pengadaan Barang/Jasa: Sengketa Tata Usaha Negara Yang Pelik (Bagian Ketiga)
Regulasi Pengadaan Barang/Jasa
Berdasarkan
Pasal 7 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 jo. Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012, Organisasi Pengadaan
Barang/Jasa untuk Pengadaan melalui Penyedia Barang/Jasa terdiri atas: a.
PA/KPA; b. PPK; c. ULP/Pejabat Pengadaan; dan d. Panitia/Pejabat Penerima Hasil
Pekerjaan.
Lebih lanjut, dalam ketentuan Pasal 8 dan Pasal 10 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, Pengguna
Anggaran (PA) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) memiliki kewenangan tertentu[1], sehingga memiliki pula
potensi untuk menerbitkan keputusan, yang berdasarkan 3 kriteria sebagaimana disebutkan
di atas tadi, mayoritas adalah bersifat administratif (sepihak/searah).
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), berdasarkan
ketentuan Pasal 11 Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012, memiliki tugas pokok
dan kewenangan:
(1). PPK memiliki tugas pokok dan kewenangan
sebagai berikut:
a. menetapkan rencana pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa yang meliputi:
1)
spesifikasi
teknis Barang/Jasa;
2)
Harga
Perkiraan Sendiri (HPS); dan
3)
rancangan
Kontrak.
b. menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia
Barang/Jasa;
c. menyetujui
bukti pembelian atau menandatangani Kuitansi/Surat Perintah Kerja (SPK)/surat perjanjian:
d. melaksanakan Kontrak dengan Penyedia
Barang/Jasa;
e. mengendalikan pelaksanaan Kontrak;
f. melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA;
f. melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA;
g. menyerahkan hasil pekerjaan Pengadaan
Barang/Jasa kepada PA/KPA dengan Berita Acara Penyerahan;
h. melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan
anggaran dan hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap triwulan; dan
i. menyimpan
dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.
(2). Selain tugas pokok dan kewenangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal diperlukan, PPK dapat:
a. mengusulkan kepada PA/KPA:
1) perubahan paket pekerjaan; dan/atau
2) perubahan jadwal kegiatan pengadaan;
b. menetapkan tim pendukung;
c. menetapkan
tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis untuk membantu pelaksanaan tugas
ULP; dan
d. menetapkan besaran Uang Muka yang akan dibayarkan
kepada Penyedia Barang/Jasa.
Dengan batasan kriteria berupa tindakan searah/sepihak dalam ranah administrasi negara, khususnya unsur kehendak atau wilsvorming dalam sebuah beslissing maka menurut hemat penulis, kewenangan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf a, b, f dan h dan ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012. Sehingga keputusan tata usaha negara yang selanjutnya berpotensi menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mengadilinya, berada pada poin-poin kewenangan tersebut. Sementara kewenangan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) selebihnya, berada dalam ranah hukum perdata.
Subyek
selanjutnya adalah ULP/Pejabat Pengadaan. Pada mulanya, ULP dipimpin oleh
seorang Kepala[2],
namun berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012, menjadi tidak jelas siapa
yang menjadi pimpinan di Unit Layanan Pengadaan[3], meskipun secara tersirat
dalam ketentuan Pasal 17 ayat (2a) Peraturan
Presiden Nomor 70 Tahun 2012, terdapat nomenklatur Kepala ULP yang memiliki
tugas dan kewenangan tertentu di dalam Unit Layanan Pengadaan (ULP).
Tugas
pokoknya, yakni Pemilihan Penyedia Barang/Jasa dalam Unit Layanan Pengadaan
(ULP) dilakukan oleh Kelompok Kerja ULP[4] serta kewenangan lain
sebagaimana berikut[5]:
a. menyusun rencana pemilihan Penyedia
Barang/Jasa;
b. menetapkan Dokumen Pengadaan;
c.
menetapkan
besaran nominal Jaminan Penawaran;
d. mengumumkan pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa di website Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi
masing-masing dan papan pengumuman resmi untuk masyarakat serta menyampaikan ke
LPSE untuk diumumkan dalam Portal Pengadaan Nasional;
e. menilai kualifikasi Penyedia Barang/Jasa
melalui prakualifikasi atau pascakualifikasi;
f.
melakukan
evaluasi administrasi, teknis dan harga terhadap penawaran yang masuk;
g. khusus untuk Kelompok Kerja ULP:
1) menjawab sanggahan;
2) menetapkan Penyedia Barang/Jasa untuk:
a) Pelelangan
atau Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi Jasa
Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah); atau
b) Seleksi atau Penunjukan Langsung untuk
paket Pengadaan Jasa Konsultansi yang bernilai paling tinggi
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
h...
i. memberikan pertanggungjawaban atas
pelaksanaan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA.
Dari uraian kewenangan di
atas, tindakan maupun keputusan yang berpotensi menjadi kewenangan Peradilan
Tata Usaha Negara karena mengandung unsur wilsvorming
dalam bentuk beslissing, adalah
implementasi dari Pasal 17 ayat (2) huruf b dan huruf g Peraturan Presiden
Nomor 70 Tahun 2012 huruf. Hal tersebut paralel dengan varian obyek sengketa
dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah ada, sebagaimana
dikemukakan sebelumnya.
Subyek selanjutnya adalah
Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan, yang berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Peraturan
Presiden Nomor 70 Tahun 2012 ditetapkan oleh Pengguna Anggaran atau Kuasa
Pengguna Anggaran.
Lingkup tugas dan kewenangan
Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan, sebatas pada[6]:
a. melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan
Pengadaan Barang/Jasa sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak;
b. menerima hasil Pengadaan Barang/Jasa
setelah melalui pemeriksaan/pengujian; dan
c. membuat dan menandatangani Berita Acara
SerahTerima Hasil Pekerjaan.
Dari uraian tersebut menurut
penulis, Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan dalam pelaksanaan tugas pokok
maupun kewenangannya, memang melakukan tindakan administrasi, akan tetapi tidak
disertai dengan adanya unsur beslissing, karena
sifat pernyataan kehendak (wilsvorming)
maupun tindakan sepihak/searah tidak terdapat disana.
Kesimpulan
1. Sengketa
administrasi dalam katagori Pengadaan Barang/Jasa bisa muncul dan menjadi
kewenangan peradilan tata usaha negara untuk memeriksa, memutus dan
menyelesaikannya, sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara maupun –yang terkini- Undang-undang
Administrasi Pemerintahan.
Dari
kajian dan paparan di atas, maka Surat Keputusan/Obyek Sengketa yang memenuhi
kriteria Keputusan Tata Usaha Negara adalah, surat keputusan yang muncul dan
diterbitkan pada saat pra-pelaksanaan pengadaan barang/jasa dan pada saat
pelaksanaan pengadaan barang/jasa, sepanjang unsur wilsvorming serta sifat beslissing
dalam surat keputusan tersebut terpenuhi. Begitu pun halnya dengan subyek
sengketa, sejalan dengan asas contrarius
actus, maka setelah memahami konteks keputusan tata usaha negara yang
tepat, secara otomatis subyek sengketa pun bisa ditentukan dengan jelas.
2. Standarisasi
dan penyeragaman peristilahan maupun pemahaman terhadap sifat final dari
keputusan tata usaha negara dalam proses pengadaan barang/jasa, serta Tergugat
yang menerbitkan keputusan tersebut, urgen diperlukan untuk menghindari
disparitas putusan sepanjang mengenai kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha
Negara. Sehingga pada akhirnya, tidak ada lagi suatu obyek sengketa dinyatakan
sebagai keputusan tata usaha negara berdasarkan Putusan suatu Pengadilan Tata
Usaha Negara, namun dinyatakan bukan merupakan keputusan tata usaha negara dalma
putusan di Pengadilan Tata Usaha Negara yang lain.
3. Pengguna
Anggaran dan Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen serta ULP dan
Kelompok Kerja, berpotensi menjadi Tergugat dalam sengketa tata usaha negara,
sebab dapat menerbitkan keputusan administratif yang mengandung unsur wilsvorming dan bersifat beslissing.
4. Sanggahan
dan sanggahan banding, bila dimaknai sebagai suatu upaya administratif, maka
harus diadakan persesuaian norma dalam Undang-undang Peradilan Tata Usaha
Negara dengan Undang-undang Administrasi Pemerintahan. Sebab, bila merujuk
kepada ketentuan Pasal 48 jo. Pasal
50 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, maka pemeriksaan sengketa yang
telah menempuh upaya administratif adalah menjadi kewenangan Pengadilan Tinggi.
Sementara berdasarkan ketentuan Pasal 76
ayat (3) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014, pemeriksaan sengketa yang telah
menempuh upaya administratif menjadi kewenangan Pengadilan, yang merujuk pada
ketentuan Pasal 1 angka 18 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014, adalah Pengadilan
Tata Usaha Negara.
Namun apabila Sanggahan
dan sanggahan banding bukanlah upaya administratif, maka sudah jelas sengketa
tata usaha negara dalam katagori pengadaan barang/jasa menjadi kewenangan
absolut dari Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa, memutus dan
menyelesaikannya. Sehingga selanjutnya perdebatan serta kajian yang dilakukan
terhadapnya, tak lagi mengenai kewenangan absolut mengadili, melainkan sudah
pada substansi dari pengadaan barang/jasa.
Rekomendasi:
1. Karena
sifatnya yang memerlukan waktu penyelesaian sesegera mungkin, maka pemeriksan
terhadap sengketa tata usaha negara katagori pengadaan barang/jasa diupayakan
menggunakan acara biasa namun dengan waktu yang dipercepat[7]. Semoga dalam RUU
Peradilan Tata Usaha Negara yang tengah disusun, ada jalan keluar lain untuk
pemeriksaan sengketa katagori ini.
2. Pemeriksaan
Persiapan dimaksimalkan untuk menemukan dan menyarankan obyek sengketa maupun
subyek sengketa yang tepat, agar pertimbangan hukum selanjutnya sudah menyentuh
substansi sehingga bisa menyelesaikan sengketa secara tuntas. Hambatan seperti
asumsi tidak adanya Surat Keputusan fisik dari ULP atau Kelompok Kerja
Pengadaan Barang/Jasa[8], sehingga ada keraguan
mengenai obyek sengketa, seharusnya bisa diatasi dengan “tekanan” kepada
Tergugat untuk menghadirkan dokumen-dokumen fisik yang terkait dengan sengketa.
3. Standarisasi
dan penyeragaman pemahaman kepada Hakim Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan
kajian dan varian obyek maupun subyek sengketa di atas, dilakuan guna mencegah
disparitas putusan.
Selesai
[1]
Kewenangan dari Kuasa Pengguna
Anggaran, adalah berdasarkan apa yang dilimpahkan oleh Pengguna Anggaran
kepadanya. (vide Pasal 10 ayat (4)
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010).
[3] Hal tersebut karena ketentuan Pasal 7
ayat (4) dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 diubah di dalam Peraturan
Presiden Nomor 70 Tahun 2012, sedangkan Penjelasa Perpres tersebut pun tidak
memberikan rujukan ke aturan mana pun.
[4]
Pasal 15 ayat (1) Peraturan
Presiden Nomor 70 Tahun 2012.
[5] Pasal 17 ayat (2) Peraturan Presiden
Nomor 70 Tahun 2012.
[6] Pasal 18 ayat (5) Peraturan Presiden
Nomor 70 Tahun 2012.
[7]
Mengingat Undang-undang Peradilan
Tata Usaha Negara hanya mengenal 3 jenis Acara Pemeriksaan, dan yang umum
dipakai untuk sengketa tata usaha negara pengadaan barang/jasa adalah acara
biasa.
[8]
Biasanya Tergugat berargumentasi karena
segala proses pengadaan barang/jasa dilakukan secara elektronik melalui LPSE.
Comments
Post a Comment