Quo Vadis: Sengketa Pemilihan Kepala Daerah
Tak berlebihan rasanya bila dikatakan konfigurasi
politik yang carut-marut di negeri ini sedikit banyak mempengaruhi sistem dan instrumen
hukum yang –sayangnya memang – terbentuk dari itu. Undang-undang- dalam arti
umum maupun khusus-, telah bergeser fungsinya dari sebuah instrumen regulator
yang mengatur dan menjamin kepentingan hukum masyarakat umum, menjadi instrumen
regulator yang mengatur, menjamin bahkan melanggengkan kepentingan sekelompok,
beberapa kelompok bahkan beberapa individu saja.
Lahirnya Mahkamah Konsitusi sebagai institusi Yudikatif
untuk melengkapi keberadaan Mahkamah Agung pasca perubahan terhadap
Undang-undang Dasar 1945, diyakini
merupakan langkah positif untuk memperbaiki dan dan mengontrol
bergeserknya fungsi dan peranan Undang-undang berikut norma-norma hukum yang
ada di dalamnya, agar semata hanya berjiwa dan berfungsi sebagai instrumen
hukum semata, bukan lagi sebagai instrumen pelanggeng dan penjamin kepentingan
beberapa kelompok orang saja. Adanya Mahkamah Konstusi sebagai peradilan norma
hukum (court of law), juga melengkapi keberadaan Mahkamah Agung sebagai
peradilan keadilan (court of justice)[2],
sehingga kontrol yang dilakukan tak hanya kepada pelanggaran atas hukum oleh
masyarakat, tapi juga potensi ketidaksesuaian aturan hukum yang berlaku dengan
norma di dalam masyarakat, yang terepresentasikan dalam Undang-undang Dasar
1945 setelah perubahan.
Pemilu, Pilkada dan
Pemilukada
Pemilihan umum merupakan istilah yang secara tekstual
jelas dan tegas dimuat dalam Undang-undang Dasar 1945 setelah perubahan
(ketiga), yakni sebagaimana tercantum dalam Pasal 22E yang berbunyi:
(1). Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
(2). Pemilihan umum
diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dari ketentuan tersebut, jelas bahwa secara limitatif
Pemilihan Umum adalah nomenklatur yang ditujukan dan diselenggarakan untuk
memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan DPRD (Kota/Kabupaten dan Provinsi),
tidak ada frase terkait pemilihan kepala daerah disana. Lantas dimana posisi
Pilkada atau Pemilukada yang sebenarnya?
Dalam diskusi di sebuah Grup Diskusi Hakim di Media
Sosial, penulis sempat memberikan celetukan soal kewenangan Mahkamah Konstitusi
mengadili sengketa Pilkada atau Pemilukada, mengapa Mahkamah Konstitusi tidak
juga sekalian berwenang mengadili sengketa Pilkades, toh itu sama-sama dalam
ranah pemilihan. Dan celetukan itu mendapatkan respon serius dari seorang
anggota grup –yang sepertinya bukan berprofesi Hakim- itu, katanya: “karena konstitusi tidak mengamanatkan
Mahkamah Konstitusi untuk berwenang mengadili sengketa pilkades[3]”, lantas kembali penulis
menjawab pernyataan itu: “bagian mana dan
pasal mana dari Konstitusi –yang penulis artikan UUD 1945 setelah perubahan-
yang menyatakan bahwa sengketa Pilkada atau Pemilukada menjadi kewenangan
Mahkamah Konstitusi?”, sementara jelas kewenangan Mahkamah Konsitusi
berdasarkan pasal 24C Undang-undang Dasar 1945 setelah perubahan, -sebagaimana
jelas juga batasan pemilihan umum berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 setelah
perubahan- hanyalah meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, Presiden & Wakil
Presiden serta DPRD?
Inilah sebenarnya bukti terlalu jauhnya campur tangan
konfigurasi politik dalam tatanan hukum sebagaimana dimaksudkan di awal tulisan
ini. Dari pemikiran antah-berantah pembentuk Undang-undang, maka ditafsirkanlah
tekstual Pasal 24C Undang-undang Dasar 1945 setelah perubahan itu, menjadi
mencakup pula pemilihan kepala daerah[4].
Padahal jelas Undang-undang Dasar 1945 setelah perubahan, tidak sedikitpun
menyatakan bahwa Pemilihan Kepala Daerah adalah anasir dari Pemilihan Umum. Terlebih
hal ini bertentangan dengan asas lex
superiori, derogate legi inferiori, bagaimana bisa Undang-undang menentukan
lain daripada Undang-undang Dasar 1945[5]?
Bukankah itu inkonstitusional? Dan syukurlah ada pihak yang –sadar dan-
mengajukan uji konstitusi terkait hal itu, dan dikabulkan oleh Mahkamah
Konstitusi.
Terlepas dari kekeliruan selama ini terkait hal ikhwal
sengketa pemilihan kepala daerah yang cenderung dibiarkan oleh pihak yang
berkepentingan[6], putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 97/PUU/XII/2013[7], setidaknya telah menjadi
indikator bahwa sengketa Pemilihan Kepala Darah bukanlah sengketa pemilihan
umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C Undang-undang Dasar 1945 setelah
perubahan, dan Mahkamah Konstitusi kembali ke jalan yang benar, menjadi
peradilan norma hukum (court of law),
bukan lagi peradilan keadilan (court of
justice). Terlebih kejadian penangkapan Ketua MK yang sedikit banyak
menguatkan persepsi untuk mengembalikan MK kepada “khittah”nya sebagai
peradilan konstitusi.
Setelah pemikiran itu terealisasi, lantas hendak
dikemanakan sengketa pemilihan kepala daerah?
Akankah diperiksa lagi
oleh Mahkamah Agung?
Para ahli hukum, akademisi, praktisi, kalangan profesional,
legislator, media serta segala komponen masyarakat banyak yang turut sumbang
saran –sekalipun kadang tak logis dan tak beralasan- agar terhadap sengketa
pemilihan kepala daerah diperiksa oleh lembaga peradilan tersendiri atau
dikembalikan ke Mahkamah Agung. Tentua kedua saran tersebut memiliki
konsekuensi dan efek masing-masing, yang mau tak mau harus dipikirkan dan
dibuat solusi hukum maupun solusi faktualnya.
Kendati dilepaskannya kewenangan mengadili sengketa oleh
Mahkamah Konstitusi itu berlaku secara constituendum (terhadap sengketa yang
akan datang) dan tetap memerlukan dasar hukum baru dari pembentuk
undang-undang, namun telah muncul resistensi dari berbagai kalangan andaikata
sengketa pemilihan kepala daerah ini diberikan kepada Mahkamah Agung atau badan
peradilan di bawahnya. Hal mana yang di pihak lain juga seimbang dan - secara de jure - logis dengan akseptasi dari
beberapa kalangan atas pengalihan kembali wewenang ke Mahkamah Agung tersebut[8].
Sebagai lembaga pengadil administrasi negara atas
tindakan (penerbitan keputusan tata usaha negara) pejabat publik, lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara digadang-gadang akan diberikan peranan dalam
menyelesaikan sengketa pilkada, andaikata pembuat undang-undang mau
melaksanakan putusan MK tersebut. Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra
misalnya menyarankan agar sengketa pemilihan kepala daerah ini ditangani dan
menjadi kewenangan dari Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dengan beberapa
alasan serta penyesuaian dalam hukum acara.
Tentunya persoalan pengalihan kewenangan ini, tak sederhana.
Berbagai instrumen hukum baru, atau setidaknya penafsiran baru terhadap
instrumen hukum yang lama harus secara formal tersusun, guna mencegah munculnya
persoalan hukum baru dan inkonstitusionalitas pelaksanaan kewenangan. Karena
bukan lagi menjadi rahasia, tambal sulam regulasi lebih banyak menimbulkan
persoalan hukum baru dibandingkan dengan solusi atas keterdesakan keberadaan
regulasi.
Ius contituendum
Apa yang dimaksudkan adalah, pemegang kewenangan dan
pembentuk undang-undang, seyogyanya sudah mulai secara serius dan sungguh-sungguh
merumuskan regulasi yang berkesinambungan terkait sengketa pilkada itu. Tak
hanya regulasi yang bersifat spontanitas dan reaktif, melainkan regulasi yang
solutif, visioner dan sistematis dengan regulasi yang telah ada.
Yang perlu dirumuskan secara tegas diantaranya mengenai
batasan pemilihan kepala daerah, bahwa itu secara konstitusional bukanlah merupakan
bagian dari pemilihan umum. Serta penggolongan dan penetapan jenis sengketa
Pilkada, apakah merupakan sengketa adminstrasi ataukah sengketa dalam ranah kompetisi?
Hal ini akan terkait dengan institusi yang berwenang untuk mengadilinya, serta jenis
putusan yang akan diambil oleh institusi yang berwenang memutuskannya kelak.
Dalam beberapa kesempatan[9],
Hakim Agung DR. Supandi, SH,. M.Hum, pernah menyatakan bahwa lebih baik
persoalan (sengketa) di ranah politik (pemilihan umum atau pilkada)
diselesaikan melalui badan arbitrasi (perwasitan), karena sejatinya pertarungan
politik layaknya sebuah kompetisi/pertandingan. Hal ini dikarenakan sengketa
politik berkaitan erat dengan penyelenggaraan negara yang memerlukan
penyelesaian secara cepat dan tidak berjenjang, yang putusannya - sebagaimana
yang telah dilakukan di Mahkamah Konstitusi selama ini-, final dan mengikat,
tanpa upaya hukum lagi sehingga dapat segera dilaksanakan oleh para pihak.
Upaya hukum yang berjenjang/bertingkat, menurut beliau tidak akan efektif
diterapkan dalam jenis sengketa ini. Sebab hanya akan memperpanjang proses
hukum, kepastian hukum serta inefektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Akan tetapi bila ternyata kemudian pembentuk
undang-undang menghendaki agar penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah
dikembalikan ke Mahkamah Agung, lebih khusus lagi kepada Lingkungan Peradilan
Tata Usaha Negara, ada beberapa norma yang memerlukan penyesuaian.
Pertama, aspek Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara. Kewenangan
Peradilan Tata Usaha Negara secara limitatif dibatasi oleh ketentuan Pasal 47
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, jo.
Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 1 angka 9
Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, jo.
Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986. Yang dikurangi dengan Pasal 2
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 jo.
Pasal 48 dan Pasal 49 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
Yang perlu mendapat perhatian adalah ketentuan Pasal 2
huruf g Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, yakni: “Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut
Undang-Undang ini: g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di
daerah mengenai hasil pemilihan umum”. Sehingga bila hendak mengembalikan
kewenangan mengadili sengketa pemilihan kepala daerah kepada Mahkamah Agung (in cassu Peradilan Tata Usaha Negara),
selain menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah bukan merupakan bagian dari
Pemilihan Umum, juga perlu dikoreksi –sebagai pelengkap- ketentuan mengenai
istilah:
- ..Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah..” Menjadi “..Komisi Pemilihan Umum di pusat..”, saja. Atau penegasan;
- ..mengenai hasil pemilihan umum..” menjadi “..mengenai hasil pemilihan umum, kecuali hasil pemilihan kepala daerah..”
Akan tetapi sebagai alternatif, secara tekstual bisa
saja ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 ini tidak
diubah, melainkan penafsiran kontekstualnya saja yang ditambahkan[10], mengingat telah disepakati
–dan diputuskan- bahwa pemilihan kepala daerah bukanlah termasuk rezim
pemilihan umum, sehingga sengketa yang timbul karenanya tidak termasuk katagori
“hasil pemilihan umum” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 huruf g
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tersebut diatas. Akan tetapi karena dalam
ketentuan tersebut hanya secara parsial dilakukan penafsiran baru terhadap
tekstual “pemilihan umum”, maka pemahaman terhadap keberadaan istilah
“pemilihan umum” tanpa adanya perubahan tekstual dalam Undang-undangnya, tetap berpotensi
menimbulkan persoalan hukum yang lain.
Kedua, Hukum Acara termasuk di dalamnya sifat putusan dan
upaya hukum. Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra, yang menyarankan
agar sengketa pemilihan kepala daerah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara, memang logis bila didasarkan pada pertimbangan asas
peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan.
Ditanganinya sengketa pemilihan kepala daerah oleh
PTTUN, menyebabkan sengketa pemilihan kepala daerah di daerah tidak perlu lagi
diselesaikan di pusat (Jakarta), sehingga akan memenuhi prasyarat biaya ringan
tadi. Kendati sampai dengan saat ini, baru ada 4 Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara di seluruh Indonesia, namun setidaknya pemeriksaan sengketa pemilihan
kepala daerah yang dilangsungkan di PTTUN Makassar, akan lebih reasonable bila
pihak yang terlibat ternyata berasal dari pelosok Provinsi Papua Barat atau
pelosok Provinsi Maluku Utara, daripada harus mendatangi Jakarta. Begitupun
analogi terhadap wilayah lainnya.
Pertimbangan yang lain adalah kedekatan geografis antara
wilayah sengketa Pengadilan yang mengadili dimana kedudukannya tidak terlalu
jauh, namun juga tidak terlalu dekat (sehingga sangat rawan konflik), akan
sedikit banyak mengalirkan informasi yang lebih jelas bagi Majelis Hakim yang
memeriksanya, baik mengenai kondisi faktual, di samping keadaan hukum yang
tengah terjadi dalam sengketa yang tengah diperiksa tersebut. Karena terkadang,
memutuskan suatu sengketa yang terjadi nun jauh disana, tanpa mengetahui
kondisi psikologis-faktual masyarakat, akan mengabaikan asas keadilan dan asas
kemanfaatan yang -diakui atau tidak- saat ini tengah populer dibandingkan
dengan asas kepastian hukum.
Hanya, memang perlu penyesuaian Hukum Acara di tingkat
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Bila dalam sengketa tata usaha negara
biasa, pemeriksaan di tingkat banding kendati bersifat judex facti, namun dilakukan terhadap berkas Bundel A yang
dikirimkan oleh Pengadilan Tingkat pertama, tanpa adanya tatap muka (dihadiri)
oleh para pihak yang bersengketa. Dalam pemeriksaan sengketa pemilihan kepala
daerah, seyogyanya persidangan dilakukan sebagaimana pemeriksaan sengketa tata
usaha negara di tingkat pertama. Melalui teknis dan tahapan jawab-jinawab,
pengajuan bukti surat, keterangan ahli, saksi yang relevan sampai dengan tahap
kesimpulan dan putusan. Kesemuanya dihadiri oleh para pihak yang bersengketa.
Kemudian peristilahan pihak yang bersengketa. Sepele
memang, namun jangan sampai karena peristilahan sederhana ini, menimbulkan
persoalan pertentangan hukum acara. Seperti misalnya dalam sengketa tata usaha
negara dikenal dengan adanya gugatan, Penggugat dan Tergugat serta Tergugat II
Intervensi, dan seterusnya. Akan tetapi dalam sengketa informasi publik (yang
diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2011[11]),
muncul istilah keberatan, Pemohon Informasi dan Termohon Keberatan[12]. Sekalipun Peraturan
Mahkamah Agung bisa dianggap lex
specialis dari hukum acara peradilan tata usaha negara (dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986), tapi bukankah kedudukan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
adalah lex superiori dari Peraturan
Mahkamah Agung? Lantas apakah itu tidak melanggar asas hukum umum?
Maka dari itu, perbaikan konten baik substansi pokok
maupun peristilahan sederhana seperti gugatan ataukah permohonan dalam sengketa
pemilihan kepala daerah[13], hendaknya dirumuskan
secara matang dan dibuat dalam sebuah perundang-undangan yang setara dengan
hukum acara peradilan tata usaha negara saat ini. Sehingga tidak akan
menimbulkan pertentangan hukum saat ini ataupun masa mendatang.
Mengenai tenggang waktu pengajuan juga harus ditelaah
secara mendalam, mengingat sifat dari sengketa pemilihan kepala daerah harus
menyegerakan kepastian hukum. Sehingga batas waktu pendaftaran, batas waktu
pemeriksaan sengketa sampai dengan putusan, serta minutasi (pemberkasan
sengketa) lebih baik dibedakan sama sekali dengan sengketa tata usaha negara
biasa.
Selanjutnya adalah jenis putusan dan upaya hukum. Agak
berbeda dengan sengketa tata usaha negara, jenis putusan dalam sengketa
pemilihan kepala daerah hendaknya langsung memiliki kekuatan hukum (inkracht), final dan mengikat. Tidak ada lagi upaya hukum yang bisa dilakukan
terhadapnya. Sekilas memang terkesan dipaksakan dan menutup kemungkinan koreksi
bila ada kekeliruan dalam putusan itu. Ada 2 argumen yang bisa diajukan terkait
hal tersebut: 1). Sengketa pemilihan kepala daerah sebagaimana telah disampaikan
dalam bagian sebelumnya, berkaitan erat dengan penyelenggaraan negara yang
memerlukan penyelesaian secara cepat dan tidak bertele-tele akibat adanya upaya
hukum. Hal mana yang sejalan dengan prinsip, makin lama kepastian hukum itu
terbentuk, makin lama pula keadilan itu terwujud. 2). Mahkamah Konstitusi
sendiri telah menjadi role model bagi
adanya putusan badan peradilan yang bersifat final and binding tanpa
adanya upaya hukum, lantas mengapa putusan Peradilan di Lingkungan Mahkamah
Agung tidak bisa diterapkan seperti itu? Toh,
dalam sengketa/kasus tertentu, penyegeraan suatu kepastian hukum adalah lebih
utama daripada penyediaan upaya hukum bagi pihak yang tidak puas atas suatu
putusan.
Ketiga, sebenarnya ini bukan ranah normatif sebagaimana dua
hal tersebut di atas, melainkan lebih faktual, yakni berkenaan dengan ketersediaan
sarana dan prasarana persidangan. Pelimpahan kewenangan mengadili tentunya
diiringi dengan pengalihan beban dan tanggung jawab yang harus diserta dengan
penambahan sarana dan prasarana yang selama ini telah ada.
Dengan alokasi anggaran di tahun 2014 untuk Mahkamah
Agung yakni sebesar sebesar Rp 7,225 triliun dan dari anggaran tersebut yang
dialokasikan kepada Badilmiltun (i.c. Ditjenmiltun) adalah sebesar Rp. 22,58 milyar[14], tinggal dikalkulasikan
apakah memadai dan sebanding dengan penambahan wewenang dan beban kerja ke
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara tersebut.
Penutup
Mahkamah Agung beberapa kali telah melakukan suatu
terobosan hukum, terhadap persoalan-persoalan hukum terkini, yang tidak bisa
dicarikan solusinya oleh pembentuk Undang-undang (Pemerintah dan DPR), sebab
tatkala norma hukum dibenturkan dengan kejadian faktual, haruslah ada jawaban
dan penyelesaian terhadapnya. Adanya Peraturan Mahkamah Agung mengenai Penyesuaian
Batasan Tindak Pidana Ringan atau Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara
Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan, merupakan jawaban
responsif –sementara- terhadap kaidah dan norma hukum yang senantiasa tumbuh
dan berkembang di dalam masyarakat.
Namun patut juga diresapi, bahwa 3 asas hukum umum,
yakni lex superiori derogat legi
inferiori, lex specialis derogat legi generali, lex posteriori derogat legi
generali, harus senantiasa ditegakkan demi terwujudnya supremasi hukum yang
utuh. Dan Peraturan Mahkamah Agung, terkadang tidak lagi cukup
merepresentasikan serta menjawab persoalan hukum yang berpotensi terjadi di
masa-masa yang akan datang. Sehingga kelak, siapapun dan lembaga apa pun yang
diberikan kewenangan untuk memeriksa dan mengadili sengketa pemilihan kepala
daerah, betul-betul secara profesional dan imparsial menjalankan kewenangannya,
karena memang segala aspek yang mendukungnya – formil, materiil, fisik, psikis,
lahir, batin - telah benar-benar dipersiapkan serta dirancang dengan baik dan
benar.
Tinggal menunggu political
will pihak yang berwenang saja. Apakah benar-benar menjadikan –kejelasan
dan kelengkapan- hukum sebagai panglima, ataukah –lagi-lagi- hanya slogan
kosong belaka.
Jambi, 9-10 Juni 2014
[2] Sebagaimana diungkapkan Hakim PTUN
Jakarta: Teguh Satya Bhakti, SH., MH. dalam: http://www.republika.co.id/berita/koran/kesra/14/05/26/n60t2314-ptun-siap-tangani-sengketa-pilkada
[3]
Hal ini selanjutnya juga
ternyata dibahas dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013, karena
logika bahwa Pemilihan Kepala Daerah termasuk ke dalam rezim Pemilihan Umum,
terbantahkan tatkala Pemilihan Kepala Desa yang merupakan representasi dari
pemilihan umum (sehingga termasuk rezim pemilihan umum) pun, tidak
(di)jadi(kan) kewenangan dari Mahkamah Konstitusi.
[4]
Istilah ini pun ternyata
mengalami pergeseran dari Pemilihan Kepala Daerah (dalam Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004), menjadi Pemilihan Umum Kepala Daerah (dalam Undang-undang Nomor 22
Tahun 2007), demi mengidentifikasi serta mengadopsi istilah Pemilihan Umum
dalam Undang-undang Dasar 1945 setelah perubahan, sehingga pada akhirnya muncul
anggapan yang menyatakan bahwa Pemilihan Umum dan Pemilihan Umum Kepala Daerah
–sebagai istilah pengganti dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)- adalah dua
hal dalam lingkup (rezim) yang sama.
[5] Bandingkan ketentuan Pasal 236 C
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menjadi pokok uji konstitusional dalam
Perkara Nomor 97/PUU-XI/2013, dengan Pasal 22 E Undang-undang Dasar 1945
setelah perubahan. Atau penjelasan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009, yang selanjutnya ditujukan kepada Mahkamah Konstitusi, hal
mana yang bisa dikatakan merupakan penambahan/addendum kewenangan dari Pasal
24C ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 setelah perubahan.
[6] Karena ini persoalan hukum, tentu
yang bisa mempersoalkan (in cassu
mengajukan uji konstitusional) adalah pihak yang berkepentingan terhadapnya.
Sejalan dengan asas hukum poin d’interet
poin d’action.
[7] Pemohon: Victor Santoso Tandiasa,
dkk mempersoalkan frase Pasal 263 C Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 dan Pasal
29 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009. Dan Mahkamah Konstitusi
dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa unsur pokok dari pemilihan umum
adalah: i) dilaksanakan secara LUBER dan Jurdil setiap 5 tahun sekali; ii)
untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta
anggota DPRD; iii). Pesertanya adalah partai politik dan/atau perseorangan;
iv). Diselenggarakan oleh KPU yang bersifat nasional. Tinggal dinilai saja,
apakah Pemilukada memenuhi ke empat unsur tersebut, atau sebaliknya.
[8] Lihat: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53906c97a79d5/hakim-agung-terpecah-soal-wacana-tangani-sengketa-pilkada
[11]
Meskipun hal ini diatur pula
dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,
akan tetapi pengaturan khusus mengenai Hukum Acara Pemeriksaan Sengketa Informasi
lebih rigid terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung tersebut. Lihat istilah
“Gugatan” dalam Pasal 47 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008, dan bandingkan
dengan istilah “Pemohon Informasi Publik” dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 14
Tahun 2008.
[12] Lihat ketentuan Pasal 1 angka 1,
Pasal 1 angka 6 dan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun
2011.
[13]
Bandingkan dengan istilah di
Mahkamah Konstitusi selama ini untuk sengketa pemilihan Kepala Daerah yakni: Permohonan,
Pemohon dan Pihak Terkait. Lebih jelasnya dalam: Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, hlm. 31.
Comments
Post a Comment