Lelang dan Pengadaan Barang/Jasa: Sengketa Tata Usaha Negara Yang Pelik (Bagian Pertama)


Peristilahan
Lelang maupun tender, dikenal masyarakat luas sebagai salah satu cara untuk “mengadakan” atau “mendapatkan” barang atau layanan jasa tertentu oleh suatu badan hukum perdata maupun badan hukum publik, bahkan individu. Keduanya merupakan term hukum, lebih spesifiknya dalam ranah hukum privat karena dari kedua term tersebut terkandung sebuah perikatan berdasarkan kesepakatan berdasarkan hukum tertentu.
Secara gramatikal, lelang diartikan sebagai penjualan di hadapan orang banyak (dengan tawaran yang atas-mengatasi) dipimpin oleh pejabat lelang[1]. Hal mana yang sejalan dengan definisi dari Menteri Keuangan[2], bahwa Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan Pengumuman Lelang.

Term yang serupa dan sering disandingkan dengan lelang adalah tender, yang secara gramatikal tender didefinisikan sebagai tawaran untuk mengajukan harga, memborong pekerjaan, atau menyediakan barang[3], meskipun sebenarnya secara normatif nomenklatur tender tidak ditemukan baik dalam Peraturan Menteri Keuangan maupun Peraturan Presiden. Bahkan bila diterjemahkan berdasarkan bahasa asalnya, tender sama sekali tidak mewakili konsep pengadaaan barang dan jasa yang selama ini digunakan. Hanya saja secara praktis dan normatif, istilah yang digunakan oleh pembentuk Undang-undang untuk merepresentasikan konsep tender yang telah lebih dahulu dikenal adalah nomenklatur Pengadaan Barang/Jasa (oleh Pemerintah) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 jo. Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 jo. Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012.

Dari kedua konsep gramatikal maupun normatif tersebut, dapat dilihat bahwa perbedaan antara lelang dengan Pengadaan Barang/Jasa (tender), berada pada tindakan utama yang dilakukannya. Hal tersebut kemudian dapat juga secara jelas tergambar sebagaimana dipaparkan dalam grafis berikut[4]:
Aspek
Lelang
Pengadaan Barang/Jasa (Tender)
Tindakan utama
Proses penjualan barang
Pembelian/pengadaan Barang atau pembelian jasa pemborongan pekerjaan.
Pelaksana
Dipimpin oleh pejabat lelang
Pejabat Pengadaan atau Unit Layana Pengadaan (ULP).
Peserta
Siapa saja, bisa juga masyarakat umum. Asal memenuhi persyaratan.
Badan Hukum Perdata. Yang secara kasuistis tergabung dalam keanggotaan organisasi Pengadaan Barang dan Jasa
Bentuk penawaran
Dapat dilakukan dengan lisan.
Harus dilakukan secara tertulis.
Karakteristik
Penjualnya satu, sedangkan calon pembelinya banyak
Penyedia barang/jasa berjumlah banyak, sedangkan calon pengguna/pembeli hanya satu.
Lokasi kegiatan
Dilaksanakan secara langsung di tempat dan waktu yang telah ditentukan Pejabat Lelang.
Dapat melalui E-Tendering, E-Catalogue, E-Puchasing. Di Website LPSE atau tempat lain.
Tipikal penawaran
Harus dilakukan dengan penawaran umum.
Dapat dilakukan dengan penawaran umum maupun dengan penunjukan langsung.
Dari grafik maupun paparan di atas, nampak jelas perbedaan antara lelang dengan tender. Sehingga selanjutnya diharapkan tak ada lagi diferensiasi istilah yang digunakan oleh Kepaniteraan Muda Perkara maupun Hakim dalam merepresentasikan kedua jenis perkara yang diterima dan ditanganinya. Sebab telah jelas, bila kegiatan utamanya adalah menjual barang, maka itulah lelang. Sedangkan bila kegiatan utamanya adalah mengadakan barang/jasa, maka hal tersebut adalah Pengadaan Barang/Jasa (tender).

Teori oplossing
Telah menjadi persoalan yang umum dan klasik, bahwa terdapat titik persesuaian –bukan titik singgung – pen.- yang tipis antara Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Perdata. Selain karena bisa dikatakan Hukum Administrasi Negara (khususnya Hukum Formilnya) di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh Hukum Perdata, adanya titik persesuaian ini disebabkan karena minimnya kajian maupun yurisprudensi dalam praktik peradilan yang bisa menjawab atau meminimalisir adanya persesuaian antara ranah Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Perdata, sehingga ambiguitas tipikal perkara khususnya lelang maupun pengadaan barang/jasa tender seharusnya tak lagi jadi perdebatan formal semata, melainkan sudah melangkah menjadi perdebatan substansial (materiil).

Menyikapi hal ini, di kalangan Hakim Peradilan Tata Usaha Negara maupun praktisi hukum pada umumnya, dikenal adanya teori oplossing yang pada pokoknya menyatakan bahwa, Keputusan Tata Usaha Negara yang materi muatannya bertujuan untuk mengakhiri atau melahirkan hak-hak keperdataan terhadap seseorang atau badan hukum perdata, akan dianggap melebur ke dalam perbuatan hukum perdatanya. Sehingga terhadap keputusan tata usaha negara tersebut, tidak menjadi kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikannya.

Sejatinya konsep oplossing tersebut mungkin dirasakan masih relevan di “zamannya”, pada saat sumber daya manusia, khususnya Hakim Administrasi masih minim kualitas dan kuantitasnya[5], sehingga sebagai langkah praktis penyelesaian sengketa administrasi yang berkenaan dengan persoalan keperdataan, adalah dengan meleburkannya (baca: mengalihkannya) menjadi sengketa keperdataan, sehingga dianggap bukan menjadi kewenangan Peradilan Administrasi melainkan kewenangan Peradilan Umum. Namun seiring berkembangnya pemikiran dan kajian atas Hukum Administrasi, secara perlahan teori oplossing tersebut bergeser dan ditinggalkan, meskipun dalam praktik masih ada Hakim yang menganut teori melebur tersebut dalam pertimbangan-pertimbangan hukumnya.

Pergeseran tersebut menjadi lumrah, tatkala disadari bahwa segala tindakan hukum administrasi, baik tindakan sepihak (searah) yang dilakukan oleh badan/pejabat pemerintahan[6], maupun upaya hukum yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap tindakan sepihak (searah) tersebut[7], tentunya didasarkan pada adanya hak-hak keperdataan yang hilang atau dirugikan. Sehingga dengan demikian, bila secara ekstrim dikatakan segala tindakan sepihak (searah) oleh Badan/Jabatan Pemerintahan terhadap warga masyarakat, yang jelas memiliki unsur-unsur keperdataan, kemudian diterapkan teori oplossing terhadapnya, maka mana yang menjadi kewenangan Peradilan Administrasi? Terlebih berdasarkan logika hukum bahwa, bagaimana bisa Hukum Administrasi Negara yang merupakan kaidah hukum publik, bisa “menundukkan” diri dengan melebur pada konsep Hukum Perdata yang merupakan hukum privat. Sementara jelas, di dalam ketentuan Pasal 1320 jo. Pasal 1337 KUH Perdata, bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya suatu sebab (causa) yang halal (tidak terlarang), sementara terlarang atau tidaknya suatu hal adalah berdasarkan perundang-undangan yang dibentuk berdasarkan hukum publik. Jika demikian, seharusnya kaidah Hukum Privat-lah yang “menundukkan” diri dan melebur kepada kaidah Hukum Publik, bukan sebaliknya.

Sengketa Administrasi atau Keperdataan?
Lelang sebagaimana dikemukakan di atas, merupakan tindakan yang dilakukan oleh Pejabat Lelang untuk menjual barang secara terbuka. Dalam hal ini prinsip-prinsip jual beli yang umum seperti adanya penjual dan pembeli, kesepakatan serta adanya barang yang diperjualbelikan, ditambah dengan prinsip khusus yakni adanya penawaran harga yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi.

Secara sepintas, apa yang termaktub dalam sebuah proses lelang merupakan klausula-klausula kumulatif sebuah perikatan (Perdata) sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 1320 maupun Pasal 1338 KUH Perdata. Sehingga dengan demikian, secara a contrario bila terjadi perselisihan dari proses lelang yang berlangsung, Peradilan yang berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikannya adalah Peradilan Perdata i.c. Peradilan Umum. Kecuali bila dalam pelaksanaan lelang tersebut, terkandung unsur-unsur penggunaan wewenang dalam lingkup administrasi negara yang didasarkan pada perundang-undangan, maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Terkait keberadaan Pejabat Lelang[8] yang melaksanakan proses lelang tersebut, maka sejalan dengan ketentuan Pasal 66 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010, Pejabat Lelang hanya berwenang mengesahkan penawar tertinggi dan tindakannya tersebut didasarkan pada  keberadaan proses lelang, bukan didasarkan tindakan sepihak (searah) dari kewenangan yang dimilikinya sebagai pejabat publik dalam hal lelang. Sehingga dalam hal ini, unsur beslissing (keputusan) dalam bentuk wilsvorming (pernyataan kehendak) untuk mengesahkan maupun menetapkan pemenang lelang yang dilakukan oleh Pejabat Lelang, tidaklah ada. Sebab secara a contrario, tanpa adanya proses lelang sesuai perundang-undangan Pejabat Lelang tidak dapat melakukan pengesahan terhadap penawar tertinggi. Maka dari itu ada atau tidak adanya pengesahan penawar tertinggi sebagai pemenang lelang oleh Pejabat Lelang, bukanlah wilsvorming dari Pejabat Lelang tersebut.

Di sisi lain, Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah -sebagai nomenklatur normatif yang digunakan dalam perundang-undangan yang merupakan representasi dari term socio-law: tender-, memiliki beberapa kemiripan dengan Lelang, namun dengan karakteristik khusus tertentu.  

Berbeda dengan proses lelang yang hanya melibatkan institusi pemerintah sebagai pelaksana lelang, dalam proses pengadaan barang/jasa, institusi pemerintah merupakan pelaku aktif dari proses pengadaan barang/jasa. Parameter sederhananya dapat dilihat dari beberapa nomenklatur badan/pejabat pemerintahan yang teribat di dalamnya, yakni Unit Layanan Pengadaan, Pengguna Anggaran, Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen Pejabat Pengadaan, Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan, maupun Aparat Pengawas Intern Pemerintah[9].

Yang paling kentara terlihat adalah digunakannya APBN maupun APBD baik sebagian maupun keseluruhannya, sebagai sumber pembiayaan pengadaan barang/jasa[10]. Sehingga dalam hal ini, setiap keputusan badan/pejabat pemerintah sangat mempengaruhi terlaksananya Pengadaan Barang/Jasa, yang pada akhirnya dapat diukur dan diuji ada atau tidaknya beslissing serta unsur wilsvorming dari badan/jabatan pemerintahan sebagaimana disebutkan di atas.

Bersambung..



[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagaimana: http://kbbi.web.id/lelang
[2] Vide Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagaimana: http://kbbi.web.id/tender
[5] Karena pada saat itu Peradilan Tata Usaha Negara baru lahir dan berkembang, sementara Hakim-hakim yang ada berasal dari Hakim Peradilan Umum.
[6] Yang di dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 bisa berbentuk tindakan (faktual) maupun penerbitan Keputusan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan.
[7] Dalam bentuk Upaya Administratif maupun Gugatan ke Peradilan Administrasi.
[8] Vide Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK/.06/2013, yang menyatakan bahwa: Pejabat Lelang adalah orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberi wewenang khusus untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang.
[9] Vide Pasal 1 angka 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 11 Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012.
[10] Vide Pasal 2 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010.
[11] Vide Pasal 87 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014.

Comments

Popular posts from this blog

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc

Kota Bandung dan Kota Malang