Realita Konsumen dalam Pelayanan (I)
Kerja
asal-asalan tak lagi tepat bila hanya ditujukan kepada pegawai negeri sipil
saja. Kalangan swasta yang nota bene bekerja berdasarkan prinsip ekonomi yang
murni -penghasilan sesuai kinerja - pun sudah terkontaminasi dengan prinsip
kerja asal-asalan, tanpa hati dan ketulusan, apalagi hasil kerja yang memuaskan.
Salah satu kunci sukses dalam berbisnis - maupun berbagai bidang pekerjaan
lainnya- adalah ketulusan dan ketidaksetengahatian dalam bekerja. Karena
kembali kepada prinsip ekonomi tadi, penghasilan itu berbanding lurus dengan
kinerja.
Di
bidang jual beli maupun penyedia jasa layanan, keramahan dan ketulusan dalam
memberikan layanan adalah pembeda antara bisnis yang satu dengan bisnis lain,
baik yang sejenis maupun yang berbeda. Kompetisi kualitas barang maupun jasa dalam
berniaga, sejatinya berada pada level yang tidak terlalu timpang. Sehingga pada
saat itu, pelayanan dan ketulusan memberikan pelayanan, dalam menjajakan barang
atau jasa yang disediakan, sudah secara otomatis menjadi pembeda dan nilai
lebih untuk menjadi unggul dalam persaingan bisnis dan ekonomi.
Berdasarkan
pengalaman pribadi, kerap kali di wilayah tempat penulis berdomisili -dan
ternyata berdasarkan pengamatan di dunia maya, ternyata fenomena ini terjadi di
berbagai tempat -kerap unit-unit bisnis baik penyedia barang ataupun jasa,
meremehkan, mengabaikan bahkan menganggap tidak penting faktor ketulusan dan
keraamahan dalam memberikan layanan. Diganti dengan keketusan, tampang tidak
ramah dan kesetengahatian dalam bekerja.
Sebut
saja, beberapa kali berbelanja di minimarket yang ternama, seperti Alfamart dan
Indomaret, penulis lebih sering mendapat perlakuan tidak ramah dan tidak
simpatik dibandingkan dengan perlakuan bersahabat atau menyenangkan dari pelayan
ataupun kasirnya.
Bila
dalam seminggu, 3 atau 4 kali berbelanja di tempat itu, maka 2 atau 3 kalinya
mendapat perlakuan cuek, tidak ramah, atau bahkan menjengkelkan sampai ke
ubun-ubun. Modusnya: bisa dengan berkata sekenanya, tidak menjawab pertanyaan
atau komplain, tidak tersenyum atau bahkan berterina kasih. Atau yang paling
ekstrim memasang tampang tidak ramah sambil menggerutu di depan mata. Sampai
kerap penulis berpikir, apakah gaji mereka kurang? Atau apakah gaji yang
dibayarkan kepada mereka, tidak cukup sekedar untuk memberikan senyum kepada
pelanggan?
Lain
lagi dengan pelayanan di tempat makan. Sebut saja Solaria, tempat makan yang
sudah meng-Indonesia karena citarasanya yang khas.
Setelah beberapa waktu ke belakang terguncang isu menggunakan bagian dari babi dalam adonan masakannya, terlebih memang secara faktual saat itu belum mendapatkan sertifikasi halal dari MUI, mereka kini "berbenah".
Mungkin ini asumsi negatif penulis, karena Solaria di suatu pusat perbelanjaan di Jambi, saat ini pelayannya sudah berhijab semua -sebelumnya kebanyakan tidak berjilbab-, penulis sekonyong2 berpikir, apakah mereka dipaksa oleh manajemen untuk berkerudung agar bisa menarik kembali pelanggan muslim yang -sempat- kehilangan kepercayaan saat isu babi menyerang mereka? Bila itu betul, alangkah malangnya mereka -meski antitesis kejadian umum lainnya- dipaksa memakai kerudung demi memenuhi hasrat bisnis sang majikan, dan betapa piciknya sang majikan yang memaksa karyawannya berkerudung demi keuntungan ekonomi dan finansial belaka. Tak beda buruknya dengan majikan yang memaksa karyawaannya yang berkerudung agar membuka hijabnya agar tidak menghambat kinerja.
Setelah beberapa waktu ke belakang terguncang isu menggunakan bagian dari babi dalam adonan masakannya, terlebih memang secara faktual saat itu belum mendapatkan sertifikasi halal dari MUI, mereka kini "berbenah".
Mungkin ini asumsi negatif penulis, karena Solaria di suatu pusat perbelanjaan di Jambi, saat ini pelayannya sudah berhijab semua -sebelumnya kebanyakan tidak berjilbab-, penulis sekonyong2 berpikir, apakah mereka dipaksa oleh manajemen untuk berkerudung agar bisa menarik kembali pelanggan muslim yang -sempat- kehilangan kepercayaan saat isu babi menyerang mereka? Bila itu betul, alangkah malangnya mereka -meski antitesis kejadian umum lainnya- dipaksa memakai kerudung demi memenuhi hasrat bisnis sang majikan, dan betapa piciknya sang majikan yang memaksa karyawannya berkerudung demi keuntungan ekonomi dan finansial belaka. Tak beda buruknya dengan majikan yang memaksa karyawaannya yang berkerudung agar membuka hijabnya agar tidak menghambat kinerja.
Sayangnya
"penghijaban" itu tak disertai dengan perubahan karakter pelayanan. Selesainya
pemesanan tetap memakan waktu lama dan tetap tanpa keramahan, dingin, bahkan
kadang - saking ketusnya- menukar kedudukan, siapa pelayan siapa yang harus
dilayani.
Sampai
satu hari karena memesan makanan agak lama, penulis memanggil pelayan Solaria itu
berkali-kali, namun ditanggapi oleh mereka tanpa kata-kata, hanya
mencorat-coret struk pesanan di meja. Hampir satu jam lebih menunggu dan sudah
5 pelayan yang ditanyai -dengan respon yang sama, tidak simpatik- akhirnya
pesanan datang. Namun karena rasa lapar sudah dikalahkan rasa jengkel, makanan
itu sudah tidak berasa apa-apa. Saat diranyakan alasan kenapa sampai lama,
pelayan tersebut menjawab dengan sedikit ketus: “baksonya yang lama pak, jadi
pesanan anda telat!” Dalam hati saya hampir meledak, pelanggan mana mau tahu
apa yang membuat pesanan lama dibuat, apakah di dalam menu tertulis kwetiau-nya
cepet, tapi baksonya agak lama. Apalagi respon atas keterlambatan itu yang
membuat semakin jengkel. Karena emosi saya tumpahkan sebagian makanan itu ke
meja dan ke kursi makan disana.
Hmmmm.
Namanya juga emosi.
Sent from my iPhone
Comments
Post a Comment