Mimpi Kolam Hijau
Mimpi, memang kadang tak masuk akal dan aneh. Karena hal-hal tak biasa sering terjadi saat bermimpi. Sampai para ahli (ilmuwan maupun cenayang), memberikan tafsiran masing-masing terkait mimpi dengan keahliannya yang sama sekali berbeda.
Mimpi kadang jadi penghibur, saat apa yang dialami di kehidupan nyata tak terjangkau dan tak teraih, sementara di alam mimpi segalanya menjadi sangat mungkin dan terasa menjadi realita. Seperti yang dikatakan sang ahli Wikipedia, bahwa kejadian dalam mimpi biasanya mustahil terjadi dalam dunia nyata dan di luar kuasa pemimpi. Itulah mimpi yang indah dan menghibur. Meskipun dikatakan - dan terbukti- pada sebagian orang, ada yang bisa mengendalikan (mengkontrol) mimpi mereka dalam kadar-kadar tertentu.
Namun kebalikannya, kadang mimpi pun malah menambah stress dan tersiksa kehidupan. Karena tak cukup dengan beratnya hidup yang ditanggungkan, akan semakin bertambah dengan seringnya mimpi buruk yang menghampiri, sehingga nyaris tak ada istirahat antara beratnya dunia nyata dan dunia mimpi.
Seperti halnya serial Quantum Leap yang sempat ngetop sekitar dua dasawarsa yang lalu, kadang mimpi pun tiba-tiba menempatkan kita pada sosok yang sama sekali berbeda dengan diri kita di dunia nyata, sosok yang bukan diri kita, namun pada saat itu kita merasa bahwa benar itulah diri kita sebenarnya. Seperti jiwa kita dimasukkan ke dalam raga orang lain. Tapi kita merasa, itulah diri kita dalam mimpi.
Tersebutlah mimpi penulis ini, terjadi saat tidur siang -karena jam Istirahat kerja- setelah mengalami berbagai kejadian yang melelahkan sepanjang pekan. Mimpi itu teringat jelas, detail dan rinci. Tidak seperti mimpi yang tiba-tiba terlupa saat mata terjaga
Penulis menjadi seorang pemandu wisata di sebuah situs suci agama Islam- sepertinya Mesjid yang terletak di India-, yang kemudian situs suci tersebut diserang oleh balatentara yang jumlahnya banyak tak terhitung. Sehingga, saat itu penulis terpaksa menjadi tentara dadakan yang mempertahankan situs tersebut dari serangan balatentara lawan. Penulis maish ingat baju yang dikenakan, seperti seragam tentara kelas rendah dari Saranid Sultanate di Gim fenomenal: Mount & Blade Warband, baju warna putih kecoklatan dan kain yang diselendangkan berwarna coklat tua. Tak lupa diserta turban yang sewarna dengannya. Setting kejadiannya seperi di adegan film The Mummy edisi perdana, dimana sang pemeran utama Brendan Fraser dan beberapa pasukannya yang tersisa, diserang habis-habisan di depan sebuah monumen oleh lawannya. Detail dan rinci khan?
Saat pasukan lawan semakin merangsek maju, pasukan kami malah bersembunyi di dalam situs suci tersebut, sampai pintunya melesak, tak sanggup lagi menahan banyaknya orang yang bersembunyi di dalamnya. Termasuk para pimpinan dan komandan perang yang seharusnya berada di garis depan pertahanan.
Kekuatan pasukan lawan, tak terkira besarnya. Pasukan elitnya, kavaleri, infateri, archery dan jenderal perang mereka memiliki keahlian yang menakutkan. Ada yang berseragam merah-biru, hitam, dan memakai topeng seperti pasukan Xerxes yang menerabas wilayah Sparta di film 300. Benar seperti itu. Sampai akhirnya, pasukan kami yang tersisa hanya tingal 4 orang, termasuk penulis. 2 orang komandan yang sudah menunjukkan wajah ketakutan dan menyerah setelah tubuh mereka bertubi-tubi dihujani tembakan dari komandan elit bertopeng dan berseragam hitam seram, serta seorang prajurit senasib dna sederajat, yang nasibnya berakhir setelah kepalanya tertembus ujung panah tajam yang dilesakkan seorang prajurit elit berseragam mirip spiderman.
Naluri penulis menyatakan bahwa saat itu harus lari -mundur-, dengan menyadari kemungkinan di prajurit elit mirip spiderman itu tak kan berhenti menghujani dengan panah super anehnya, yang bisa jadi salah satunya menembus tubuh atau kepala penulis. Takut mati, wajar. Karena tidak bisa terbayangkan sakitnya seperti apa.
Maka penulis pun mundur sambil menghindar sebisanya, mengelak beberapa inci bahkan senti dari gerombolan pasukan lawan yang tidak ada habisnya, dan saat itu tengah tergelak membayangkan kemenangan telak di depan wajah mereka. Penulis lari, dan melewati situs suci dimana ternyata prajurit dan para komandan yang mestinya bertarung, berperang, menyembunyikan diri, menumpuk-numpuk diri di dalam situs tersebut. Penulis merasa seperti pecundang dan pengecut karena menghindar dan mundur, tapi bila dibandingkan mereka yang sedari awal bersembunyi, penulis merasa lebih berbesar hati, sehingga meneruskan berlari selagi perhatian lawan lengah.
Penulis yakin bahwa lambat laun, mereka yang berada di dalam situs tersebut akan dihabisi dan dibantai oleh pasukan lawan, sehingga penulis lari dari situs tersebut sejauh-jauhnya, tak lupa penulis berteriak kepada rekan seiman yang berada di dalam situs tersebut, bahwa pertahanan kita telah jatuh dan situs sepertinya di ambang kehancuran. "Kita sebagai orang Islam, sebisa mungkin harus menyelamatkan diri, untuk menyusun kembali kekuatan". Seperti itu kurang lebih teriakan tak terdengar dari penulis pada rekan-rekan yang berada di dalam situs tersebut.
Dalam pelarian itu, penulis dan -sedikit dari- beberapa rekan yang selamat, harus berenang melewati kolam besar berwarna hijau pekat, yang menurut imajinasi penulis setelah terjaga, seperti danau yang harus dilewati oleh Dumbledore dan Harry Potter, saat akan mengambil Horcrux kalung liontin (palsu -karena telah ditukar oleh Regulus Black) Slytherin di dalam sebuah gua pinggir laut. Atau yang lebih riil mungkin, sewarna kolam seorang kerabat yang tidak memiliki saluran pembuangan, sehingga hijau zamrudnya sangat kentara.
Danau/Kolam tersebut ternyata banyak berisikan ular berbisa dan ikan-ikan pemakan kotoran kaki -seperti yang beberapa waktu ke belakang ngetop di berbagai mall, dan penulis pun sekonyong-konyong pernah merasakan digigiti "rorombeheunnya" oleh jenis ikan tersebut. Penulis terus berenang dan berenang, karena menyadari bahwa di belakang maupun di depan terdapat bahaya yang nyata. Sehingga lebih melihat peluang selamat berada di depan, meski harus berenang melewati danau hijau pekat berisikan banyak ular berbisa dan ikan pemakan rorombeheun tersebut.
Entah bagaimana prosesnya, yang jelas penulis dan beberapa orang rekan yang berwajah India atau Arab berhasil selamat daridanau/kolam itu, dan naik ke permukaan darat yang lebih aman. Setelahnya penulis seperti mencuci muka dan kaki di sebuah pancuran dengan keran berjejer seperti tempat wudhu di Masjid Agung Jami di Alun-Alun Kota Malang. Persis seperti itu.
Setelahnya penulis disarankan oleh seorang kawan yang mukanya mirip bintang film india lawas, Sunny Deol - yang sekilas juga mirip vokalis Sonet 2, Ridho Rhoma- agar meninggalkan negeri ini dan bekerja -sebagai pemandu wisata rohani - di negara lain saja. Hanya saja setelah setengah memaksa agar kawan penulis, Sunny Deol ini ikut serta demi keselamatannya, dia menolak mentah-mentah, katanya ada hal yang lebih penting yang akan dikerjakannya di negeri ini.
Karena rekan Sunny Deol tadi bersikukuh tidak mau meninggalkan negeri ini, akhirnya penulis disarankan pergi bersama orang lain yang lebih membutuhkan jasa dan tenaga penulis, dan tahu siapa yang disarankan kawan Sunny Deol tadi dengan alasan memutuhkan wisata rohani di tempat yang baru di luar negeri ini? JENNIFER LOPEZ kawan!! Bukan main, dan herannya JENNIFER LOPEZ menyetujui ajakan penulis dan setuju dia butuh wisata rohani.
Di tempat baru -di luar negeri ini- itu, penulis kembali berprofesi sebagai pemandu wisata rohani, tapi dengan keadaan yang lebih tenteram dan tenang, tidak pula panas dan gersang seperti di tempat situs suci yang diserang oleh gerombolan perang mirip pasukan Xerxes sebagaimana diceritakan di atas, melainkan sejuk, hijau, banyak angin, dan banyak orang Sholat Berjamaah. Dan tahu, apa yang samar-samar terlihat disana? Kubah merah Masjid Al Maghfirah di Balitbang Diklat Kumdil - Megamendung.
Sekian.
Comments
Post a Comment