Quo Vadis: Sengketa Pemilihan Kepala Daerah


Tak berlebihan rasanya bila dikatakan konfigurasi politik yang carut-marut di negeri ini sedikit banyak mempengaruhi sistem dan instrumen hukum yang –sayangnya memang – terbentuk dari itu. Undang-undang- dalam arti umum maupun khusus-, telah bergeser fungsinya dari sebuah instrumen regulator yang mengatur dan menjamin kepentingan hukum masyarakat umum, menjadi instrumen regulator yang mengatur, menjamin bahkan melanggengkan kepentingan sekelompok, beberapa kelompok bahkan beberapa individu saja.

Lahirnya Mahkamah Konsitusi sebagai institusi Yudikatif untuk melengkapi keberadaan Mahkamah Agung pasca perubahan terhadap Undang-undang Dasar 1945, diyakini  merupakan langkah positif untuk memperbaiki dan dan mengontrol bergeserknya fungsi dan peranan Undang-undang berikut norma-norma hukum yang ada di dalamnya, agar semata hanya berjiwa dan berfungsi sebagai instrumen hukum semata, bukan lagi sebagai instrumen pelanggeng dan penjamin kepentingan beberapa kelompok orang saja. Adanya Mahkamah Konstusi sebagai peradilan norma hukum (court of law), juga melengkapi keberadaan Mahkamah Agung sebagai peradilan keadilan (court of justice)[2], sehingga kontrol yang dilakukan tak hanya kepada pelanggaran atas hukum oleh masyarakat, tapi juga potensi ketidaksesuaian aturan hukum yang berlaku dengan norma di dalam masyarakat, yang terepresentasikan dalam Undang-undang Dasar 1945 setelah perubahan.

Pemilu, Pilkada dan Pemilukada
Pemilihan umum merupakan istilah yang secara tekstual jelas dan tegas dimuat dalam Undang-undang Dasar 1945 setelah perubahan (ketiga), yakni sebagaimana tercantum dalam Pasal  22E yang berbunyi:
(1).  Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
(2).  Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dari ketentuan tersebut, jelas bahwa secara limitatif Pemilihan Umum adalah nomenklatur yang ditujukan dan diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan DPRD (Kota/Kabupaten dan Provinsi), tidak ada frase terkait pemilihan kepala daerah disana. Lantas dimana posisi Pilkada atau Pemilukada yang sebenarnya?

Dalam diskusi di sebuah Grup Diskusi Hakim di Media Sosial, penulis sempat memberikan celetukan soal kewenangan Mahkamah Konstitusi mengadili sengketa Pilkada atau Pemilukada, mengapa Mahkamah Konstitusi tidak juga sekalian berwenang mengadili sengketa Pilkades, toh itu sama-sama dalam ranah pemilihan. Dan celetukan itu mendapatkan respon serius dari seorang anggota grup –yang sepertinya bukan berprofesi Hakim- itu, katanya: “karena konstitusi tidak mengamanatkan Mahkamah Konstitusi untuk berwenang mengadili sengketa pilkades[3]”, lantas kembali penulis menjawab pernyataan itu: “bagian mana dan pasal mana dari Konstitusi –yang penulis artikan UUD 1945 setelah perubahan- yang menyatakan bahwa sengketa Pilkada atau Pemilukada menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi?”, sementara jelas kewenangan Mahkamah Konsitusi berdasarkan pasal 24C Undang-undang Dasar 1945 setelah perubahan, -sebagaimana jelas juga batasan pemilihan umum berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 setelah perubahan- hanyalah meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, Presiden & Wakil Presiden serta DPRD?
Inilah sebenarnya bukti terlalu jauhnya campur tangan konfigurasi politik dalam tatanan hukum sebagaimana dimaksudkan di awal tulisan ini. Dari pemikiran antah-berantah pembentuk Undang-undang, maka ditafsirkanlah tekstual Pasal 24C Undang-undang Dasar 1945 setelah perubahan itu, menjadi mencakup pula pemilihan kepala daerah[4]. Padahal jelas Undang-undang Dasar 1945 setelah perubahan, tidak sedikitpun menyatakan bahwa Pemilihan Kepala Daerah adalah anasir dari Pemilihan Umum. Terlebih hal ini bertentangan dengan asas lex superiori, derogate legi inferiori, bagaimana bisa Undang-undang menentukan lain daripada Undang-undang Dasar 1945[5]? Bukankah itu inkonstitusional? Dan syukurlah ada pihak yang –sadar dan- mengajukan uji konstitusi terkait hal itu, dan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Terlepas dari kekeliruan selama ini terkait hal ikhwal sengketa pemilihan kepala daerah yang cenderung dibiarkan oleh pihak yang berkepentingan[6], putusan Mahkamah Konstitusi Nomor  97/PUU/XII/2013[7], setidaknya telah menjadi indikator bahwa sengketa Pemilihan Kepala Darah bukanlah sengketa pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C Undang-undang Dasar 1945 setelah perubahan, dan Mahkamah Konstitusi kembali ke jalan yang benar, menjadi peradilan norma hukum (court of law), bukan lagi peradilan keadilan (court of justice). Terlebih kejadian penangkapan Ketua MK yang sedikit banyak menguatkan persepsi untuk mengembalikan MK kepada “khittah”nya sebagai peradilan konstitusi.

Setelah pemikiran itu terealisasi, lantas hendak dikemanakan sengketa pemilihan kepala daerah?

Akankah diperiksa lagi oleh Mahkamah Agung?
Para ahli hukum, akademisi, praktisi, kalangan profesional, legislator, media serta segala komponen masyarakat banyak yang turut sumbang saran –sekalipun kadang tak logis dan tak beralasan- agar terhadap sengketa pemilihan kepala daerah diperiksa oleh lembaga peradilan tersendiri atau dikembalikan ke Mahkamah Agung. Tentua kedua saran tersebut memiliki konsekuensi dan efek masing-masing, yang mau tak mau harus dipikirkan dan dibuat solusi hukum maupun solusi faktualnya.

Kendati dilepaskannya kewenangan mengadili sengketa oleh Mahkamah Konstitusi itu berlaku secara constituendum (terhadap sengketa yang akan datang) dan tetap memerlukan dasar hukum baru dari pembentuk undang-undang, namun telah muncul resistensi dari berbagai kalangan andaikata sengketa pemilihan kepala daerah ini diberikan kepada Mahkamah Agung atau badan peradilan di bawahnya. Hal mana yang di pihak lain juga seimbang dan - secara de jure - logis dengan akseptasi dari beberapa kalangan atas pengalihan kembali wewenang ke Mahkamah Agung tersebut[8].

Sebagai lembaga pengadil administrasi negara atas tindakan (penerbitan keputusan tata usaha negara) pejabat publik, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara digadang-gadang akan diberikan peranan dalam menyelesaikan sengketa pilkada, andaikata pembuat undang-undang mau melaksanakan putusan MK tersebut. Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra misalnya menyarankan agar sengketa pemilihan kepala daerah ini ditangani dan menjadi kewenangan dari Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dengan beberapa alasan serta penyesuaian dalam hukum acara.

Tentunya persoalan pengalihan kewenangan ini, tak sederhana. Berbagai instrumen hukum baru, atau setidaknya penafsiran baru terhadap instrumen hukum yang lama harus secara formal tersusun, guna mencegah munculnya persoalan hukum baru dan inkonstitusionalitas pelaksanaan kewenangan. Karena bukan lagi menjadi rahasia, tambal sulam regulasi lebih banyak menimbulkan persoalan hukum baru dibandingkan dengan solusi atas keterdesakan keberadaan regulasi.

Ius contituendum
Apa yang dimaksudkan adalah, pemegang kewenangan dan pembentuk undang-undang, seyogyanya sudah mulai secara serius dan sungguh-sungguh merumuskan regulasi yang berkesinambungan terkait sengketa pilkada itu. Tak hanya regulasi yang bersifat spontanitas dan reaktif, melainkan regulasi yang solutif, visioner dan sistematis dengan regulasi yang telah ada.

Yang perlu dirumuskan secara tegas diantaranya mengenai batasan pemilihan kepala daerah, bahwa itu secara konstitusional bukanlah merupakan bagian dari pemilihan umum. Serta penggolongan dan penetapan jenis sengketa Pilkada, apakah merupakan sengketa adminstrasi ataukah sengketa dalam ranah kompetisi? Hal ini akan terkait dengan institusi yang berwenang untuk mengadilinya, serta jenis putusan yang akan diambil oleh institusi yang berwenang memutuskannya kelak.

Dalam beberapa kesempatan[9], Hakim Agung DR. Supandi, SH,. M.Hum, pernah menyatakan bahwa lebih baik persoalan (sengketa) di ranah politik (pemilihan umum atau pilkada) diselesaikan melalui badan arbitrasi (perwasitan), karena sejatinya pertarungan politik layaknya sebuah kompetisi/pertandingan. Hal ini dikarenakan sengketa politik berkaitan erat dengan penyelenggaraan negara yang memerlukan penyelesaian secara cepat dan tidak berjenjang, yang putusannya - sebagaimana yang telah dilakukan di Mahkamah Konstitusi selama ini-, final dan mengikat, tanpa upaya hukum lagi sehingga dapat segera dilaksanakan oleh para pihak. Upaya hukum yang berjenjang/bertingkat, menurut beliau tidak akan efektif diterapkan dalam jenis sengketa ini. Sebab hanya akan memperpanjang proses hukum, kepastian hukum serta inefektivitas penyelenggaraan pemerintahan.

Akan tetapi bila ternyata kemudian pembentuk undang-undang menghendaki agar penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah dikembalikan ke Mahkamah Agung, lebih khusus lagi kepada Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, ada beberapa norma yang memerlukan penyesuaian.

Pertama, aspek Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara. Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara secara limitatif dibatasi oleh ketentuan Pasal 47 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, jo. Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, jo. Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986. Yang dikurangi dengan Pasal 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Pasal 48 dan Pasal 49 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.

Yang perlu mendapat perhatian adalah ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, yakni: “Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini: g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum”. Sehingga bila hendak mengembalikan kewenangan mengadili sengketa pemilihan kepala daerah kepada Mahkamah Agung (in cassu Peradilan Tata Usaha Negara), selain menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah bukan merupakan bagian dari Pemilihan Umum, juga perlu dikoreksi –sebagai pelengkap- ketentuan mengenai istilah:
  • ..Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah..” Menjadi “..Komisi Pemilihan Umum di pusat..”, saja. Atau penegasan;
  • ..mengenai hasil pemilihan umum..” menjadi “..mengenai hasil pemilihan umum, kecuali hasil pemilihan kepala daerah..”
Akan tetapi sebagai alternatif, secara tekstual bisa saja ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 ini tidak diubah, melainkan penafsiran kontekstualnya saja yang ditambahkan[10], mengingat telah disepakati –dan diputuskan- bahwa pemilihan kepala daerah bukanlah termasuk rezim pemilihan umum, sehingga sengketa yang timbul karenanya tidak termasuk katagori “hasil pemilihan umum” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 huruf g Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tersebut diatas. Akan tetapi karena dalam ketentuan tersebut hanya secara parsial dilakukan penafsiran baru terhadap tekstual “pemilihan umum”, maka pemahaman terhadap keberadaan istilah “pemilihan umum” tanpa adanya perubahan tekstual dalam Undang-undangnya, tetap berpotensi menimbulkan persoalan hukum yang lain.

Kedua, Hukum Acara termasuk di dalamnya sifat putusan dan upaya hukum. Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra, yang menyarankan agar sengketa pemilihan kepala daerah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, memang logis bila didasarkan pada pertimbangan asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan.

Ditanganinya sengketa pemilihan kepala daerah oleh PTTUN, menyebabkan sengketa pemilihan kepala daerah di daerah tidak perlu lagi diselesaikan di pusat (Jakarta), sehingga akan memenuhi prasyarat biaya ringan tadi. Kendati sampai dengan saat ini, baru ada 4 Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di seluruh Indonesia, namun setidaknya pemeriksaan sengketa pemilihan kepala daerah yang dilangsungkan di PTTUN Makassar, akan lebih reasonable bila pihak yang terlibat ternyata berasal dari pelosok Provinsi Papua Barat atau pelosok Provinsi Maluku Utara, daripada harus mendatangi Jakarta. Begitupun analogi terhadap wilayah lainnya.

Pertimbangan yang lain adalah kedekatan geografis antara wilayah sengketa Pengadilan yang mengadili dimana kedudukannya tidak terlalu jauh, namun juga tidak terlalu dekat (sehingga sangat rawan konflik), akan sedikit banyak mengalirkan informasi yang lebih jelas bagi Majelis Hakim yang memeriksanya, baik mengenai kondisi faktual, di samping keadaan hukum yang tengah terjadi dalam sengketa yang tengah diperiksa tersebut. Karena terkadang, memutuskan suatu sengketa yang terjadi nun jauh disana, tanpa mengetahui kondisi psikologis-faktual masyarakat, akan mengabaikan asas keadilan dan asas kemanfaatan yang -diakui atau tidak- saat ini tengah populer dibandingkan dengan asas kepastian hukum.

Hanya, memang perlu penyesuaian Hukum Acara di tingkat Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Bila dalam sengketa tata usaha negara biasa, pemeriksaan di tingkat banding kendati bersifat judex facti, namun dilakukan terhadap berkas Bundel A yang dikirimkan oleh Pengadilan Tingkat pertama, tanpa adanya tatap muka (dihadiri) oleh para pihak yang bersengketa. Dalam pemeriksaan sengketa pemilihan kepala daerah, seyogyanya persidangan dilakukan sebagaimana pemeriksaan sengketa tata usaha negara di tingkat pertama. Melalui teknis dan tahapan jawab-jinawab, pengajuan bukti surat, keterangan ahli, saksi yang relevan sampai dengan tahap kesimpulan dan putusan. Kesemuanya dihadiri oleh para pihak yang bersengketa.

Kemudian peristilahan pihak yang bersengketa. Sepele memang, namun jangan sampai karena peristilahan sederhana ini, menimbulkan persoalan pertentangan hukum acara. Seperti misalnya dalam sengketa tata usaha negara dikenal dengan adanya gugatan, Penggugat dan Tergugat serta Tergugat II Intervensi, dan seterusnya. Akan tetapi dalam sengketa informasi publik (yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2011[11]), muncul istilah keberatan, Pemohon Informasi dan Termohon Keberatan[12]. Sekalipun Peraturan Mahkamah Agung bisa dianggap lex specialis dari hukum acara peradilan tata usaha negara (dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986), tapi bukankah kedudukan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah lex superiori dari Peraturan Mahkamah Agung? Lantas apakah itu tidak melanggar asas hukum umum?

Maka dari itu, perbaikan konten baik substansi pokok maupun peristilahan sederhana seperti gugatan ataukah permohonan dalam sengketa pemilihan kepala daerah[13], hendaknya dirumuskan secara matang dan dibuat dalam sebuah perundang-undangan yang setara dengan hukum acara peradilan tata usaha negara saat ini. Sehingga tidak akan menimbulkan pertentangan hukum saat ini ataupun masa mendatang.

Mengenai tenggang waktu pengajuan juga harus ditelaah secara mendalam, mengingat sifat dari sengketa pemilihan kepala daerah harus menyegerakan kepastian hukum. Sehingga batas waktu pendaftaran, batas waktu pemeriksaan sengketa sampai dengan putusan, serta minutasi (pemberkasan sengketa) lebih baik dibedakan sama sekali dengan sengketa tata usaha negara biasa.

Selanjutnya adalah jenis putusan dan upaya hukum. Agak berbeda dengan sengketa tata usaha negara, jenis putusan dalam sengketa pemilihan kepala daerah hendaknya langsung memiliki kekuatan hukum (inkracht), final dan mengikat. Tidak ada lagi upaya hukum yang bisa dilakukan terhadapnya. Sekilas memang terkesan dipaksakan dan menutup kemungkinan koreksi bila ada kekeliruan dalam putusan itu. Ada 2 argumen yang bisa diajukan terkait hal tersebut: 1). Sengketa pemilihan kepala daerah sebagaimana telah disampaikan dalam bagian sebelumnya, berkaitan erat dengan penyelenggaraan negara yang memerlukan penyelesaian secara cepat dan tidak bertele-tele akibat adanya upaya hukum. Hal mana yang sejalan dengan prinsip, makin lama kepastian hukum itu terbentuk, makin lama pula keadilan itu terwujud. 2). Mahkamah Konstitusi sendiri telah menjadi role model bagi adanya putusan badan peradilan yang bersifat final and binding tanpa adanya upaya hukum, lantas mengapa putusan Peradilan di Lingkungan Mahkamah Agung tidak bisa diterapkan seperti itu? Toh, dalam sengketa/kasus tertentu, penyegeraan suatu kepastian hukum adalah lebih utama daripada penyediaan upaya hukum bagi pihak yang tidak puas atas suatu putusan.

Ketiga, sebenarnya ini bukan ranah normatif sebagaimana dua hal tersebut di atas, melainkan lebih faktual, yakni berkenaan dengan ketersediaan sarana dan prasarana persidangan. Pelimpahan kewenangan mengadili tentunya diiringi dengan pengalihan beban dan tanggung jawab yang harus diserta dengan penambahan sarana dan prasarana yang selama ini telah ada.

Dengan alokasi anggaran di tahun 2014 untuk Mahkamah Agung yakni sebesar sebesar Rp 7,225 triliun dan dari anggaran tersebut yang dialokasikan kepada Badilmiltun (i.c. Ditjenmiltun) adalah sebesar Rp. 22,58 milyar[14], tinggal dikalkulasikan apakah memadai dan sebanding dengan penambahan wewenang dan beban kerja ke lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara tersebut.

Penutup
Mahkamah Agung beberapa kali telah melakukan suatu terobosan hukum, terhadap persoalan-persoalan hukum terkini, yang tidak bisa dicarikan solusinya oleh pembentuk Undang-undang (Pemerintah dan DPR), sebab tatkala norma hukum dibenturkan dengan kejadian faktual, haruslah ada jawaban dan penyelesaian terhadapnya. Adanya Peraturan Mahkamah Agung mengenai Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan atau Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan, merupakan jawaban responsif –sementara- terhadap kaidah dan norma hukum yang senantiasa tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.

Namun patut juga diresapi, bahwa 3 asas hukum umum, yakni lex superiori derogat legi inferiori, lex specialis derogat legi generali, lex posteriori derogat legi generali, harus senantiasa ditegakkan demi terwujudnya supremasi hukum yang utuh. Dan Peraturan Mahkamah Agung, terkadang tidak lagi cukup merepresentasikan serta menjawab persoalan hukum yang berpotensi terjadi di masa-masa yang akan datang. Sehingga kelak, siapapun dan lembaga apa pun yang diberikan kewenangan untuk memeriksa dan mengadili sengketa pemilihan kepala daerah, betul-betul secara profesional dan imparsial menjalankan kewenangannya, karena memang segala aspek yang mendukungnya – formil, materiil, fisik, psikis, lahir, batin - telah benar-benar dipersiapkan serta dirancang dengan baik dan benar.

Tinggal menunggu political will pihak yang berwenang saja. Apakah benar-benar menjadikan –kejelasan dan kelengkapan- hukum sebagai panglima, ataukah –lagi-lagi- hanya slogan kosong belaka.

Jambi, 9-10 Juni 2014



[1] Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi
[2] Sebagaimana diungkapkan Hakim PTUN Jakarta: Teguh Satya Bhakti, SH., MH. dalam: http://www.republika.co.id/berita/koran/kesra/14/05/26/n60t2314-ptun-siap-tangani-sengketa-pilkada
[3] Hal ini selanjutnya juga ternyata dibahas dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013, karena logika bahwa Pemilihan Kepala Daerah termasuk ke dalam rezim Pemilihan Umum, terbantahkan tatkala Pemilihan Kepala Desa yang merupakan representasi dari pemilihan umum (sehingga termasuk rezim pemilihan umum) pun, tidak (di)jadi(kan) kewenangan dari Mahkamah Konstitusi.
[4] Istilah ini pun ternyata mengalami pergeseran dari Pemilihan Kepala Daerah (dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004), menjadi Pemilihan Umum Kepala Daerah (dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007), demi mengidentifikasi serta mengadopsi istilah Pemilihan Umum dalam Undang-undang Dasar 1945 setelah perubahan, sehingga pada akhirnya muncul anggapan yang menyatakan bahwa Pemilihan Umum dan Pemilihan Umum Kepala Daerah –sebagai istilah pengganti dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)- adalah dua hal dalam lingkup (rezim) yang sama.

[5] Bandingkan ketentuan Pasal 236 C Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menjadi pokok uji konstitusional dalam Perkara Nomor 97/PUU-XI/2013, dengan Pasal 22 E Undang-undang Dasar 1945 setelah perubahan. Atau penjelasan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, yang selanjutnya ditujukan kepada Mahkamah Konstitusi, hal mana yang bisa dikatakan merupakan penambahan/addendum kewenangan dari Pasal 24C ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 setelah perubahan.

[6] Karena ini persoalan hukum, tentu yang bisa mempersoalkan (in cassu mengajukan uji konstitusional) adalah pihak yang berkepentingan terhadapnya. Sejalan dengan asas hukum poin d’interet poin d’action.

[7] Pemohon: Victor Santoso Tandiasa, dkk mempersoalkan frase Pasal 263 C Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009. Dan Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa unsur pokok dari pemilihan umum adalah: i) dilaksanakan secara LUBER dan Jurdil setiap 5 tahun sekali; ii) untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta anggota DPRD; iii). Pesertanya adalah partai politik dan/atau perseorangan; iv). Diselenggarakan oleh KPU yang bersifat nasional. Tinggal dinilai saja, apakah Pemilukada memenuhi ke empat unsur tersebut, atau sebaliknya.

[9] Perbincangan dan diskusi non-formal pada saat beliau berkunjung ke tempat penulis bertugas.

[10] Di dalam Penjelasan Undang-undang tersebut.

[11] Meskipun hal ini diatur pula dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, akan tetapi pengaturan khusus mengenai Hukum Acara Pemeriksaan Sengketa Informasi lebih rigid terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung tersebut. Lihat istilah “Gugatan” dalam Pasal 47 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008, dan bandingkan dengan istilah “Pemohon Informasi Publik” dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008.

[12] Lihat ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 6 dan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2011.

[13] Bandingkan dengan istilah di Mahkamah Konstitusi selama ini untuk sengketa pemilihan Kepala Daerah yakni: Permohonan, Pemohon dan Pihak Terkait. Lebih jelasnya dalam: Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,  hlm. 31.

Comments

Popular posts from this blog

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc

Kota Bandung dan Kota Malang