Seleksi (Calon) Hakim
Seleksi (Calon) Hakim
Oleh:
Febby Fajrurrahman, SH[1].
Rencana
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk kembali melakukan rekrutmen Calon
Hakim bagi 4 lingkungan Peradilan pada tahun anggaran 2015, patut diapresiasi.
Betapa tidak setelah sekitar 3 tahun tidak dilakukan rekrutmen Calon Hakim
–hanya Calon Panitera Pengganti dan Juru Sita- memang sudah saatnya penyegaran
dan penambahan sumber daya manusia terutama untuk mengisi posisi Hakim
dilaksanakan kembali.
Dengan
kondisi terkini, dimana jumlah Hakim yang sekitar ± 8000 personil, yang
tersebar pada ± 700 satuan kerja di seluruh
Indonesia, ditambah lagi dengan pemekaran daerah administrasi yang
idealnya diikuti dengan penambahan jumlah pengadilan, serta beban perkara yang
kian meningkat tiap bulannya, tentu penambahan Hakim baru merupakan hal urgen
yang harus dilakukan saat ini.
Akan
tetapi dengan perubahan sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Nomor 49
Tahun 2009, Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 serta Undang-undang Nomor 51
Tahun 2009 rekrutmen –penambahan- Hakim bukan lagi persoalan sederhana dan
menjadi domain Mahkamah Agung semata,
sebab berdasarkan Pasal 14A ayat (2) Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 jo. Pasal 13A ayat (2) Undang-undang
Nomor 50 Tahun 2009 jo. Pasal 14 A
ayat (2) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, seleksi harus dilakukan oleh Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial dengan transparan, akuntabel dan partisipatif.
Sedikit
kita tepikan terlebih dulu persoalan yang timbul dalam seleksi Calon Hakim
terakhir kali, yang sempat menjadi polemik antara Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial oleh karena belum tersusunnya juklak maupun MoU antara kedua lembaga tersebut dalam seleksi Hakim, namun harus difokuskan
pada pembenahan seleksi Hakim yang akan dilaksanakan ke depannya.
Seleksi Hakim atau Calon
Hakim?
Ada
dua nomenklatur yang berbeda dikenal terkait dengan pengisian posisi Hakim di
tiap Pengadilan tingkat pertama beberapa tahun ke belakang, yakni Hakim dan
Calon Hakim. Istilah Hakim merujuk kepada pelaku kekuasaan kehakiman yang
melaksanakan tugas pokok dan fungsi mengadili dan memberikan putusan terhadap
suatu sengketa/perkara. Sedangkan secara normatif, Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam
lingkungan peradilan tersebut[2] atau definisi lain yang
menyatakan bahwa Hakim adalah Hakim
pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung[3].
Nomenklatur
kedua yang dikenal adalah calon Hakim. Secara eksplisit, istilah calon Hakim
tidak ditemukan dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009. Begitu pun halnya
dalam Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009, Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009
maupun dalam Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009. Istilah calon Hakim pernah
muncul secara tekstual dalam Undang-undang mengenai peradilan di bawah Mahkamah
Agung sebelumnya, yakni pada Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun
2004, Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, dan Pasal 13
ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, begitupun halnya dalam Undang-undang
sebelumnya[4].
Dengan
adanya perubahan terhadap ketiga Undang-undang tersebut, maka secara otomatis
istilah calon Hakim pun menjadi tidak ada dan diganti dengan ketentuan yang
baru dalam Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009, Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009
maupun Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009. Sehingga praktis istilah yang ada dan
digunakan saat ini adalah seleksi Hakim, bukan lagi seleksi calon Hakim. Lantas
apakah seleksi yang hendak dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial saat
ini adalah seleksi Hakim atau seleksi calon Hakim[5]?
Ambiguitas Calon Hakim
Secara
sederhana, istilah “calon” di depan nomenklatur suatu nama jabatan menandakan
bahwa ia adalah “orang yg akan menjadi” atau “orang yg dididik dan dipersiapkan
untuk menduduki jabatan atau profesi tertentu[6]”. Sehingga calon Hakim[7] dapat didefinisikan
sebagai orang yang akan menjadi Hakim atau orang yang dididik dan dipersiapkan
untuk menduduki jabatan/profesi Hakim, dan sebelum memangku jabatan Hakim,
harus terlebih dahulu memenuhi syarat limitatif-kumulatif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 jo. Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 jo. Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009.
Berpulang
kepada kewenangan bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, maka
seleksi yang dilakukan untuk mengisi posisi Hakim saat ini lebih tepat
dinamakan seleksi Hakim, bukan lagi seleksi calon Hakim. Apa hal? Karena
sejatinya syarat sebagaimana dimaksud ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1)
Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 jo. Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Nomor 50
Tahun 2009 jo. 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, tak lagi
dimaksudkan untuk “menyaring” untuk mendapatkan calon Hakim -sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang
sebelumnya-, melainkan sudah “menyaring” untuk mendapatkan Hakim. Sehingga
polemik tentang tidak dilibatkannya Komisi Yudisial dalam seleksi calon Hakim[8] oleh Mahkamah Agung
sebenarnya tidak perlu terjadi, karena kewenangan Komisi Yudisial muncul dan
ada dalam nomenklatur “seleksi Hakim” bukan “seleksi calon Hakim”.
Benar,
bahwa setidaknya sejak disahkannya Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009,
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 dan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009,
pengangkatan Hakim dilakukan dengan mekanisme sebagaimana dimaksudkan dalam
ketiga pasal dalam ketiga Undang-undang tersebut di atas, akan tetapi semuanya
bermula dari suatu jabatan –atau apapun
istilahnya- “calon Hakim”, yang di dalam Undang-undang-nya sendiri istilah
Calon Hakim itu tidak lagi ditemukan. Apakah telah tepat seseorang ditentukan
terlebih dahulu sebagai “calon Hakim” yang selanjutnya “dijuruskan” untuk
memenuhi persyaratan sebagai Hakim? Dengan kata lain, apakah orang lain yang
bukan dan tidak dijuruskan sebagai “calon Hakim” pada awal seleksinya, tidak
bisa menempuh atau bahkan tidak bisa berusaha memenuhi persyaratan untuk
menjadi Hakim?
Peristilahan
calon Hakim yang kini melekat, hendaknya tidak diidentikkan sebagai suatu
jabatan, pangkat atau predikat tertentu. Melainkan hanya sebuah term bagi seseorang yang akan diikutkan
dalam proses seleksi Hakim, yang menurut hemat penulis lebih tepat menggunakan
istilah kandidat. Sehingga nantinya seorang “calon Hakim” tidak otomatis
menjadi “Hakim” di masa yang akan datang.
Dengan
demikian, biar nanti proses seleksi tahap selanjutnya oleh Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial yang akan menentukan siapa yang berhak menjadi kandidat Hakim
atau bukan, sehingga pada akhirnya cibiran tentang Hakim yang kerap disebut oleh
sebagian kalangan “tak pintar-pintar amat” atau “tak istimewa-istimewa sekali”,
bahkan sebutan “Hakim karena nasib-nasab”, oleh kalangan internal maupun
eksternal Pengadilan tak lagi akan didengar.
Kesenjangan dan Penjenjangan Karir
Terbitnya
Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 -harus
diakui- sedikit banyak mempengaruhi harmonisasi antar perangkat pengadilan
yakni Hakim dan non-Hakim, dan tak perlu disangkal juga hal ini bersumber dari
perbedaan tunjangan antara keduanya. Sehingga puncaknya, muncul riak-riak[9] di kalangan pegawai (non-Hakim)
yang serupa dengan peristiwa desakan Hakim kepada pemerintah, untuk
merealisasikan hak-hak konstitusionalnya berdasarkan Pasal 25 Undang-undang
Nomor 49 Tahun 2009, Pasal 24 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 dan Pasal 25
Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, pada medio
tahun 2012 yang lalu.
Terkait
hal ini tentunya tak hanya penyesuaian tunjangan yang menjadi solusi, akan
tetapi juga jenjang karir seorang pegawai pengadilan yang seharusnya bisa juga
menapaki jabatan sebagai seorang Hakim. Terlebih undang-undang tidak menentukan
bahwa harus seorang calon Hakim-lah yang selanjutnya mengisi jabatan Hakim,
sebab sejatinya tak hanya calon Hakim atau ASN (Pegawai Negeri Sipil) di
Pengadilan yang bisa menjadi Hakim[10], melainkan siapapun- bahkan
selain ASN (Pegawai Negeri Sipil) atau pegawai Pengadilan- bisa menjadi Hakim,
asalkan memenuhi syarat limitatif-kumulatif dalam Pasal 14 ayat (1)
Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 jo.
Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 jo. Pasal 14 ayat (1) Undang-undang
Nomor 51 Tahun 2009 tersebut.
Perbaikan rekrutmen Hakim
Istilah
transparan, akuntabel dan partisipatif dalam proses seleksi Hakim bukanlah
tanpa maksud dicantumkan dalam Undang-undang. Secara filosofis, transparan
berarti seleksi tersebut haruslah dapat diketahui oleh siapapun, akuntabel
berarti hasil seleksi tersebut bisa dipertanggungjawabkan secara moril tak
hanya kepada masyarakat –sebagai pencari keadilan-, namun juga kepada Tuhan
Yang Maha Esa, karena Hakim merupakan implementasi dari nilai-nilai luhur
keadilan dan kebijaksanaan. Sedangkan partisipatif artinya, berbagai pihak bisa
memberikan kontribusinya terhadap proses seleksi, baik sebagai subyek –dengan
menjadi kandidat Hakim-, atau sebagai penilai kelayakan atau tidaknya kandidat
tersebut, maupun sebagai pelapor atas
kelayakan atau tidaknya kandidat tersebut.
Aspek partisipatif
dalam rekrutmen Hakim, secara khusus dapat diartikan pula bahwa setiap orang
yang mempunyai kualifikasi bisa mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjadi
Hakim. Tak hanya –seperti selama ini- menjadi privilege dari seorang ASN (Pegawai Negeri Sipil) yang berstatus “calon
Hakim” saja.
Nada
sumbang terhadap rekrutmen Hakim selama ini kerap diberitakan media dan dikeluhkan
masyarakat[11]
memang sudah seharusnya menjadi bahan evaluasi dan introspeksi untuk mengembalikan
kepercayaan pencari keadilan terhadap Hakim dan Pengadilan. Hal yang juga
pernah diungkapkan sendiri oleh Hakim Agung DR. Irfan Fachruddin, SH., CN dalam
wawancara seleksi Calon Hakim Agung dengan Panelis dari Komisi Yudisial[12]. Yang tentu saja hanya
bisa diubah dengan perbaikan sistem rekrutmen Hakim itu sendiri. Misalnya
dengan melaksanakan wacana yang selama ini digagas, yakni seleksi yang
dilakukan terhadap lulusan-lulusan terbaik Fakultas Hukum dari Universitas yang
berkualitas, ataupun dengan memberikan kesempatan yang sama bagi pegawai
pengadilan yang memenuhi dan kualifikasi sebagai Hakim untuk mengikuti proses
seleksi.
Hal
ini tentunya bisa memberikan motivasi kepada pegawai pengadilan yang selama ini
belum terwakili kepentingannya, baik dalam hal jenjang karir maupun
pendapatannya. Sebab tak perlu disangkal bahwa saat ini, hanya Hakim yang bisa
menjadi Pimpinan Pengadilan baik tingkat pertama maupun Banding, serta hanya
Hakim yang bisa menjadi Panitera Pengganti di Mahkamah Agung. Dan menurut hemat
penulis, bukanlah ide buruk pula memberikan kesempatan kepada pegawai non-Hakim
yang berkualitas dan berprestasi, untuk mengembangkan karir dan kemampuannya agar
berkesempatan menjadi Hakim, dan pada akhirnya bisa memiliki kemungkinan
menjabat sebagai pimpinan dari pengadilan.
Beberapa
poin pemikiran penulis yang dapat dipertimbangkan untuk dipakai diantaranya:
1.
Istilah rekrutmen Hakim, saat ini lebih tepat
daripada rekrutmen calon Hakim, karena Undang-undang hanya menyatakan
syarat-syarat sebagai Hakim, bukan sebagai calon Hakim. Dengan demikian,
rekrutmen awal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung hendaknya hanyalah rekrutmen calon
ASN (Pegawai Negeri Sipil) saja, tanpa adanya pembedaan calon Hakim, calon Panitera
Pengganti atau calon Juru Sita Pengganti.[13]
2. Calon
ASN (Pegawai Negeri Sipil) tersebut bisa disaring melalui mekanisme seleksi
yang terbuka untuk khalayak umum, bisa juga dilakukan secara terbatas terhadap
lulusan-lulusan terbaik dari Fakultas Hukum di Universitas yang berkualitas di
Indonesia.
3. Tahapan
selanjutnya dalam rekrutmen Hakim adalah melakukan seleksi terhadap dari calon ASN
(Pegawai Negeri Sipil) yang telah direkrut oleh Mahkamah Agung tersebut[14], bersama-sama Komisi
Yudisial untuk menentukan siapa ASN (Pegawai Negeri Sipil) yang mempunyai
kualifikasi sebagai kandidat Hakim yang selanjutnya diarahkan untuk memenuhi persyaratan menjadi Hakim.
4. Membuka
mekanisme bagi ASN (Pegawai Negeri Sipil) di lingkungan Pengadilan (Panitera,
Panitera Pengganti, Juru Sita, Juru Sita Pengganti, Pejabat Struktural lain
atau Staf Pengadilan), dengan persyaratan dan prosedur yang sama, untuk
memiliki hak dan kesempatan yang sama menjadi Hakim. Karena sebenarnya
Undang-undang pun tidak melarang hal tersebut[15].
5. Aturan
teknis seleksi Hakim untuk kalangan ASN (Pegawai Negeri Sipil) di lingkungan
Pengadilan (Panitera, Panitera Pengganti, Juru Sita, Juru Sita Pengganti,
Pejabat Struktural lain atau Staf Pengadilan), harus disusun dengan jelas dan
tegas. Sehingga tidak ada kesan main-main dan kolusi dalam proses seleksi
tersebut.
Beberapa
pemikiran penulis tersebut mungkin sumir dan harus dikritisi lebih lanjut
bahkan mungkin menimbulkan pro-kontra, akan tetapi setidaknya sumbang-pikir
tersebut bisa menjadi alternatif bagaimana meningkatkan kualitas Hakim di masa
yang akan datang, tanpa menafikan persoalan kualitas, kapabilitas dan
integritas Hakim itu sendiri. Dengan melakukan seleksi beberapa tahap, maka
Hakim yang dihasilkan tidak akan menimbulkan syak wasangka setidaknya dalam
aspek kualitas, kapabilitas dan integritasnya pada saat itu.
Grafik Seleksi Hakim
Meningkatnya
pendapatan Hakim, tentunya selain akan menjadi daya tarik bagi para sarjana dan
mahasiswa hukum terbaik di tiap Fakultas Hukum agar memilih Hakim sebagai
profesinya, di sisi lain bisa juga menjadi faktor “kesenjangan” bagi orang yang
sebenarnya mampu dari aspek integritas maupun kapabilitasnya, akan tetapi
karena sistem rekrutmen yang membatasi, potensi tersebut tidak berkembang dan
tersia-sia.
Penyempurnaan
sistem rekrutmen Hakim –bukan calon Hakim-,
hendaknya terus menerus dilakukan. Namun yang patut diingat, peningkatan
profesionalisme dan integritas Hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan tak
hanya itu. Pembinaan karakter moral dan kapabilitas terhadap Hakim pun harus
dilakukan secara berkesinambungan, tak hanya melulu soal pengawasan dan
pemberian sanksi kepada Hakim atas dugaan pelanggaran kode etik saja.
Akhirnya
semuanya kembali kepada suatu dogma, sebaik apapun suatu sistem apabila
dijalankan oleh orang-orang yang buruk, maka akan rusak segalanya. Begitupun
sebaliknya. Namun, bukankah lebih ada kesempatan perbaikan dalam sebuah
perubahan, daripada sebuah stagnansi?
Jambi,
08 Mei 2014
[1] Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram
[2]
Lihat: Pasal 1 angka 5
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
[3] Lihat Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
[4] Lihat: Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986,
Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 maupun Pasal 13 ayat (1)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, yang meskipun hanya menyebutkan istilah
“calon” tapi secara kontekstual merujuk kepada istilah “Calon Hakim”.
[5]
https://www.mahkamahagung.go.id/rnews.asp?bid=3991
[6] Lihat: http://artikata.com/arti-322950-calon.html dan http://kamusbahasaindonesia.org/calon
diakses tanggal 8 Mei 2014
[7] Bandingkan misalnya dengan Calon Anggota Legislatif (Caleg)
sebelum menjadi Anggota Legislatif, yang sama-sama bukan merupakan term jabatan atau kedudukan tertentu.
Melainkan hanya istilah sosiologis belaka.
[8] Lihat: http://news.detik.com/read/2013/09/11/161740/2356003/10/dilibatkan-jadi-tim-seleksi-hakim-ky-janji-tak-ada-uang-sogokan
[9] http://daerah.sindonews.com/read/2014/04/16/21/854672/seminggu-ini-panitera-pn-serang-mogok-kerja atau http://news.okezone.com/read/2014/04/17/340/972122/cemburu-dengan-besarnya-tunjangan-hakim-panitera-mogok-kerja dan http://regional.kompas.com/read/2014/04/17/1121581/Tunjangan.Cuma.Naik.Sedikit.Panitera.Mogok.Kerja
[10]
Lihat kembali ketentuan Pasal 14
Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009, Pasal 13 Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009
dan Pasal 14 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, yang meniadakan syarat “Pegawai
Negeri” untuk menjadi Hakim.
[11]
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16342/catatan-dari-pelaksanaan-ujian-calon-hakim-2007 atau http://www.politikindonesia.com/m/index.php?ctn=1&k=pendapat&i=11044 atau http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18152/perekrutan-calon-hakim-masih-belum-transparan
[12]“Irfan
juga mengkritik sistem rekrutmen hakim. Menurut dia, selama ini hakim-hakim
yang direkrut kental dengan nuansa nepotisme.” ”Saat saya mengajar di Diklat
Calon Hakim, saya tanya siapa yang punya keluarga di pengadilan? Dari 40 cakim,
hanya lima orang yang tidak menunjuk,” ujarnya. Dimuat dalam: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50b75de37f285/calon-hakim-agung-kritik-model-pengawasan-ma
[13] Dalam hal ini alangkah lebih baiknya penentuan ditetapkannya
seorang menjadi kandidat Hakim atau tidaknya, dilakukan dalam tahapan
selanjutnya setelah yang bersangkutan berstatus sebagai ASN (Pegawai Negeri
Sipil) bukan pada awal rekrutmen calon ASN (Pegawai Negeri Sipil).
[14] Setelah yang bersangkutan memenuhi masa
kerja tertentu atau setelah yang bersangkutan menjadi ASN (Pegawai Negeri
Sipil)
[15]
Sekalipun dalam hal ini ada pula
seleksi untuk Hakim Ad Hoc, namun Hakim Ad Hoc ini berbatas waktu, sedangkan
seleksi untuk menjadi Hakim Karir, akan berbeda jalurnya. Terkait ini memang
perlu pengkajian yang lebih mendalam.
Comments
Post a Comment