Schorsing dan Uitvoerbaar bij Vorraad Dalam Sebuah Perbandingan (Bagian I)
I. PENDAHULUAN
Dalam
sengketa yang telah diperiksa di pengadilan, baik di Peradilan Umum yakni
sengketa perdata maupun di Peradilan Tata Usaha Negara yakni sengketa tata
usaha negara, selain mengajukan petitum
pokok, pihak penggugat juga bisa mengajukan petitum
tambahan. Perbedaannya keduanya adalah, bila petitum pokok berkaitan erat dengan pokok sengketa yang tengah
diperiksa, petitum tambahan berkaitan
erat dengan prosesual pelaksanaan dari petitum
pokok.
Petitum
tambahan dimohonkan oleh pihak Penggugat, bila dipertimbangkan atau dinilai
akan ada tindakan tertentu yang merugikan atau berpotensi merugikan bila selama
proses pemeriksaan sengketa tersebut sampai dengan sengketa tersebut berkekuatan
hukum tetap, keadaan status quo tetap
berlaku. Sehingga bila hal ini dibiarkan, menunggu sampai tuntasnya upaya hukum
dan status inkcraht-nya sengketa itu,
bisa berpotensi menyebabkan munculnya kerugian yang lebih besar.
Terkait petitum
tambahan itu, sedikit banyak telah ter-lembaga-kan secara formal baik di
Peradilan Umum dalam hal sengketa keperdataan atau juga pidana, maupun
Peradilan Tata Usaha Negara, sekalipun pelaksanaannya belum terregulasi secara detail
dan jelas. Petitum tambahan berupa schorsing (Penundaan) Pelaksanaan
Keputusan Tata Usaha Negara, dikenal dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 67 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986. Sedangkan Petitum
tambahan berupa Uitvoerbaar bij Vorraad
(putusan serta merta), termuat dalam Pasal 180 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement (HIR), Pasal 191 ayat (1) Reglement
Voor de Buitengewesten (R.Bg),
sebagaimana pula SEMA No. 3 Tahun
2000 tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar bij voorraad) dan Provisionil serta SEMA No. 4 Tahun 2001 tentang Permasalahan Putusan Serta Merta dan
Provisionil.
II. SCHORSING: PENUNDAAN PELAKSANAAN
KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA
Sebagaimana
termuat dalam ketentuan Pasal 67 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986,
pada prinsipnya suatu gugatan tata usaha negara tidak menunda pelaksanaan
keputusan tata usaha negara yang digugat. Hal ini berpedoman pada filosofi
bahwa tindakan Badan/Jabatan Tata Usaha Negara tetap dianggap sah, sepanjang
belum dinyatakan sebaliknya oleh Pengadilan, yang didasarkan pada fungsi dari
Badan/Jabatan Publik yakni dalam hal pengaturan (regulatory function) dan pelayanan (service function).
Sehingga secara sumir dapat dianggap,
bahwa penundaan pelaksanaan fungsi dari Badan/Jabatan Publik sama halnya dengan
penghambatan terhadap fungsi pengaturan dan pelayanan kepada masyarakat oleh
Badan/Jabatan Publik. Hal mana yang sejalan dengan pendapat Asmuni[1], adanya
prinsip bahwa keputusan dari Badan/Jabatan Tata Usaha Negara tetap dianggap sah
adalah agar tugas pemerintahan khususnya dalam rangka
memberikan perlindungan (protection),
pelayanan umum (public service) dan mewujudkan
kesejahteraan (welfare) bagi
masyarakat dapat berjalan.
Norma yang dianut terkait
prinsip bahwa gugatan tidak menunda pelaksanaan suatu keputusan tata usaha
negara, dalam lingkup teori Hukum Administrasi Negara dikenal dengan istilah
asas praduga legalitas atau vermoeden van
rechtmatigheid. Atau lebih umum dikenal sebagai asas praesumptio iusta causa, yang pada pokoknya menyatakan bahwa segala
keputusan
yang diterbitkan oleh Badan/Jabatan Tata Usaha Negara, tetap dianggap sah oleh
karenanya dapat dijalankan sampai ada putusan pengadilan berkekuatan hukum
tetap yang menyatakan sebaliknya.
Asas praesumptio iusta causa ini bisa jadi merupakan
pengembangan dari prinsip dari bahasa latin, yakni Ei incumbit probatio qui dicit, non qui negat (the burden of proof is on he who declares, not
on he who denies)[2], sebuah prinsip yang menegaskan bahwa seseorang dinyatakan tidak
bersalah sampai terbukti sebaliknya, yang dalam lingkup Hukum Pidana kita,
diistilahkan sebagai asas praduga tak bersalah.
Schorsing adalah term atau istilah yang diidentikkan dengan penundaan keputusan tata
usaha negara, yang secara harfiah berarti suspensi (penangguhan) atau larangan.
Sedangkan secara istilah, Schorsing adalah
1. Tijdelijke
onderbreking van een proces (Temporary interruption of a process). 2.
Tijdelijke buitenwerkingstelling van een besluit of verordening. (Temporary
deactivation of an act or regulation ) 3. Tijdelijk een ambtenaar uit zijn
functie zetten (Take an official from office put)[3].
Norma yang terkandung dalam ketentuan Pasal
67 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, bila dibaca secara sepintas memang saling
bertentangan. Karena di satu sisi Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
menganut prinsip bahwa adanya gugatan tidak menunda pelaksanakan suatu
keputusan tata usaha negara, namun di sisi lain memungkinkan adanya penundaan
pelaksanaan keputusan tata usaha negara.
Penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara dapat
dimintakan dalam pemeriksaan suatu sengketa tata usaha negara, sepanjang
diketahui dan dirasakan bahwa bila keputusan tata usaha negara tersebut tetap
dilaksanakan, maka akan berpotensi menimbulkan kerugian yang lebih besar kepada
Penggugat. Hal tersebut dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 67 ayat (4)
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
Persyaratan utama untuk dikabulkannya Penetapan Penundaan
Pelaksanaan suatu Keputusan Usaha Negara berdasarkan ketentuan Pasal 67 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tersebut di atas adalah, adanya keadaan
yang mendesak yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan kepentingan
Penggugat akan lebih dirugikan bila Keputusan tersebut tetap dinyatakan sah
(berdasarkan asas praduga rechtmatigheid)
dan tetap dilaksanakan. Selain itu,
kepentingan tersebut haruslah bukan kepentingan yang terkait dengan kepentingan
umum dalam rangka pembangunan.
Dalam Buku II tentang
Pedoman Teknis Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, dinyatakan beberapa
poin yang harus dicermati terkait dengan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata
Usaha Negara, yakni[4]:
- Obyeknya harus merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking);
- Penundaan harus diajukan Penggugat, bukan atas prakarsa Hakim;
- Yang ditunda adalah daya berlakunya Keputusan TUN, maka jika daya berlakunya di keputusan TUN dihentikan, akibat hukumnya seluruh tindakan pelaksanaan Keputusan TUN terhenti oleh karenanya. Atas dasar itu tidak dibolehkan menetapkan penundaan pelaksanaan keputusan TUN yang digugat dengan hanya berlaku untuk sebagian saja;
- Perbuatan faktual yang menjadi isi dalam keputusan TUN itu belum dilaksanakan secara fisik, misalnya pembongkaran yang belum dilaksanakan;
- Penundaan dapat dikabulkan apabila kepentingan Penggugat yang dirugikan tidak dapat atau sulit dipulihkan oleh akibat keputusan TUN yang digugat terlanjur dilaksanakan, oleh karenanya tidak setiap permohonan harus dikabulkan;
- Ada keadaan atau alasan yang sangat mendesak yang menuntut Hakim untuk segera mengambil sikap terhadap permohonan penundaan;
- Sebelum mengabulkan permohonan penundaan, kepentingan Tergugat harus dipertimbangan, maha Tergugat harus didengar terlebih dahulu. Mengingat sifatnya yang sangat mendesak itu, kalau perlu dapat dilakukan dengan melalui telepon/teleks/faksimili;
- Penundaan yang dimohonkan tidak menyangkut kepentingan umum dalam rangka pembangunan;
- Penetapan Penundaan pelaksanaan keputusan TUN yang digugat, dibuat tersendiri, terpisah dari putusan akhir terhadap pokok sengketanya;
- Penetapan penundaan yang dibuat, daya berlakunya mengikuti sampai dengan putusan pokok sengketanya berkekuatan hukum tetap;
- Penundaan pelaksanaan keputusna TUN yag digugat, tidak boleh ditetapkan dengan bersyarat selama jangka waktu tertentu, misalnya dua atau tiga bulan;
- Mengingat kepentingan Penggugat yang dirugikan terhadap pelaksanaan surat keputusan TUN yang digugat kemungkinan baru timbul pada waktu proses pemeriksaan di tingkat banding, maka atas dasar permohonan Penggugat, Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dapat pula menerbitkan penetapan penundaan yang harus dilihat dan dipertimbangkan secara kasuistis.
Bila dianalisa secara sederhana, “ruang lingkup” schorsing
yang hanya terletak pada penundaan/penangguhan pelaksanaan suatu keputusan tata
usaha negara, terkadang tidak memberikan penyelesaian. Hal ini dikarenakan pada
prinsipnya penundaan pelaksanaan putusan hanya melingkupi beberapa aspek
parsial dari substansi keputusan tata usaha negara yang digugat, yakni:
- Menunda keberlakuan (sifat berlaku), dari substansi (apa yang dinyatakan) keputusan tata usaha negara;
- Akibat yang ditimbulkan adalah, kembali kepada keadaan faktual/hukum sejak sebelum keputusan tersebut diterbitkan, serta mempertahankan kedudukan hukum itu selama penetapan penundaannya berlaku;
- Menghentikan tahapan/proses lanjutan atau finalisasi dari substansi (apa yang dinyatakan) yang termaktub dalam keputusan tata usaha negara yang digugat.
Dalam beberapa kasus konkrit di bidang sengketa
tata usaha negara, tidak dimasukkannya permohonan penundaan pelaksanaan
keputusan tata usaha negara di dalam sebuah gugatan -dengan berbagai alasan[5]-
bisa menimbukan persoalan hukum baru, bahkan berakibat pada hilangnya
kemanfaatan dari putusan yang kemudian dihasilkan. Sehingga dengan demikian
tujuan proses peradilan, sejatinya telah bergeser dan tereduksi seiring dengan
tiadanya manfaat/faedah dari putusan pengadilan.
Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara,
secara limitatif hanya dapat dilakukan terhadap suatu keputusan tata usaha
negara yang berwujud secara fisik, dengan kata lain didasarkan pada keputusan
tata usaha negara berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 51
Tahun 2009. Secara a contrario,
penerapan schorsing ini tidak
diterapkan pada keputusan tata usaha negara yang didasarkan pada ketentuan
Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, atau kaidah fiktif-negatif.
Hal tersebut tentunya menimbulkan kekosongan hukum,
karena ternyata jaminan hukum prosesual Penggugat dalam hal gugatan
fiktif-negatif, -maupun fiktif-positif sebagaimana Undang-undang Administrasi
Pemerintahan-, belum terpranatakan secara formal. Dengan demikian, persoalan
hukum tersebut perlu dicarikan jalan keluarnya.
Kendati pada dasarnya konsep Putusan
Serta Merta (Uitvoerbaar bij voorraad) berada dalam ranah perdata, akan tetapi dengan mengikuti perkembangan
zaman, akan menjadi relevan tatkala fungsi hukum (baik hukum privat maupun
hukum publik) saat ini tidak hanya mengenai kepastian hukum maupun keadilan itu
sendiri, melainkan juga berkaitan dengan kemanfaatan yang ditimbulkan dari
hukum yang dibentuk hakim tersebut.
Bersambung..
[1] Asmuni, Penundaan Pelaksanaan
Keputusan Tata Usaha Negara oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, Jurnal. Universitas Brawijaya. 2013. Hlm.1
[2] http://en.wikipedia.org/wiki/Presumption_of_innocence
diakses tanggal 30 April 2014
[3] Sebagaimana ditemukan dalam: http://bellevueholidayrentals.com/juridisch/
[4]
Petunjuk Pelaksanaan
Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2005, tanggal 7 Desember 2005 tentang Penundaan
Pelaksanaan Surat Keputusan TUN Yang Digugat.
[5]
Bisa karena ketidaktahuan
dari Penggugat tentang pranata penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha
negara ini, bisa pula karena anggapan bahwa implementasi dari penundaan
pelaksanaan keputusan amat susah dan amat jarang bisa dilakukan.
Comments
Post a Comment