Political (risk) cost
Pesta demokrasi telah usai dan meninggalkan banyak warna,
tak hanya kegembiraan dan pesta-pora, namun juga haru-biru, kekecewaan,
kegagalan dan bisa jadi gelimang hutang.
Betapa tidak, demokrasi langsung
tentu berkorelasi searah dengan biaya yang dikeluarkan, terutama bagi calon
anggota legislatif yang minim visi, misi dan aksi, tapi maksi dalam ambisi.
Political cost dan political
risk cost
Bila diasumsikan di suatu daerah pemilihan DPR RI ada 10
caleg dalam satu partai politik, dikalikan dengan 12 partai politik berarti ada
sekitar 120 calon anggota legislatif dalam satu daerah pemilihan. Sedangkan bila
setiap calon anggota legislatif DPR RI itu-bila dipukul rata- setidaknya harus
mengeluarkan biaya sekitar 1 milyar rupiah[1],
maka dalam satu daerah pemilihan, uang yang berkeliaran untuk sosialisasi,
pembuatan alat peraga, komunikasi politik dengan konstituen serta biaya politik
lainnya sekitar 120 milyar rupiah. Bila dalam pemilihan umum legislatif kemarin
ada 100 daerah pemilihan di seluruh Indonesia, maka biaya yang dikeluarkan
sebelum hajatan sampai dengan pelaksanaan pemilihan umum legislatif adalah
sekitar 12.000 milyar alias 12 Trilyun rupiah.
Seandainya dari satu daerah pemilihan itu hanya 5-10
orang saja yang terpilih menjadi anggota legislatif, maka biaya politik (political cost) yang efektif dan efisien
dihabiskan – karena berhasil mengantarkan jadi anggota legislatif- adalah
sekitar 1/12 dari 120 milyar, alias 10 milyar. Sementara 110 milyar lainnya
hanya menjadi resiko biaya politik (political
risk cost). Dengan asumsi lain, bila dari 12000 calon anggota legislatif
yang menjadi anggota DPR RI hanya sekitar 600 orang, maka biaya politik yang
efektif dan efisien (political cost)
hanya 600/12000 x 12 trilyun, atau hanya sekitar 600 milyar rupiah saja.
Sementara 11,4 trilyun lainnya hanya menjadi resiko biaya politik (political risk cost) yang harus
ditanggung oleh caleg gagal. Mengerikan bukan?
Asumsi perhitungan tersebut hanya untuk pemilihan calon
anggota legislatif di DPR RI, belum untuk DPRD Provinsi ataupun DPRD
Kabupaten/Kota, yang meskipun mungkin biaya politik tiap caleg tersebut lebih
sedikit dibandingkan dengan caleg DPR RI, namun karena lebih banyak daerah
pemilihannya, tentu jumlah biaya politik maupun biaya resiko politiknya tak
kalah fantastis.
Kalangan pakar maupun politikus sering berujar, demokrasi
memang tidak murah- malah cenderung mahal-, sekalipun hasil dari proses
demokrasi itu kadang tak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Namun apa mau
dikata, itulah yang telah menjadi pilihan –para penentu kebijakan-kita.
Mengamanatkan nasib dan aspirasi rakyat melalui proses yang amat sangat mahal,
dengan hasil yang seringkali malah mengecewakan daripada memuaskan.
Seharusnya proses demokrasi itu dapat memunculkan
orang-orang pilihan, yang berkualitas, memiliki kemampuan, memiliki visi dan
misi yang mulia dan agung, memberikan manfaat sebaik-baiknya bagi masyarakat
luas. Bukan memunculkan orang hanya karena memiliki modal finansial dan
pencitraan yang kuat, tanpa memiliki kapasitas yang mumpuni sebagai penyambung
aspirasi masyarakat.
Bila pendapatan seorang anggota DPR RI sekitar 50 juta[2]
setiap bulannya, maka pendapatannya setahun adalah sekitar 600 juta rupiah,
dikalikan 5 tahun masa jabatannya menjadi sekitar 3 milyar rupiah. Pendapatan
tersebut belum dipotong oleh “sumbangan” kepada partai politiknya, yang sudah menjadi
hal lumrah bahkan wajib. Bila dari 3 milyar tersebut, 50% jumlahnya dihibahkan
kepada partai politik sebagai sumbangan penggerak roda partai, maka hanya 1,5
milyar yang didapat anggota legislatif tersebut selama menjabat anggota. Lantas
bila dengan pendapatn maksimal kekayaan yang hanya 3 milyar dalam 5 tahun, sementara
seorang anggota DPR bisa hidup bermewah-mewah, dengan rumah mewah, mobil mewah,
kehidupan mewah, darimana sumber kemewahannya itu?
Larangan bagi anggota
DPR
Ketentuan Pasal 208 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 327 ayat (2) jo.
Pasal 378 ayat (2) Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009, menyatakan yang pada
pokoknya adalah seorang anggota DPR/DPRD dilarang merangkap jabatan atau
melakukan pekerjaan dengan jabatan struktural, seperti:
1. Pejabat negara lainnya;
2. Hakim pada badan peradilan;
3. PNS, anggota TNI/Polri, Pegawai pada BUMN, BUMD atau
badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD;
4. Lembaga pendidikan swasta;
5. Akuntan publik;
6. Konsultan;
7. Advokat atau pengacara;
8. Notaris; dan
9. Pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas dan
wewenang DPR/DPRD serta hak sebagai anggota DPR/DPRD.
Poin penting dalam ketentuan tersebut adalah seorang
anggota DPR/DPRD tidak boleh menggunakan kedudukan dan kewenangan demi
kepentingan dan keuntungan pribadinya, sebagaimana tersirat dalam poin 9. Namun
apakah itu benar-benar dilaksanakan? Bukankah kenaikan harta anggota DPR selama
enjabat itu kerap terjadi, dan –mirisnya- dianggap wajar oleh masyarakat.
Lantas pendapatan dari mana sehingga luar biasa besarnya kenaikan jumlah harta
anggota DPR tersebut[3]?
Modus yang kerap dilakukan oleh anggota DPR adalah dengan
menyamarkan usahanya, menjadi atas nama orang lain. Bisa jadi kerabatnya, atau
orang kepercayaannya. Namun yang pasti keuntungan dari usaha tersebut –dengan
bantuan kedudukan dan kewenangannya sebagai anggota DPR- pasti mengalir pada
dirinya sendiri atau keluarga dekatnya.
Inilah cara yang digunakan oleh kebanyakan anggota DPR,
dengan mengalirkan atau mengarahkan pemenang tender, uang hasil suap, atau
manipulasi lainnya kepada rekening atau bahkan unit usaha orang terdekat,
supaya tidak dengan mudah dapat dilacak tindakan melanggar hukumnya tersebut.
Terlepas dari ada atau tidaknya usaha lain yang dimiliki oleh anggota DPR
tersebut, tentunya bila kekayaan harta seorang anggota DPR melejit secara
fantastis pada saat menjabat, akan ada praduga terhadapnya, dan itu harus ditelisik
secara benar. Bukan direkayasa.
Padahal jelas, ketentuan Pasal 1 ayat (2) huruf c Undang
Nomor 31 Tahun 1999 anggota DPR adalah termasuk golongan dilarang mengambil
keuntungan dari/berdasarkan jabatannya, sebagaimana diindikasikan dalam
ketentuan Pasal 3 dan Pasal 12 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, serta Pasal
11 dan Pasal 12 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.
Peran serta
masyarakat
Terkait dengan potensi dugaan penyalahgunaan wewenang
demi keuntungan tersebut, sebenarnya terdapat peran serta masyarakat di sana.
Sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal
8 ayat (1) Undang-undang Nomor
28 Tahun 1999, yakni: “Peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat untuk ikut
mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih”.
Juga dalam ketentuan Pasal 41 ayat (1) Undang-undang
Nomor 32 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa: “Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi”.
Dalam
logika normal, tentu dengan pengakuan dan asumsi bahwa untuk menjadi anggota
DPR RI saja harus mengeluarkan biaya sampai milyaran rupiah, seharusnya
masyarakat (in cassu konstituen) pun
sadar dan waspada, ada motif apa sehingga calon anggota legislatif mau menguras
hartanya sebanyak itu?
Dengan
logika yang sama pula, bila diketahui bahwa penghasilan legal seorang anggota
DPR maksimal hanya sekitar 600 juta setahun, apakah logis calon anggota DPR itu
mau mengeluarkan biaya banyak pada saat proses pencalonannya? Dan apakah logis
pula dengan pendapatan maksimal hanya 3 milyar semasa 5 tahun menjabat dia bisa
hidup bermewah-mewah dengan asset sampai puluhan bahkan ratusan milyar? Bila
hal tersebut sudah diketahui dan bisa diasumsikan oleh masyarakat, lantas
apakah masih logis juga tindakan masyarakat tersebut memilih mereka yang mau
berpayah-payah menghabiskan hartanya demi ambisi menduduki kursi DPR, sementara
–kebanyakan- dari mereka tidak memiliki visi dan misi apalagi aksi yang jelas
dan konkrit bagi rakyat?
Dalam
suatu ayat dijelaskan bahwa, penyuap dan yang disuap sama-sama dilaknat oleh
Allah SWT. Nah, apabila kita memilih seseorang calon anggota legislatif hanya
karena dia memberikan uang atau barang, bukankah itu juga adalah tindakan
suap-menyuap yang dilaknat Allah SWT? Bukankah paramater suap-menyuap secara
sederhana, adalah adanya barang yang dijadikan alat suap yang diberikan, yang
menyebabkan seseorang mau melakukan sesuatu hal menurut kehendak si pemberi
suap[4]?
Bila
masih bersikeras bahwa lumrah seorang calon legislatif bahkan calon presiden
memberikan kontribusi konkrit –baca: sogokan- kepada masyarakat agar dipilih,
dan masih bersikeras juga bahwa hal tersebut tidak dapat dikenakan hukum pidana
–positif-, melainkan hanya merupakan resiko biaya politik, yakinlah bahwa Hukum
Agama Islam jelas-jelas melarang suap-menyuap, dan terang bahwa dalil tersebut
tak hanya berlaku bagi seorang yang menyuap ketika akan mendaftar menjadi PNS,
TNI, POLRI, Hakim atau jabatan publik lainnya, ketika ditilang, ketika
berurusan dengan persoalan hukum, ketika berurusan dengan hal-hal yang
–dianggap- sulit, melainkan juga bisa berlaku pada saat pemilih diberikan uang
agar mau memilih si pemberi uang.
Tak ada lagi pembenaran!.
[4] Bandingkan dengan Risywah dalam: http://www.dakwatuna.com/2012/02/07/18400/hukum-risywah-suap/#axzz32DSz5hYu
Comments
Post a Comment