Ngompol

-mau tak mau NGOMongPOLitik juga-

Politik memang logis saat mengutarakan kepentingan, saat berbicara kapan menjadi kawan dan kapan menjadi lawan, tapi sering tidak logis. Membenarkan segala cara demi tercapai tujuannya, demi tidak tercapai tujuan lawan politiknya.
Saat tak punya kelebihan, mengujat lawan tentu jadi pilihan. Karena dalam politik, saat diri sadar tak ada kelebihan, akan lebih baik mendapati lawan memiliki banyak kelemahan. Karena masyarakat juga sudah pandai menilai, tak logisnya politik pun terkadang diputar-putar.

Bila dulu, orang yang baik itu hampir pasti benar. Dalam politik, akan menjadi relatif. Orang baik tak selalu benar, karena orang baik pasti ada maunya. Orang benar bisa saja dianggap tak baik, sebab orang benar bukanlah orang yang baik, karena kadang dia tak ada maunya makanya dianggap bukan orang baik. Berputar-putar?

Dalam politik, orang mengaji pun kadang dicaci, karena dianggap melakukan pencitraan dengan memanfaatkan ayat-ayat suci. Sementara orang mencuri malah dipuji, karena dianggap lebih mewakili keadaan ekonomi dan situasi masyarakat saat ini.

Dosa dan jasa adalah hal yang bersifat alternatif, bukan kumulatif. Saat kepentingan mendukung, maka yang ditunjukkan adalah jasa-jasa dan hasil karyanya. Bahkan menepuk lalat pun, terkadang digembar-gemborkan sedemikian rupa, seolah itu dapat merubah peradaban bangsa. Namun ketika kepentingan bertolak belakang, dosa-dosa yang bahkan sebenarnya tak berdasarkan fakta dan tak lagi relevan saat ini, bisa dikejar sampai kemana-mana. Sampai ingat sindiran seorang Ulama, “salah-salah dosa Adam saat memakan buah khuldi, yang menyebabkan manusia turun dan berkembang di bumi pun, bisa-bisa dituntut pertanggungjawabannya”.

Itulah hinanya politik, menyanjung saat dia perlu, menerjang dan menyerang kala kepentingan saling berhalang.

Sebenarnya sah-sah saja saling “menyerang” saat kepentingan politik saling berseberangan, karena itu secara tidak langsung akan menunjukkan kualitas dan jatidiri para politisi. Namun hendaknya didasarkan pada fakta (empiris dan/atau yuridis), sehingga yang dijadikan senjata untuk saling menyerang itu menjadi bahan evaluasi, bukan hanya menimbulkan konflik dan polemik belaka, terlebih dikalangan simpatisan dan konstituen, yang –sudah hampir pasti- berpotensi menimbulkan konflik fisik.

Kampanye negatif secara etis diperbolehkan, mempertunjukkan kelemahan lawan – yang didasarkan fakta (empiris dan/atau yuridis) tadi- dan menjanjikan bahwa dirinya tidak akan melakukan hal tersebut. Namun kampanye negatif itu pun seharusnya menjadi non-core activities, karena yang dilakukan dalam politik adalah menawarkan perbaikan, bukan menunjukkan kekurangan. Sementara “serangan” yang kerap dilakukan oleh para pelaku politik di negeri ini, bukan kampanye negatif, melainkan kampanye gelap/hitam, yang menebar fitnah –karena tidak didasari fakta (empiris dan/atau yuridis)- dan kebencian diantara kepentingan yang berseberangan.

Namun kreatifnya politik, sebuah kampanye gelap/hitam pun bisa dimanfaatkan untuk kepentingannya sendiri. Antitesis dari sebuah pencitraan, tetap bisa dijadikan ajang pencitraan.

Tudingan kepada rezim sebelumnya yang kerap menggunakan pencitraan untuk meningkatkan elektabilitas –yang diakui atau tidak merupakan hal paling efektif-, juga digunakan kembali oleh (calon) rezim saat ini. Toh, buktinya citra “sering dihujat” “teraniaya” “banyak kesusahaannya” menjadi hal yang signifikan untuk mendapat simpati juga kepercayaan dari masyarakat.

Lebih ekstrim lagi, pencitraan seperti itu dinaikkan levelnya menjadi penghinaan dan pembunuhan karakter, namun sebenarnya itu hanya kamuflase, karena tujuan utamanya masih saja tetap: simpati dan kepercayaan dari masyarakat, demi terwujudnya hasrat kekuasaan dan kepentingan politik golongannya.

Lantas, pakar seperti Bertolt Brecht yang menyatakan: ”Buta-huruf terburuk adalah buta-huruf politik. Ia ogah mendengar, emoh ngomong, dan pantang berpartisipasi dalam peristiwa politik. Ia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh, sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya, mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya, lahirlah pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi busuk, serta perusahaan nasional dan multinasional yang korup..”, sepertinya –secara mutatis-mutandis J - belum bisa ditujukan kepada perpolitikan negeri ini.


Karenanya, #ahsudahlah. Setiap orang punya pilihan politik. Bersikap, ataupun tidak bersikap.

Comments

Popular posts from this blog

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc

Kota Bandung dan Kota Malang