Schorsing dan Uitvoerbaar bij Vorraad Dalam Sebuah Perbandingan (Bagian II)
III. UITVOERBAAR BIJ VOORRAAD (PUTUSAN SERTA MERTA)
Uitvoerbaar bij voorraad dalam bahasa Indonesia diistilahkan sebagai putusan yang dapat dilaksanakan serta merta, yakni
putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun ada upaya hukum
terhadapnya, dan putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap.
Meskipun
secara harfiah terjemahan untuk Uitvoerbaar
bij Voorraad adalah layak dilaksanakan, namun secara peristilahan Uitvoerbaar bij Voorraad bila
diterjemahkan sebagai enforceable,
maka artinya adalah “The ability to perform even though the
substance of the appeal has not yet been settled. A statement immediately The appeal in this case has no
suspensive effect”[1].
Yang selanjutnya oleh
beberapa kalangan lebih diasosiasikan dengan istilah provisionally enforceable atau sementara dilaksanakan.
Putusan Uitvoerbaar
bij Voorraad dikenal dalam Hukum Acara Perdata di
Indonesia sebagaimana dimuat dalam HIR sebagi salah satu putusan prosesual
selain putusan dalam pokok sengketanya. Tujuannya adalah agar suatu putusan
dapat dilaksanakan terlebih dahulu (dieksekusi) meskipun putusan tersebut belum
inkracht dan masih ada/dilakukan
upaya hukum terhadapnya.
Syarat dikabulkannya putusan serta merta
menurut menurut Pasal 180 HIR, Pasal 191 RBg, dan Pasal 54 Rv adalah karena:
- Gugatan didasarkan atas suatu alas hak yang berbentuk akta otentik.
- Didasarkan atas akta dibawah tangan yang diakui atau yang dianggap diakui jika putusannya dijatuhkan secara verstek.
- Didasarkan pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Sedangkan syarat
putusan serta merta menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2000
yaitu:
- Gugatan berdasarkan pada bukti surat otentik atau surat tulisan tangan yang tidak dibantah kebenaran tentang isi dan tanda tangannya.
- Gugatan tentang hutang piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah.
- Gugatan tentang sewa menyewa tanah rumah, gudang, dan lain-lain dimana hubungan sewa menyewa sudah habis/lampau, atau penyewa terbukti melalaikan kewajibannya sebagai penyewa yang beritikat baik.
- Gugatan mengenai pembagian harta perkawinan (gono gini) setelah putusan mengenai gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap.
- Dikabulkannya gugatan provisionil, dengan pertimbangan hukum yang tegas dan jelas serta memenuhi pasal 332 Rv.
Beberapa pendapat praktisi
yang menyatakan terdapat kekurangan dalam Uitvoerbaar bij voorraad (Putusan Serta Merta) karena lebih banyak
membawa masalah daripada manfaat, memang menunjukkan bahwa setiap konsep dan
pranata hukum pastilah memiliki kelemahan, disamping tentu saja kelebihannya.
Seperti gagasan dari Ketua
Mahkamah Agung emeritus, Bagir Manan
yang meminta para Hakim untuk tidak gegabah membuat putusan serta
merta, ataupun Andi Samsan Ngaro yang sependapat dengan hal
itu. Namun di sisi lain, juga ada praktisi hukum seperti Advokat senior Adnan
Buyung Nasution dan mantan Menkumham Amir Syamsudin, yang mendukung keberadaan Uitvoerbaar
bij voorraad
(Putusan Serta Merta), dengan memperbaiki pelaksanaannya bukan mengubah
hukumnya[2].
IV. PERBANDINGAN ANTARA KEDUANYA
Baik Schorsing
(Penetapan Penundaan) maupun Uitvoerbaar
bij voorraad (Putusan Serta Merta), keduanya merupakan petitum tambahan
selain petitum mengenai pokok sengketa. Perbedaan paling prinsip diantara
keduanya adalah, tindakan faktual yan dilakukan untuk melaksanakannya. Schorsing (Penetapan Penundaan)
sejatinya bukanlah tindakan pelaksanaan -bersifat pasif- atas suatu keputusan
tata usaha negara melainkan hanya penangguhan pelaksanaan (suspend) terhadap substansi dari suatu keputusan/pelaksanaan
keputusan tata usaha negara. Sedangkan putusan serta merta adalah suatu
tindakan prosesual[3]
karena di dalamnya terkandung tindakan pelaksanaan –yang bersifat aktif-
terhadap putusan sebagaimana dimaksudkan dalam amar putusan pokoknya.
Pada kedua jenis petitum di atas, terkandung
dua hal yang sama yakni keberadaan keadaan hukum baru (unsur konstitutif)
karena adanya suspending ataupun
putusan serta merta, telah mengubah keadaan hukum dari sah menjadi tidak sah
atau dari penguasaan hak si A yang beralih menjadi si B, meskipun bersifat
temporer dan sementara.
Selain
hal tersebut, bila diperbandingkan ada kesamaan maupun perbedaan antara schorsing dengan uitvoerbaar bij voorraad, sebagaimana berikut:
- Tindakan penundaan merupakan tindakan menangguhkan keberlakuan suatu keputusan yang telah ada, yang sejatinya tidak bertujuan memunculkan suatu akibat hukum baru. Dengan kata lain, schorsing hanya mengembalikan status quo[4]. Sedangkan putusan serta-merta, merupakan tindakan aktif yakni melakukan suatu tindakan –dan menimbulkan akibat hukum baru- yang tidak ada sebelumnya
- Penundaan hanya dapat dilakukan kepada substansi (pokok) surat keputusan yang dimintakan ditunda, meskipun ada kemungkinan perluasan terhadap tindakan administasi yang timbul setelahnya[5]. Akan tetapi bila dalam hal tindakan administrasi setelahnya ternyata ada pula surat keputusan lain, maka sejatinya ruang lingkup penundaan –bila dikabulkan- hanya sebatas pada substansi surat keputusan yang dimintakan untuk ditunda, tidak pada substansi surat keputusan yang lain. Sedangkan putusan serta-merta lebih kepada tindakan tertentu yang konkrit dan terbatas pada pelaksanaan amar putusan dari pokok sengketa.
- Penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara hanya men-suspend status hukum tertentu, belum mencerminkan status hukum petitum pokok. Meski tidak lumrah bahwa penundaan dikabulkan sementara pokok sengketa ditolak, namun hal tersebut bisa saja terjadi. Sama halnya dengan putusan serta merta, sifat putusannya secara logis seharusnya paralel (serupa) dengan petitum pokok, meskipun terjadi juga hal yang berkebalikan antara putusan serta merta dengan putusan akhir.
Sejatinya, putusan serta merta (Uitvoerbaar
bij Vorraad),
merupakan konsep hukum dalam ranah hukum privat (perdata), yang didasarkan pada
pertimbangan kepentingan –individual- yang potensial menimbulkan kerugian lebih
besar, dan/atau kepentingan mendesak yang harus segera dijelaskan kedudukan
hukumnya.
Ternyata, konsep kepentingan yang potensial
menimbulkan kerugian lebih besar, maupun kepentingan mendesak ditemui juga
pengaturannya di dalam ketentuan Pasal 67 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
maupun selanjutnya dalam Undang-undang Administrasi Pemerintahan. Sehingga
dalam hal ini menurut penulis, tetap ada kemungkinan menerapkan konsep hukum
privat semisal putusan serta merta (Uitvoerbaar bij Vorraad) ini, ke dalam ranah hukum publik (Hukum
Administrasi Negara), sepanjang kualifikasi mengenai potensi kerugian lebih
besar, maupun kepentingan mendesak serta syarat-syarat limitatif lainnya terpenuhi.
Perbandingan Schorsing (Penetapan Penundaan) maupun Uitvoerbaar bij voorraad (Putusan Serta Merta) Dalam Tabel
Aspek Pembanding
|
Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha
Negara
|
Putusan Serta Merta
|
Dasar Hukum
|
Pasal 67 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
|
Pasal
180 HIR, Pasal 191 RBg, dan Pasal 54 Rv. Serta SEMA Nomor Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.3 tahun
2000 jo. Surat Edaran Mahkamah
Agung RI Nomor 4 tahun 2001.
|
Sifat Pengajuan
|
Harus diajukan Penggugat, tidak boleh atas
inisiatif Hakim.
|
Harus diajukan Pihak, tidak boleh atas
inisiatif Hakim.
|
Asal mula konsep
|
Hukum Publik (Hukum Administrasi Negara).
|
Hukum Privat (Perdata).
|
Tindakan Hukum
|
Menangguhkan keberlakukan Keputusan Tata
Usaha Negara. Tidak ada ketentuan hukum baru.
|
Menyatakan
sesuatu kedudukan/status hukum baru.
|
Alasan Pemberlakuan
|
Keadaan
yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat
dirugikan.
|
Secara
konseptual, alasan diajukannya Putusan Serta Merta serupa dengan alasan
dimohonkannya penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara, yakni
potensi kerugian yang lebih besar bila putusan tidak dilaksanakan lebih
dahulu.
|
Ditujukan Kepada
|
Keputusan
Tata Usaha Negara yang digugat. Dan hanya pada Keputusan Tata Usaha Negara
yang berwujud (ada). Tidak dapat diterapkan pada KTUN fiktif-negatif atau
fiktif positif.
|
Status/keadaan
hukum (perdata) tertentu. Dimungkinkah pula diterapkan pada KTUN
fiktif-negatif atau fiktif positif (dalam Hukum Administrasi Negara).
|
Pelaksana
|
Badan/Pejabat
Tata Usaha Negara yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara, atas perintah
Ketua Pengadilan/Majelis Hakim.
|
Juru
Sita Pengadilan atas perintah Ketua Pengadilan.
|
Bersambung
[1] Sebagaimana dimuat dalam http://www.rechtspraak.nl/Recht-In-Nederland/JuridischeBegrippenlijst/Pages/default.aspx
[1] Sebagaimana dimuat dalam http://www.rechtspraak.nl/Recht-In-Nederland/JuridischeBegrippenlijst/Pages/default.aspx
[3] Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI
Nomor 2 Tahun 1991 angka VI. Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha
Negara ditentukan bahwa:
1.
setiap tindakan prosesual persidangan dituangkan dalam bentuk “Penetapan”,
kecuali putusan akhir yang harus berkepala “Putusan”.
2.
Dan seterusnya.
Sehingga dari sinilah
awal mula penggunaan nomenklatur “Penetapan” untuk menunda pelaksanaan
Keputusan Tata Usaha Negara yang diadopsi juga dengan oleh Petunjuk Pelaksanaan
SEMA RI serta Pedoman Teknis Administrasi dan Tekhnis Peradilan Tata Usaha
Negara Buku II. Akan tetapi sebenarnya muncul pertentangan norma, saat istilah
yang dipakai dalam Hukum Acara Perdata adalah “Putusan Serta-Merta” bukannya
“Penetapan Serta-Merta”, meskipun sebenarnya Schorsing dan Uitvoerbaar bij
Vorraad sama-sama merupakan tindakan
prosesual. Hal mana yang bila ditelaah, akan bertentangan juga dengan ketentuan
misal: Pasal 67 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1986, yang jelas menyebutkan “diputus”
bukan “ditetapkan”.
[4]
Dalam arti mengembalikan
kepada keadaan hukum sebelum keputusan tata usaha negara tersebut diterbitkan.
[5]
Sebagaimana ditunjukkan dalam Petunjuk
Pelaksanaan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2005 tentang Penundaan Pelaksanaan
Surat Keputusan TUN yang digugat, yang salah satunya menyatakan bahwa: seluruh tindakan pelaksanaan Surat
Keputusan TUN terhenti karena penundaan pelaksanaan surat keputusan itu
Comments
Post a Comment