Masih ada Etika Politik (?)
Entah
mengapa, akhir-akhir ini penulis mudah tersentuh oleh perilaku beberapa
politisi yang hilir mudik muncul di TV. Ini arti harfiah, yang sebenarnya.
Bukan sindiran apalagi majas ironi yang ditujukan pada perilaku pragmatis dan
munafik dari kebanyakan politisi, namun benar adanya diantara sekian banyak
politisi yang mengejar kekuasaan dengan berbagai cara dan usaha, masih ada yang
mampu menjaga etika, cara serta tujuan politisnya untuk kebajikan yang lebih
besar –setidaknya menurut penulis.
Bagian I
Perlu
diketahui bahwa penulis bukanlah pengagum Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY), bahkan bisa dikatagorikan sebagai haters
karena berbagai kebijakannya yang berseberangan dengan pandangan politik maupun
kepentingan yang diusung SBY selama memimpin negeri ini. Di berbagai
kesempatan, penulis sering mengkritik bahkan mencibir dan mencela segala
tindakan SBY dalam memutuskan atau menyikap suatu issu vital, yang kadang
terlalu “cengeng” , “lunak” dan sering “merajuk”, seolah-olah beliau bukan berasal
dari kalangan militer.
Terlebih
partai yang diusungnya, Partai Demokrat, yang sudah dua kali memenangi
Pemilihan Umum, sering meneriakkan jargon anti-korupsi, padahal kenyataannya
sekarang sebagain besar dari mereka bermasalah dengan korupsi, telah menjadi
terpidana, maupun yang masih jadi tersangka. Ditambah lagi dengan ulah kader-kadernya
yang terkadang tidak etis dan merusak citra Parta Demokrat sendiri, semisal
Ruhut Sitompul, Sutan Bhatoegana, Benny K. Harman maupun Ramadhan Pohan, yang
sering tampil di depan publik, untuk mempertontonkan “kepintaran” dan
“intelektualitas” mereka, dengan menafikan fakta bahwa masyarakat sekarang kebanyakan
sudah melek dan lebih pandai menilai, siapa yang omong besar, siapa yang berjiwa
besar.
Dari
rangkaian fakta-fakta tersebut, maka tak heran penulis adalah anti-Demokrat,
termasuk tentunya SBY yang terkesan membiarkan kader-kadernya liar memberikan
komentar ini-itu di media massa-
elektronik maupun cetak-, malah kadang terkesan lebay dan keterlaluan. Ingat
perdebatan Ruhut Sitompul saat sidang Komisi III dengan Gayus Lumbun, yang
sekarang menjadi Hakim Agung? Sampai mengeluarkan kata-kata –maaf-bangsat[1]?
Atau debat Ruhut dengan Hotman Paris Hutapea di ILC yang mengeluarkan kata-kata
kasar -maaf-monyet[2],
atau perkataan rasis Ruhut kepada Boni Hargens, yang menyatakan dia Pengamat
Hitam[3]
dengan menganalogikannya kepada lumpur Lapindo?
Semuanya
menunjukkan betapa kesantunan dan –katakanlah- pencitraan baik bagi Partai
Demokrat menjadi tak berbekas tatkala masyarakat tahu bahwa Ruhut Sitompul
berulah seperti itu dan fakta bahwa dia adalah bagian dari Partai Demokrat.
Belum lagi persoalan lain yang sering dimunculkan oleh kader lain seperti Sutan
Bhatoegana yang sering bersikap atau berkomentar “unik” di depan publik atau
yang lainnya.
Sekarang
pemilu telah usai, dan klaim-klaim masyarakat mendukung Partai Demokrat, rakyat
sudah cerdas dan pintar memilih –Partai Demokrat- yang diklaim oleh Ruhut
Sitompul, sudah terbukti keliru karena meskipun baru sebatas hitung cepat,
Partai Demokrat hanya mendapat 9-10% suara nasional. Maka tumbanglah dominasi
Partai Demokrat di legislatif, yang mungkin juga diikuti oleh Pemerintahan
pasca pilpres nanti.
Hal
yang membuat penulis kagum dan berbalik simpati kepada SBY – yang menjadi Ketua
Umum Partai Demokrat- adalah, seketika setelah hitung cepat dikatakan usai,
beliau mengucapkan selamat kepada PDI Perjuangan yang –secara hitung cepat-
memenangi Pemilihan Legislatif di 2014. Penulis menilai bahwa ucapan seorang
politikus yang menyatakan selamat kepada lawan politiknya, terlebih dia adalah
petahana, yang tentunya masih memiliki kekuasaan atas penyelenggaran
pemerintahan, memerlukan kesadaran diri dan kebesaran hati yang luar biasa.
Karena politisi-politisi yang lain, kebanyakan tidak akan mau menerima hasil
proses demokrasi yang bertentangan dengan pendapat dan kepentingan mereka.
Berbagai upaya akan dilakukan, baik melalui jalur hukum maupun jalur lain yang “kasar”.
Namun kebesaran hati SBY dalam hal menyikapi hasil Pemilihan Legislatif ini,
cukup membuat penulis simpati dan mengakui bahwa beliau adalah politisi yang
tetap berpegang teguh pada etika berpolitik dan berjiwa besar saat kalah
ataupun menang, terlepas dari berbagai kekurangannya selama memimpin negara
ini.
Hal
kedua yang membuat penulis berbalik menjadi simpati kepada SBY adalah, sikap
konsistennya terkait Konvensi Calon Presiden dari Partai Demokrat. Di saat kader-kadernya
yang lain secara sinis dan pragmatis menyatakan Konvensi Calon Presiden Parta
Demokrat usai, karena perolehan suara Partai Demokrat tidak cukup untuk
mengajukan sendiri Calon Presidennya, seperti pernyataan Nurhayati Ali Assegaf[4],
Marzuki Alie[5]
atau Andi Nurpati[6].
Konsistensi
SBY untuk menyelesaikan Konvensi Calon Presiden dari Partai Demokrat, di satu
sisi mungkin ditanggapi sebagai suatu kesia-siaan politik. Sebab dari kalkulasi
perhitungan suara yang ada, sangat kecil kemungkinan Partai Demokrat bisa
mengajukan siapapun pemenang Konvensi, menjadi Calon Presiden 2014-2019. Namun,
keputusan SBY tersebut harus dipuji sebagai suatu pendidikan politik agar tidak
plintat-plintut dalam membuat suatu sistem, agar menyelesaikan sistem yang
telah dibuat dan tidak setengah-setengah.
Secara
faktual, dapat diperkirakan bagaimana perasaan Gita Wirjawan yang –sengaja- mengundurkan
diri dari kursi empuk Menteri Perdagangan hanya karena ingin fokus di Konvensi
Calon Presiden, tatkala misalnya SBY menyatakan Konvensi terhenti di tengah
jalan. Atau bagaimana sikap Dahlan Iskan yang sekalipun tidak mundur dari
jabatan Menteri Negara BUMN, tetapi telah digadang-gadang bakal memenangi
Kovensi tersebut, terlepas dari pencitraan dirinya atau tidak? Atau bagaimana
konsep segar dan kerja keras dari Anies Baswedan yang tak lelah mengajarkan,
mendidik dan memberikan pemahaman politik berbeda dan anti-mainstream dengan
sasaran kaum muda yang selama ini apatis politik karena telah muak dengan
kenyataan politik & politikus yang ada selama ini. Apakah beliau tidak
menyesali keputusannya terjun dari dunia putih akademisi ke dunia abu-abu nan
hitam dunia politik, demi sebuah gerakan pembaruan bernama “turun tangan”?
Saat
SBY menyatakan bahwa Konvensi Calon Presiden tetap dilanjutkan, saat itulah
penulis menyadari bahwa kenegarawan-an SBY, keetisan SBY dalam berpolitik dan
konsistensi SBY dalam menjalankan apa yang dirancangnya, memang tak hanya
retorika belaka. Dan hal itu, herannya cukup membuat penulis berbalik simpati
kepada beliau, setelah berbagai hal yang penulis nilai minus dari sosoknya
sebagai seorang pemimpin negeri. Tak banyak sosok politisi seperti SBY.
Bagian II
Meratanya
perolehan suara partai berbasiskan Islam di Pemilu 2014, di satu sisi menimbulkan wacana positif untuk membangun
koalisi diantara mereka, tapi di sisi lain berbenturan dengan pragmatisme dan
kepentingan mereka sendiri untuk tetap mempertahankan posisi dan prestise
kekuasaannya.
Amien
Rais tak diragukan lagi adalah salah satu tokoh sentral di era reformasi, baik
dalam kedudukannya sebagai salah satu petinggi ormas Islam pada saat itu,
maupun sebagai Ketua MPR kemudian. Atas konsepnya, muncullah poros tengah yang
berhasil mendapuk Abdurrahman Wahid menjadi Presiden, yang bisa jadi dikatakan
oleh kalangan dari PDI Perjuangan sebagai upaya penjegalan Megawati menjadi
Presiden pada saat itu.
Melihat
geliat politik saat ini, agak mengherankan juga setelah sekian lama menghilang
dari hingar-bingar perpolitikan Indonesia, Amien Rais tiba-tiba turun gunung
melakukan pertemuan dengan partai-partai Islam di rumah salah satu pengusaha[7].
Dan hal tersebut langsung ditanggapi negatif oleh beberapa kalangan yang dari
awal sudah menggadang-gadang calon presidennya sendiri[8].
Meski jelas, Amien Rais membantah dan menyatakan bahwa pertemuan itu bukan
terkait sosok Calon Presiden, melainkan murni koalisi demi penguatan dan
kebajikan Indonesia Raya.
Mungkin
penulis tidak menilai pernyataan kehendak Amien Rais itu dari sudut pelik yang
bermacam-macam dan sarat praduga politik. Namun saat melihat sosok sepuh Amien
Rais di televisi, yang –menurut penulis- minus kepentinga pribadinya sendiri,
memang perlu disikapi secara baik sangka. Sebab apa yang hendak dicari lagi
bagi sosok sepuh seperi Amien Rais, masak
iya masih mencari keuntungan dari politik? Atau masih mencari jabatan, apakah
masih relevan dengan usia se-senior itu? Sehingga iktikad dari Amien Rais serta
partai-partai Islam tersebut hendaknya disikapi dengan anggapan bahwa memang
tujuan utamanya adalah demi perbaikan bangsa, serta keterwakilan kepentingan
kalangan Islam semata, bukan atas kepentingan pragmatis semata. Sebab partai
Islam selama ini, sudah “terkenal” tidak mau bersatu, dan terikat dengan
pragmatisme masing-masing, yang kadang terlalu negotiable dan malah memuakkan.
Lantas,
saat ada tokoh yang menyatakan dan menggagas disatukannya kepentingan Partai
Islam demi kepentingan yang lebih besar, masak
kita malah berburuk sangka dan menuding negatif hanya karena dugaan kompromi
poltik dan bagi-bagi kekuasaan? Ingat, pada saat Amien Rais menjadi Ketua MPR ±
16 tahun yang lalu, banyak dukungan yang mengarah kepadanya agar mencalonkan
diri jadi Presiden. Namun dengan kearifannya, beliau malah mendorong
Abdurrahman Wahid untuk menjadi Presiden – meskipun kemudian dilengserkan-,
bagaimana bisa seorang Muhammadiyah malah mendorong seorang NU menjadi Presiden
saat ia sebenarnya memiliki kesempatan untuk itu? Tentunya motif politik
seperti itu tidak bisa dianggap karena adanya kompromi politik atau tawar
menawar politik diantara keduanya. Itulah etika politik, seperti halnya yang
saat ini –penulis nilai- tengah dilakukan oleh Amien Rais. Pendewasaan politik,
tanpa kepentingan pragmatis.
Ya,
Amien Rais di usianya yang sudah sepuh masih memiliki kepedulian dan keinginan
agar Partai-partai politik berbasiskan Islam mau bersatu, menepikan sejenak
kepentingan politik pragmatis yang kental tawar-menawar kedudukan. Namun sayangnya,
hal tersebut ditanggapi dingin, tak hanya oleh elite politik, namun juga
kebanyakan masyarakat, yang menilai tindakannya itu karena pengaruh kekuasaan
semata, pengaruh kepentingan semata. Tanpa benar-benar memahami dan memaknai
sebenarnya motif apa yang mendasarinya.
Kompromi
politik kini, kadang memang menafikan akat sehat dan hati nurani. Saat yang ada
dalam pikiran hanya kekuasaan dan posisi menguntungkan, maka se-jijik apa pun
hal yang ditawarkan, pasti akan diterima asalkan menghasilkan kontraprestasi
yang sebanding. Sebaliknya, sebaik apa pun konsep, saat dipandang tidak akan
menguntungkan, maka akan ditolak mentah-mentah dan dianggap sebagai konsep
usang, naif dan utopis belaka.
Berbagai
gagasan Amien Rais memang kebanyakan anti-mainstream,
dan mengejutkan. Dan hal itu patut diakui juga kebanyakan tidak mendapatkan
banyak dukungan apalagi keuntungan bagi dirinya maupun masyarakat kebanyakan.
Namun bagi mereka yang rindu akan kemapanan sebuah konsep– bukan sosok-,
“kebajikan yang lebih besar” tentunya gagasan itu patut didukung. Seperti
halnya apa yang saat ini diwacanakan olehnya dan pimpinan partai-partai Islam,
disikapi dengan bijak dan dipahami secara utuh. Dengan sejenak menepikan
pragmatisme untuk kepentingan pribadi semata. Semoga saja itu tertanam dalam di
kepala elite-elite politik kita.
Comments
Post a Comment