Schorsing dan Uitvoerbaar bij Vorraad Dalam Sebuah Perbandingan (Bagian III)
Syarat
penerapan Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar
bij Vorraad) dalam Sengketa Tata Usaha Negara
Dari rangkaian kajian tersebut di atas, maka
secara limitatif memang harus ditentukan syarat penerapan Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar
bij Vorraad)
dalam Sengketa Tata Usaha Negara, yakni:
1. Diawali
dari sikap diamnya (pasif) Badan/Jabatan Tata Usaha Negara.
Secara negasi dalam konsep administrasi negara, sebuah
putusan yang memuat perintah melakukan sesuatu tindakan, hanya bisa diterapkan
bila ada hal/tindakan yang seharusnya dilakukan, akan tetapi tidak dilakukan,
padahal sejatinya itu menjadi kewenangannya.
Gugatan sengketa tata usaha negara dalam hal
fiktif-negatif, maupun fiktif-positif, tentunya tidak menerapkan pranata
penundaan pelaksanaan keputusan dalam hal adanya potensi kepentingan yang
dirugikan atau kepentingan yang mendesak, padahal tidak menutup kemungkinan
juga adanya keadaan mendesak ataupun potensi kerugian lebih besar yang muncul
andaikata penerbitan keputusan tata usaha negara tidak dilakukan dengan segera.
2. Adanya
kepentingan/potensi kerugian yang lebih besar
Serupa dengan alasan penundaan pelaksanaan keputusan tata
usaha negara, penerapan Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar bij Vorraad) dalam Sengketa Tata Usaha Negara harus
didasari alasan adanya potensi kerugian yang lebih besar, atau kepentingan
Penggugat yang jauh lebih besar madhorot (masalah)-nya, bila tidak ada tindakan
konkrit berupa penerbitan keputusan tata usaha negara dari Badan/Jabatan Tata
Usaha Negara, selama proses peradilan berlangsung.
Hal ini untuk melengkapi perlindungan hukum bagi pencari
keadilan, terhadap gugatan tata usaha negara yang didasarkan pada sifat
fiktif-negatif maupun fiktif-positif dari obyek sengketa.
3. Telah
ada bukti-bukti awal yang kuat dan relevan, yang mendukung dikabulkannya
Putusan Serta Merta:
Sejalan dengan pendapat Bagir Manan tersebut di atas, Putusan
Serta Merta memang berpotensi lebih besar menimbulkan masalah, dibandingkan
manfaatnya. Akan tetapi bila didasarkan pada alasan-alasan yang logis, serta
alat bukti yang kuat dan relevan, maka demi terciptanya kemanfaatan hukum,
adalah beralasan bila petitum tambahan tentang putusan serta merta tersebut
dikabulkan Hakim.
Dari aspek teknis, harus ditegaskan bahwa putusan serta
merta harus merefleksikan substansi dari putusan akhir. Sehingga dalam hal ini putusan
serta merta, sebisa mungkin sejalan dengan putusan akhir, karena yang menjadi
pokok putusan sejatinya adalah yang dimintakan dalam putusan prosesual juga.
Perbedaan keduanya, hanyalah soal waktu pelaksanaan putusan tersebut.
Intinya
adalah, Hakim harus memastikan bahwa apa yang diputuskannya dalam putusan
serta-merta, didasarkan pada bukti-bukti yang relevan harus mencerminkan
pertimbangan hukum mengenai pokok sengketanya, sehingga seyogyanya sejalan
dengan putusan akhir.
Problematika Penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara maupun Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar bij Vorraad).
Masalah utama baik dari Penundaan pelaksanaan
Keputusan Tata Usaha Negara maupun Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar
bij Vorraad),
diantaranya adalah potensi pertentangan substansi antara sifat kedua putusan prosesual
tersebut dengan putusan akhir, serta potensi munculnya persoalan hukum baru
akibat pertentangan substansi tersebut, serta rehabilitasi/restorasi
terhadapnya.
Potensi pertentangan hukum, serta persoalan
seperti rehabilitasi/restorasi kedudukan dan status hukum bila pertentangan
hukum tersebut terjadi, telah menjadi kajian lama yang dipersoalkan terus
menerus.
Sebenarnya, tak ada satu pun konsep hukum
yang tidak beresiko hukum, baik di masa kini maupun masa yang akan datang. Upaya
hukum yang telah lama terpranatakan secara resmi seperti gugatan, banding,
kasasi bahkan Peninjauan Kembali[1]
sekalipun, tak lepas dari cacat-cacat dalam pelaksanaannya.
Berdasarkan logika hukum, secara kasuistis probabilitas
(kemungkinan) pengembalian kepada keadaan hukum semula (rehabilitasi/restorasi)
sebagai akibat dari dibatalkannya keadaan/status hukum sebelumnya –sekalipun
sudah inkracht- oleh putusan
Peninjauan Kembali, tetaplah ada. Sehingga atas dasar argumen yang sama,
mengapa hal tersebut tidak diperbolehkan dalam Putusan Serta Merta, yang sifat
keterikatannya sementara karena belum inkracht?
Sebab di sisi lain putusan kasasi yang telah inkracht pun, dimungkinkan berbalik kedudukan hukumnya dengan adanya putusan Peninjauan Kembali, sehingga
menuntut adanya rehabilitasi/restorasi kedudukan hukum.
Atas dasar itu, maka sebenarnya Putusan Serta
Merta (Uitvoerbaar bij Vorraad), hanya perlu diperketat persyaratan dan teknis implementasinya
saja. Sedangkan mengenai faedah dan kerugian yang timbul akibat Putusan Serta
Merta (Uitvoerbaar bij Vorraad) tersebut, secara kasar bisa dikatakan sebagai resiko
hukum yang layak diperjuangkan.
Dan oleh karena resiko hukum tersebut, tak
hanya terjadi dalam ranah hukum privat, melainkan bisa terjadi pula dalam ranah
hukum publik seperti hukum administrasi negara, maka penerapan Putusan Serta
Merta (Uitvoerbaar bij Vorraad) di Peradilan Tata Usaha Negara pun sebenarnya layak
dikaji dan diwacanakan.
Contoh kasus yang bisa diselesaikan dengan Putusan
Serta Merta (Uitvoerbaar
bij Vorraad):
Pemilihan Kepala Desa
A adalah seorang Calon Kepala Desa yang
dinyatakan sebagai pemenang oleh Panitia Pemilihan Kepala Desa, sehingga
berdasarkan Peraturan Daerah harus diajukan oleh Badan Permusyaratan Daerah
(BPD) kepada Bupati untuk diangkat dan dilantik menjadi Kepala Daerah.
Namun B, yang juga calon Kepala Desa merasa
keberatan karena mengklaim telah terjadi kecurangan terkait adanya kelebihan
surat suara dari seharusnya, yang bila dihitung sebenarnya tidak akan mengubah
hasil pemilihan kepala desa tersebut. Dan atas keberatan tersebut, BPD
selanjutnya terpengaruh dan pada akhirnya tidak mengajukan pengusulan
pengesahan dan pelantikan kepala Desa tersebut kepada Bupati.
Karena merasa terjegal proses pelantikannya
sebagai Kepala Desa, akhirnya A mengajukan gugatan ke PTUN. Namun di sisi lain,
masa kerja Plt. Kepala Desa telah berakhir karena telah 2 kali mengalami
perpanjangan masa jabatan, selama proses pemilihan kepala desa berlangsung.
Sementara, pelayanan publik yang menempatkan Kepala Desa sebagai subyek vital,
tidak bisa menunggu proses persidangan sampai menghasilkan putusan yang
berkekuatan hukum tetap.
Penerbitan Alas Hak Tanah (Sertipikat)
X mengajukan permohonan penerbitan sertipikat
kepada Kantor Pertanahan Y atas tanah yang telah dikuasainya secara
turun-temurun (waris). Dengan melengkapi persyaratan sebagaimana ditentukan
perundang-undangan, ternyata permohonan tersebut diabaikan (didiamkan) oleh
Kepala Kantor Pertanahan Y.
Di sisi lain, X membutuhkan legalitas alas
hak atas tanahnya karena itu merupakan syarat pengajuan IMB, sebab X akan
membangun rumah. Tentunya tindakan diamnya Kepala Kantor Pertanahan Y telah
merugikan X, sekalipun –katakanlah- tindakan diam dari Kepala Kantor Pertanahan
Y tak lagi berarti penolakan (fiktif-negatif), melainkan (fiktif-positif).
V.
Kesimpulan
- Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara (schorsing) secara limitatif, hanya bisa diterapkan pada gugatan terhadap keputusan tata usaha negara yang berwujud fisik (ada). Sementara terhadap gugatan berdasarkan Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 (fiktif-negatif, maupun fiktif-positif dalam Undang-undang Administrasi Pemerintahan), belum ada pengaturannya. Sehingga atas dasar inilah, maka keberadaan pranata Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar bij Vorraad) di dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, perlu diwacanakan dan dikaji lebih mendalam.
- Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar bij Vorraad) memungkinkan adanya pelaksanaan suatu tindakan yang merupakan antitesis dari penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara, sehingga secara filosofis kekosongan status/kedudukan hukum maupun dalam hal spesifik lain seperti kekosongan jabatan tata usaha negara dapat dipecahkan selama proses peradilan berlanjut sampai berkekuatan hukum tetap, tanpa menyebabkan aspek-aspek yang kemudian berpotensi menimbulkan kerugian selama rangkaian proses tersebut berjalan, menjadi terabaikan.
- Kekurangan atau kelemahan pelaksanaan Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar bij Vorraad) hendaknya dianggap sebagai suatu solusi konkrit dalam mengatasi kekosongan hukum, dalam rangka mengimplimentasikan asas kemanfaatan dari putusan pengadilan. Kendati memang memiliki berbagai persoalan, bukan berarti konsep tersebut tidak layak diterapkan, melainkan harus disempurnakan aturan teknis maupun persyaratannya.
-Selesai-
[1]
Terlebih berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013
yang pada pokoknya memungkinkan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan
Kembali bisa dilakukan berkali-kali, selain berhubungan dengan kepastian hukum,
juga berkaitan erat dengan konsep rehabilitasi/restorasi kedudukan hukum
sebagai akibat dari upaya hukum yang dilakukan tersebut.
Comments
Post a Comment