Realita Konsumen Dalam Pelayanan (2)

Cerita lainnya adalah tagihan listrik. Sebagai satu-satunya penyedia layanan listrik, PLN adalah BUMN yang mendominasi -bila tidak mau dikatakan memonopoli- hal ikhwal pelayanan listrik di negeri ini. Hal ini tentunya secara logis menjadi potensi keuntungan tiada tara bagi mereka, karena dengan lebih dari 300 juta penduduk yang berarti sekitar 100 juta KK atau setidaknya katakanlah - melihat realita belum seluruh wilayah indonesia mendapatkan aliran listrik-  50 juta KK akan menggantungkan nasib hidup mereka kepada PLN, mengingat listrik sudah menjadi kebutuhan primer selayaknya air, udara dan makanan - serta mungkin politik-.

Bila diasumsikan 1 KK membayar tagihan listrik 100 ribu per bulan, maka hampir 5 trilyun rupiah per bulan, PLN akan mendapat pemasukan. Itu di luar konsumsi listrik industri yang -ilmul yaqin- akan membayar berkali-kali lipat daripada konsumsi listrik rumah tangga.

Dengan pendapatan sebesar itu setiap bulannya, tak lantas menjadikan kinerja PLN berbanding lurus dengan besara pendapatannya. Di daerah luar pulau jawa kerap dikeluhkan seringnya aliran listrik terputus, tanpa sebab pasti dan berulang-ulang kali terjadi. Bahkan daerah pemasok sumberdaya alam pembangkit listrik seperti Kalimantan dan Sumatera, lebih sering gelap gulita dibandingkan dengan daerah konsumen energi seperti Jakarta dan sekitarnya.

Beberapa waktu ke belakang, penulis sempat komplain terkait pelayanan PLN. Ini terjadi karena secara tiba-tiba tagihan listrik penulis melonjak drastis. Dari yang rata-rata 250- 300 ribu setiap bulannya, malah menjadi hampir 500 ribu dalam sebulan.

Prosedural komplain seperti biasa, hanya mencatat nomer ID pelanggan, alamat dan nomer kontak yang bisa dihubungi. Setelahnya, hanya menjadi dokumen administrasi belaka- seperti halnya bila melakukan laporan kehilangan atau tindak pidana ke pihak kepolisian- yang pada akhirnya tanpa solusi, tanpa penyelesaian yang memuaskan. Sehingga, lagi-lagi masyarakat yang dirugikan, dan mau tidak mau tetap harus membayar.

Kali itu, penulis memaklumkannya dengan terpaksa, ya sudahlah. Namun selang 2 bulan kemudian peristiwa itu berulang lagi dengan lonjakan yang jauh lebih besar. Tagihan listriknya sampai 700 ribu lebih. Padahal bulan sebelumnya hanya sekitar 120 ribu saja.

Setengah jengkel, akhirnya penulis menelpon call center PLN untuk mengkonfirmasikan tagihan itu.  Dengan sedikit –banyak- meledak-ledak, penulis meminta penjelasan yang bisa memuaskan keingintahuan dan penjelasan logis soal tagihan listrik yang tidak masuk akal itu.

Beruntung petugas Call Center itu -namanya Rahma- sabar dan mau mendengarkan uneg-uneg dari penulis. Namun yang membuat penulis makin emosi adalah pernyataannya bahwa tagihan yang besar itu adalah akumulasi dari kekeliruan tagihan listrik di bulan sebelumnya. Nahh! Maksudnya apa?

Inti pernyataannya petugas Call Center itu adalah, tagihan yang mendadak besar sampai 700 ribu, adalah karena adanya kekeliruan pencatatan besarnya daya yang dipakai pada bulan-bulan sebelumnya! Lantas apa kerjanya petugas pencatat meteran kalau begitu? Mengira-ngira pemakaian listrik? Memberikan laporan pemakaian secara fiktif dan asal-asalan, hanya agar dianggap tetap bekerja sebagaimana mesktinya? Lagi-lagi ini soal kinerja!

Dari penjelasan petugas tersebut, penulis mengangggap bahwa tidak ada kontrol dari PLN sendiri kepada petugas pencatatan meteran. Akan halnya metode perhitungan pemakaian daya liatrik, apakah secara otomatis sudah ada sistem yang memberikan infornasi langsung kepada PLN mengenai pemakaiannya, atau berdasarkan data manual yang diberikan oleh petugas pencatat meteran yang mendatangi tiap-tiap rumah, sampai saat ini masih belum jelas. Hanya saja dari pernyataan petugas  call center itu, penulis mendapatkan asumsi bahwa besarnya pemakaian listrik tiap bulan adalah berdasarkan data manual yang diberikan oleh petugas pencatat meteran. Itu.

Ini lagi-lagi soal kinerja. Sepanjang setahun mendiami rumah dinas –yang tagihannya sampai 700 ribu itu, penulis baru satu kali melihat petugas pencatatan meteran listrik datang ke rumah. Itu pun setelah sebelumnya penulis melayangkan komplain terkait tagihan listrik yang membengkak beberapa bulan sebelumnya. Bila tidak ada komplain, mungkin petugas itu tidak akan pernah datang melaksanakan tugasnya.

Atas hal itu akhirnya penulis berpikir sepertinya petugas pencatatan meteran hanya datang dalam tempo tertentu saja, tidak setiap bulan. Meski pelaporan mereka kepada PLN dilakukan setiap bulan, namun secara faktual hanya mendatangi rumah pelanggan semaunya saja. Bisa 3 bulan sekali, bisa 4 bulan sekali. Lantas dari mana data yang dilaporkan kepada PLN? Bisa jadi itu hanya terkaan saja, itung-itungan kasar saja. Bagaimana bisa penulis beranggapan seperti itu? Berikut ilustrasinya.

Bila petugas pencatat meter datang pada akhir Desember, dan mendapati posisi meter katakanlah 100000. Lalu karena dia malas - karena dia hanya outsourcing, yang tidak akan terkena sanksi langsung dari PLN bila lalai menjalankan tugasnya mencatat meteran pelanggan-, dia baru datang mencatat meteran lagi pada akhir bulan Maret (3 bulan setelahnya) dan mendapati meteran listrik pada posisi 126000.

Karena petugas pencatat meteran itu sebelumnya sudah mengetahui bahwa rata-rata pemakaian listrik di suatu rumah berdasarkan tagihan bulan September, Oktober, November adalah sekitar 150 KWH setiap bulannya, maka dengan asumsi itu dia menyamakan pemakaian pada bulan Januari, Februari sekitar kurang lebih 150 KWH juga, dengan berbagai variasi tentunya. Bila kemudian di akhir bulan Maret ternyata pemakaiannya lebih daripada akumulasi bulan Januari- Februari, maka dia akan seenaknya memberikan "revisi" terhadap pemakaian itu, dan membebankannya di bulan Maret –sebagai tagihan bulan Maret.

Misalnya pemakaian listrik bulan Januari dilaporkan 150 KWh padahal ternyata pemakaiannya 175 KWh, dan pada bulan Februari dilaporkan 145 KWh, padahal pemakaiannya adalah 185 KWh, maka saat petugas itu datang kembali dan mendapati bahwa pemakaian dari Januari sampai dengan Maret melebihi estimasinya, maka pemakaian listrik bulan Maret akan "dipaksakan" direvisi dengan menambahkan selisih dari pemakaian riil dengan pemakaian di bulan Januari dan Februari yang telah dilaporkan. Sehingga bila pemakaian listrik di bulan Maret adalah 160 KWh, maka akan ditambah dengan 25 KWh (selisih pemakaian bulan Januari) dan 40 kwh (selisih pemakaian bulan Februari). Dengan demikian dianggapnya (baik oleh PLN maupun petugas pencatat meteran itu) tagihan untuk bulan Maret adalah atas pemakain 225 KWH, bukannya 160 KWh. Kurang ajar bukan?

Hal semacam ini sepertinya lumrah terjadi dan dibiarkan. Terlepas dari apakah petugas yang melakukan pencatatan adalah orang PLN sendiri atau di-outsourcing-kan kepada pihak lain, semestinya terap ada kontrol demi menjaga profesionalisme kinerja dan kepercayaan dari pelanggan. Karena meskipun secara nominal, pelanggan tidak dirugikan dan PLN tidak “mencuri-curi” tagihan, namun secara waktu, pelanggan dirugikan karena harus membayar sekaligus tagihan yang seharusnya sudah tuntas di bulan-bulan sebelumnya.

Bila harga 1 KwH listrik adalah 1.000 rupiah, bayangkan bila di bulan Januari kita di'ninabobokan' dengan tagihan yang hanya Rp. 150.000, dan di bulan Februari tagihannya adalah Rp. 145.000, tiba-tiba di bulan Maret harus membayar Rp. 225.000, maka akan terasa beratnya dan pasti secara spontan kita sebagai pelanggan akan mengajukan protes sebab selama ini hanya membayar di kisaran 150 ribu saja, terlebih pemakaian listrik dari bulan ke bulan relatif sama.

Hal-hal semacam: "mohon maaf atas ketidaknyamanannya" atau "akan kami laporkan/teruskan komplain ini" sebenarnya hanya bahasa halus dari "Itu sih derita lu!" atau "terserah lu deh mau ikut aturan gue ato nggak". Karena pelaporan, komplain yang "gk salah-salah banget" paling banter berakhir di nomor pelaporan, atau setidaknya di statistik komplain pelanggan yang tertempel indah di dinding kantor PLN.

Lantas kalo seperti ini sampai seterusnya, apa kabar perbaikan pelayanan publik? Apa kabar pola pikir kinerja? Apa kabar profesionalisme?

Upss, barusan mati listrik..


Sent from my iPhone

Comments

Popular posts from this blog

Kota Bandung dan Kota Malang

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc