Lelang dan Pengadaan Barang/Jasa: Sengketa Tata Usaha Negara Yang Pelik (Bagian Kedua)
Pengadaan Barang/Jasa sebagai
Sengketa Administrasi
Disahkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014,
secara langsung juga memperluas kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam
konteks memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara, sebab
yang menjadi kewenangannya, tak lagi hanya sebatas diterbitkannya Keputusan
Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 51
Tahun 2009, akan tetapi juga termasuk di dalamnya adalah[1]:
- penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
- Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
- berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
- bersifat final dalam arti lebih luas;
- Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
- Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.
Berdasarkan
fakta adanya perluasan kewenangan tersebut, tentu juga berimbas pada persoalan
pengadaan barang dan/jasa, dalam konteks apakah produk (keputusan maupun
tindakan) yang dihasilkan oleh badan/pejabat pemerintah yang terlibat dalam
pengadaan barang/jasa, dapat diuji dan diadili keabsahannya di Peradilan Tata
Usaha Negara ataukah tidak.
Dari
paparan dan argumentasi di atas, penulis berpendapat bahwa secara kasuistis persoalan
lelang tidak menjadi kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa,
memutus dan menyelesaikannya. Sehingga bahasan selanjutnya akan membatasi
kajian, hanya terhadap Pengadaan Barang/Jasa saja.
Keberadaan
beberapa nomenklatur Badan/Jabatan Pemerintahan yang terlibat dalam proses
Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 angka 5, 6, 7, 8, 9,
10, dan angka 11 Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tersebut di atas,
merupakan paramater awal adanya kaidah Hukum Administrasi Negara yang diimplementasikan
di dalamnya.
Tentunya
secara logika hukum, keberadaan Badan/Jabatan Pemerintahan paralel dengan
keberadaan keputusan tata usaha negara dalam melaksanakan urusan pemerintahan,
termasuk diantaranya administrasi pengadaan barang/jasa. Namun, karena
Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara membatasi kewenangannya hanya
pada Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang-undang
Nomor 51 Tahun 2009, yang direduksi dengan ketentuan Pasal 2 maupun Pasal 48 jo. Pasal 49 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986, maka kriteria Keputusan Badan/Pejabat yang dapat digugat maupun
Badan/Jabatan Pejabat Tata Usaha Negara dalam hal Pengadaan Barang/Jasa, yang
dijadikan Tergugat pun harus limitatif dan spesifik.
Dalam
praktek Peradilan Tata Usaha Negara, sengketa tata usaha negara dalam katagori
Lelang/Tender, ternyata terdapat beberapa varian obyek sengketa (Keputusan
Badan/Pejabat Pemerintahan), maupun subyek sengeta (Badan/Pejabat Pemerintahan)
yang dijadikan Tergugat. Hal ini tentunya didasari oleh beberapa alasan,
seperti kurangnya pemahaman pencari keadilan terhadap tertib hukum pengadaan
barang/jasa, kurangnya pemahaman terhadap hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara,
atau mungkin kombinasi antara keduanya.
Peliknya
menggolongkan pengadaan barang/jasa sebagai salah satu katagori sengketa tata
usaha negara, sangat kentara dalam praktik peradilan. Ironisnya hal ini
kebanyakan berkutat dalam persoalan kompetensi/kewenangan absolut Pengadilan
Tata Usaha Negara untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikannya. Sampai ada
anekdot di kalangan internal bahwa 2 dari 3 perkara lelang/pengadaan
barang/jasa (tender) yang menjadi sengketa tata usaha negara, pasti
(putusannya) tidak diterima karena dianggap bukan kewenangan absolut pengadilan,
sementara yang 1 perkara lainnya dicabut sendiri oleh Penggugat. Meski tidak
sepenuhnya benar, namun sedikit banyak hal tersebut mungkin bisa mencerminkan
realita penegakan hukum administrasi negara, terkhusus dalam sengketa
administrasi dengan katagori lelang dan/atau pengadaan barang/jasa.
Diferensiasi
obyek sengketa dan subyek sengketa (i.c.
Tergugat) dalam sengketa tata negara katagori lelang atau pengadaan barang/jasa
(tender), berpotensi besar menimbulkan persoalan hukum baru. Dua yang utama
adalah, disparitas Putusan dan putusan yang tidak menyelesaikan persoalan hukum[2] (Putusan non-executable). Persoalan yang tak
kalah vital adalah keseragaman konsep berpikir -bukan keseragaman
sikap/putusan- dari Hakim, berdasarkan Hukum Materi maupun Hukum Formil yang
berlaku, agar tidak ada perlakuan beda dalam putusan terhadap keadaan hukum dan
posisi hukum yang mirip/serupa.
Hal
tersebut sejalan dengan pendapat seorang rekan Hakim[3], bahwa dalam perkara yang
berkaitan dengan pembatalan penetapan pemenang lelang/tender (pengadaan
barang/jasa –pen.) sepanjang mengenai kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara
untuk memeriksa dan mengadilinya pada tingkat pertama, pada umumnya tidak
menimbulkan perbedaan pendapat, karena tidak adanya upaya keberatan dan banding
administrasi. Sedangkan perkara yang berkaitan dengan penetapan pemenang
lelang, di beberapa PTUN, putusannya tidak seragam dalam arti ada yang gugatan
dinyatakan tidak diterima (di-N.O) menyangkut kewenangan Pengadilan Tata Usaha
Negara, dan ada pula yang diperiksa pokok perkaranya. Bahkan ada beberapa
Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyatakan tidak lolos dismisal proses.
Dari
beberapa putusan mengenai pengadaan barang/jasa, maupun lelang –sepanjang
konteksnya relevan-, dapat ditemui beberapa varian dari sengketa tata usaha
negara dalam katagori lelang atau pengadaan barang/jasa (tender), sebagaimana
berikut[4]:
No.
|
Nomor
Sengketa
|
Obyek
Sengketa
|
Amar
Putusan
|
Pokok/Dasar
Pertimbangan Hukum
|
1.
|
38/G/2013/PTUN.xxx
|
Pengumuman pemenang lelang
|
Tidak Diterima
|
Terkait dengan kewenangan Absolut, karena
adanya upaya administratfif maka sesuai Pasal 51 ayat (3) UU No. 5 Tahun
1986, yang berwenang mengadili adalah PTTUN.
|
2.
|
39/G/2013/PTUN.xxx
|
Belum jelas, karena Penggugat tidak pernah
hadir dalam PP
|
Dicabut
|
Pasal 76 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986
|
3.
|
45/G/2013/PTUN.xxx
|
Penetapan Daftar
Hitam Peserta Lelang
|
Mengabulkan gugatan
|
Tergugat telah
melewati batas waktu
penerbitan pemberian saksi daftar hitam sebagaimana Pasal 8 Peraturan Kepala
Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Nomor 7 Tahun 2011
|
4.
|
37/G/2014/PTUN.xxx
|
Belum jelas
|
Dicabut
|
Pasal 76 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986
|
5.
|
35/G/2014/PTUN.xxx
|
1. Surat
Pejabat Pembuat Komitmen Pengadaan dan Pemeliharaan Mesin dan Peralatan
tentang Pemutusan Kontrak.
2. Surat
Keputusan Kuasa Pengguna Anggaran tentang Penetapan Black List Penyedia.
3. Surat
Pejabat Pembuat Komitmen Pengadaan dan Pemeliharaan Mesin dan Peralatan
tentang Pembatalan Kontrak
|
Mengabulkan sebagian
|
1.
Obyek sengketa 1 telah sesuai Pasal 93
ayat (1) huruf a.2 Peraturan Presiden RI Nomor : 70 Tahun 2012.
2.
Pada obyek sengketa 2, kesalahan bukan
pada Penggugat. Sehingga tidak memenuhi rumusan Pasal 93 ayat (1) Peraturan
Presiden RI Nomor : 70 Tahun 2012 jo. Pasal 3 ayat (2) Peraturan Kepala
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 7 tahun 2011.
3.
Oleh karena Penetapan Black List (obyek
sengketa 2) dibatalkan, maka obyek sengketa 3 juga harus dinyatakan cacat
hukum karena penerbitannya didasari dengan dasar hukum yang cacat formil.
|
6.
|
27/G/2014/PTUN.xxx
|
Belum jelas
|
Dicabut
|
Pasal 76 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986
|
7.
|
17/G/2014/PTUN.xxx
|
Surat Keputusan
Pejabat Pembuat
Komitmen tentang Pemutusan
Kontrak
|
Mengabulkan gugatan
|
Tergugat tidak
memberikan kesempatan kepada
Penggugat untuk
memperbaiki kelalaiannya/ memenuhi kewajibannya, maka
secara prosedur
perbuatan Tergugat tersebut telah melanggar ketentuan pasal
93 ayat (1) huruf b
Perpres Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang /
Jasa
|
8.
|
13/G/2012/PTUN.xxx
|
Surat Keputusan Ketua
POKJA tentang Penetapan Pemenang Lelang
|
Gugatan Tidak Dapat Diterima
|
Pasal 63 ayat (2)
huruf a Undang-
Undang Nomor 5 Tahun
1986. Karena Penggugat tidak pernah memperbaiki gugatan.
|
9.
|
03/G/2014/PTUN.xxx
|
Surat Keputusan
Kelompok Kerja
tentang Pengumuman pemenang pelelangan
|
Tidak Diterima
|
Penggugat tidak
pernah mengajukan
sanggahan banding kepada Tergugat dan/ atau tidak pernah ada
sanggahan banding
kepada pihak yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal
82 ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 tentang
Perubahan Kedua atas
Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa
Pemerintah jo. pasal 48 ayat (2) Undang-undang No. 5
Tahun 1986.
|
10.
|
04/G/2007/PTUN.xxx (Lelang Eksekusi)
|
Kutipan Risalah Lelang
|
Tidak
dapat diterima
|
Obyek sengketa itu bukan
KTUN karena tidak memenuhi Pasal 1 angka 3.
|
11.
|
103/G/2011/PTUN.xxx jo. 136/B/2012/PTTUN.xxx
jo. 255 K/TUN/20xx (Lelang Eksekusi)
|
Penetapan Jadwal
Lelang
|
Tidak
diterima
|
Karena soal piutang
Negara termasuk dalam lingkup keperdataan sebagaimana Pasal 2 Undang-undang
Nomor 9 Tahun 2004
|
12.
|
98/G/2011/PTUN.xxx jo. 135/B/2012/PTTUN.xxx
jo. 299 K/TUN/20xx
|
1. Pengumuman Pemenang Lelang
2. Tidak diprosesnya Sanggahan Banding
3. Surat Laporan/ Pertanyaan Awal
|
Tidak diterima
|
1. Teori
Opplossing;
2. Bukan
KTUN karena merupaan satu kesatuan dalam proses lelang;
3. Bukan
KTUN, karena belum bersifat final;
Sementara Majelis
Banding menganggap alasan tidak diterimanya gugatan adalah soal kompetensi
absolut sepanjang mengenai ketentuan Pasal 48 jo. Pasal 51 ayat (3) UU No.5
Tahun 1986.
|
13.
|
168/G/2012/PTUN.xxx jo. 74/B/2013/PTTUN.xxx
jo. 555 K/TUN/20xx
|
Surat Pejabat Pembuat Komitmen tentang Pembatalan Kontrak
|
1.
Mengabulkan
Gugatan
2.
Gugatan Tidak Diterima
|
Melanggar asas audi et alteram partem &
larangan bertindak sewenang-wenang dalam pemutusan kontrak.
Majelis Banding
bependapat bahwa PTUN.xxx tidak berwenang mengadili berdasarkan Pasal 2 huruf
a Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004.
Majelis Kasasi
menguatkan Putusan tingkat Banding.
|
14.
|
169/G/2012/PTUN.xxx jo. 75/B/2013/PTTUN.xxx
jo. 556 K/TUN/20xx
|
Surat
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana tentang Pelelangan
|
1.
Mengabulkan
Gugatan
2.
Gugatan Tidak Diterima
|
Melanggar asas audi et alteram partem &
larangan bertindak sewenang-wenang dalam pemutusan kontrak.
Majelis Banding
berpendapat obyek sengketa tidak memenuhi Pasal 1 angka 9 UU 51 Tahun 2009,
karena bersifat intern dan belum final.
Majelis Kasasi menguatkan
Putusan tingkat Banding.
|
Merujuk
pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan dalam ketiga
Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara[5], bila hendak mengadopsi
kriteria keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Mahkamah
Agung[6] mengenai kewenangan
mengadili dari Peradilan Tata Usaha Negara yang berkaitan dengan tahapan
sengketa pemilihan umum, maka kriteria keputusan tata usaha negara dalam hal
pengadaan barang/jasa ini pun bisa dipilah menjadi 3 bagian: pra pelaksanaan
pengadaan barang/jasa, pelaksanaan pengadaan barang/jasa, serta pasca
pelaksanaan pengadaan barang/jasa (kontrak).
Dari
14 putusan Peradilan Tata Usaha Negara tersebut di atas, seraya memasukkannya
ke dalam 3 kriteria tersebut di atas, maka dapat dipilah bahwa keputusan yang
muncul dalam proses pengadaan barang/jasa adalah:
1. Pra
pelaksanaan: Surat Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana tentang Pelelangan
(14), Penetapan Jadwal Lelang (11), penetapan Blacklist peserta lelang (5),
(3).
2. Pelaksanaan:
Pengumuman pemenang lelang (12), (9), (8), (1)
3. Pasca
pelaksaaan (kontrak): Surat Pejabat
Pembuat Komitmen tentang Pembatalan Kontrak (13), (5), Kutipan Risalah Lelang (10), Surat Keputusan Pejabat
Pembuat Komitmen tentang Pemutusan Kontrak (7), (5),
Menurut
hemat penulis, terlepas dari keadaan faktual yang mendasari dilakukannya
gugatan mengenai pengadaan barang/jasa, untuk menghindari disparitas putusan,
maka perlu diseragamkan pada fase mana tindakan administratif dilakukan oleh
Badan/Jabatan Administrasi dalam pengadaan barang/jasa, untuk selanjutnya dapat
dikaji apakah tindakan administrasi
tersebut baik berdasarkan kriteria dalam Undang-undang Peradilan Tata
Usaha Negara maupun Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014, adalah menjadi
kewenangan peradilan tata usaha negara untuk memeriksa, memutus dan
menyelesaikannya.
Bila
telah dilakukan standardisasi dan penyeragaman internal kepada Hakim-hakim
Peradilan Tata Usaha Negara, akan adanya 3 tahapan tersebut, maka sepanjang
kedudukan dan peristiwa hukum serta obyek sengketanya serupa, tidak akan ada
disparitas sikap (putusan) Hakim, setidaknya di dalam pertimbangan mengenai
kewenangan/kompetensi absolut, yang selanjutnya tentu pembahasan pengadaan
barang/jasa, tak lagi berkutat dalam persoalan mengenai kewenangan/kompetensi
absolut saja, melainkan lebih kepada hal yang lebih substansial.
Bersambung..
[2]
Sebab berdasarkan ketentuan Pasal
47 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, Peradilan Tata Usaha Negara tak hanya
bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus sengketa tata usaha negara,
melainkan juga menyelesaikannya. Yang menurut penulis adalah menyelesaikan
sampai tak ada keragu-raguan status hukum dan pelaksanaan dari status hukum
tersebut.
[3]
TC Indra Permana, SH.MH.,
Contoh-contoh Kasus di PTUN. Dalam: http://www.ptun-surabaya.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=123:contoh-kasus&catid=34:berita-terbaru&Itemid=85
[4]
Dikaburkannya nomor sengketa yang
asli oleh penulis, bukan merupakan pengenyampingan terhadap kaidah Keterbukaan Informasi
Publik, melainkan untuk mencegah kemungkinan adanya asumsi penulis menilai
putusan tersebut. Dan semata-mata untuk menjaga diri dari anggapan mengadili
Putusan yang telah ada dalam kajian akademis, terlepas dari sudah atau belum
berkekuatan hukum tetapnya Putusan tersebut.
[5]
Dengan mendasarkan diri pada
kriteria Keputusan Tata Usaha Negara maupun Badan/Pejabat Tata Usaha Negara.
[6]
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor
07 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pilkada).
bisa minta data (nomor perkara dan PTUN mana) yang pernah mengadili perkara pengadaan barang/jasa? untuk kepentingan penelitian tesis, terima kasih
ReplyDelete