Beberapa Persoalan Sekitar Outsourcing


BEBERAPA PERSOALAN SEKITAR OUTSOURCING[1]
Oleh: Febby Fajrurrahman, SH[2].

Dalam perjalanan kereta api menuju Malang di akhir tahun 2013 kemarin, secara kebetulan penulis duduk dan berbincang dengan seorang staf bagian legal dari sebuah perusahaan rokok ternama di Indonesia, yang juga ternyata seorang advokat. Perbincangan awal kami adalah hal-hal umum mengenai tenaga kerja, yang berlanjut ke persoalan outsourcing dalam praktek ketenagakerjaan di Indonesia. Dari staf bagian legal tersebut, penulis menggali dan bertukar informasi yang kemudian dia simpulkan bahwa ada 2 tipikal outsourcing yang ada, berlaku dan diterapkan berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, yakni outsourcing manufaktur dan outsourcing tenaga kerja.

Selanjutnya dari rasa penasaran terhadap pernyataannya tersebut, maka penulis kembali membaca persoalan hukum ketenagakerjaan, seperti sekitar 7 tahun yang lalu saat masih menjadi HRD di sebuah perusahaan swasta.

Definisi dasar
Istilah outsourcing atau alih-daya sendiri tidak ditemui secara tegas di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hanya dapat diduga, bahwa istilah outsourcing itu merujuk kepada ketentuan Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Yang pada pokoknya, ketiga pasal tersebut merujuk kepada keberadaan perusahaan lain, yang melaksanakan sebagian pekerjaan suatu perusahaan baik dalam bentuk pemborongan pekerjaan maupun penyediaan tenaga kerja.

Secara istilah, outsourcing diartikan sebagai: “The procuring of services or products, such as the parts used in manufacturing a motor vehicle, from an outside supplier or manufacturer in order to cut costs” atau dapat pula diartikan “contracting with outside sources, disposing of, eliminating work, eliminating workers, going outside, hiring outside sources, retaining others, retaining outside sources, subcontracting”. Atau menurut Black’s Law Dictionary yang mendefinisikannya sebagai[3]: The delegation of non-core activities to outside agencies and contractors. Called contracting out, this allows businesses to benefit from specialist skill sets without paying for an in-house team, and it enables companies to focus on the areas of expertise in which they enjoy a competitive advantage.

Secara bebas, bahwa pengertian outsourcing menurut Black’s Law Dictionary adalah: pendelegasian/pemindahan kegiatan sekunder/sampingan perusahaan, kepada agensi atau kontraktor luar. Melakukan perjanjian, yang memungkinkan keuntungan bisnis dari suatu keahlian khusus tanpa membayar (lagi) kepada tim di internalnya, sehingga perusahaan dapat fokus pada keahlian dimana mereka bisa lebih mendapatkan keuntungan kompetitif.

Kata kunci yang menjadi inti dari outsourcing menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah “pelaksanaan sebagian pekerjaan, baik dalam pemborongan maupun penyediaan tenaga kerja”. Sedangkan berdasarkan definisi asalnya, kata kunci dari outsourcing adalah: non-core activities dan hiring outside sources.

Konsep yuridis Outsourcing
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011, istilah outsourcing kian populer, bahkan lebih dari terjemahan bahasa Indonesianya yaitu alih-daya. Kendati sebenarnya praktek pengalihan sebagian pekerjaan –sebagai konsep dasar outsourcing- telah ada bahkan sebelum Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 disahkan.

Merujuk pada pendapat Juhanda Pangaribuan[4], terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut ada yang gembira dan ada yang mencibir. Kelompok yang gembira berasumsi bahwa Mahkamah Konstitusi telah menyatakan outsourcing dan PKWT sebagai praktik illegal. Asumsi lain menyimpulkan, Mahkamah Konstitusi telah menghapus sistem outsourcing dan PKWT. Yang mencibir berkata, putusan Mahkamah Konstitusi melegalisasi dan mengkonstitusionalkan sistem outsourcing dan PKWT.

Pasal 64 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 yang berbunyi: “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”, memberikan batasan bahwa outsourcing itu adalah pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh.

Lebih lanjut dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, secara kumulatif outsourcing dalam hal ini Pemborongan, itu harus memenuhi syarat:
      a)      dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
      b)     dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; 
      c)      merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
      d)     tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Dari 2 ketentuan normatif tersebut di atas, bila dikaitkan dengan pengertian awal dari outsourcing berdasarkan Black’s Law Dictionary sebagaimana disebutkan diatas, ada unsur utama yang patut dikaji dan dianalisa, yakni unsur non-core activities yang diperbandingkan dengan unsur: dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; dan merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan.

Contoh sederhananya adalah sebuah bank, idealnya memiliki pegawai yang memiliki keahlian di bidang keamanan. Oleh karena core activities/business dari bank adalah di bidang jasa keuangan, maka bisa disebut bidang keamanan bank merupakan non-core activities/business. Sehingga dalam hal ini, untuk mereduksi biaya dan waktu, maka daripada pihak bank sendiri merekrut tenaga kerja untuk kemudian dilatih dan ditugaskan sedemikian rupa agar bisa memiliki kemampuan di bidang keamanan bank, lebih lumrah bila jalan yang ditempuh adalah melakukan kerjasama dengan perusahaan khusus yang telah memiliki spesialisasi di bidang keamanan bank. Maka pegawai yang dipekerjakan atas dasar perjanjian antara bank dengan pihak penyedia tenaga kerja –spesifiknya bidang keamanan- itulah, yang disebut tenaga outsourcing. Tenaga kerja itu bekerja dan ditempatkan –sebagai petugas keamanan-di bank, namun statusnya bukan pegawai bank tersebut.

Core activities vs non-core activities
Lantas, yang jadi persoalan adalah bagaimana bila yang dilakukan oleh perusahaan outsourcing itu bukanlah non-core activities/business? Dengan kata lain, pekerjaan yang di-outsourcing-kan kepada perusahaan outsourcing itu malah pekerjaan/kegiatan utama perusahaan.

Bila merujuk kepada pengertian asalnya, jelas hal tersebut tidak bisa dan bukanlah pengertian outsourcing, akan tetapi ketentuan normatif  Pasal 65 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, ternyata menghaluskan konsep “non-core activities/business” menjadi “dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama” atau “separated with core activities/business”. Sehingga ketentuan yang (di)lunak(kan) ini, memang memungkinkan adanya outsourcing terhadap core activities/business suatu perusahaan.
Tabel 1
Outsourcing dalam beberapa versi
Aspek Pembeda
Gramatikal/Black’s Law Dictionary
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
Peraturan Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012
Definisi
The delegation of non-core activities to outside agencies and contractors. Called contracting out, this allows businesses to benefit from specialist skill sets without paying for an in-house team, and it enables companies to focus on the areas of expertise in which they enjoy a competitive advantage
Tidak ditemukan
Tidak ditemukan
Bentuk
The delegation of non-core activities to outside agencies and contractors; hiring outside resources.
Pemborongan Pekerjaan
Penyediaan jasa pekerja/buruh
Pemborongan Pekerjaan
Penyediaan jasa pekerja/buruh
Batasan
Non-core activities
Pemborongan Pekerjaan:
dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama
dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Penyediaan jasa pekerja /buruh:
adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
bentuknya PKWT atau PKWTT yang ditandatangani
perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis
Pemborongan Pekerjaan:
dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama
dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Penyediaan jasa pekerja /buruh:
adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
bentuknya PKWT atau PKWTT yang ditandatangani
perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis

Sumber: Black’s Law Dictionary, UU Nomor 13 Tahun 2003 dan  Peraturan Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 (diolah)
Regulasi outsourcing masih lemah?
Sejatinya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tidak menghilangkan sistem kerja Outsourcing, melainkan hanya dibatasi dan diperketat sebagaimana halnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012, Pasal 17 ayat (3) yang hanya membolehkan lima bidang/jenis pekerjaan untuk di-alihdaya-kan, yakni:
      1)      usaha pelayanan kebersihan (cleaning service);
      2)      usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering); 
      3)      usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan);
      4)      usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan
      5)      usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.

Akan tetapi, sebenarnya di luar kelima bidang pekerjaan itu, masih dimungkinkan adanya alih daya pekerjaan di bidang lainnya, yaitu dengan menggunakan nomenklatur Perjanjian Pekerjaan Pemborongan. Hal ini bisa dikatakan merupakan celah yang menjadi kelemahan –atau mungkin pelemahan- yang bisa dimanfaatkan untuk berkelit dari kewajiban pemberian hak-hak tertentu kepada pekerja/buruh.

Di dalam Undang-undang Ketenagakerjaan maupun peraturan lain yang terkait, termasuk Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, tidak ditemui definisi maupun persyaratan bidang/jenis pekerjaan apa yang bisa diborongkan kepada perusahaan lain, apakah non-core activities/business saja, atau bisa juga core activities/business? Sehingga tiadanya batasan ini, disinyalir bisa menyebabkan menjamurnya outsourcing di dalam praktek ketenagakerjaan kita, sekalipun bidang pekerjaan yang dilakukan tidak termasuk 5 bidang pekerjaan sebagaimana dimaksud Pasal 17 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tersebut diatas atau bidang pekerjaan itu tergolong core activities/business, namun tidak jadi soal karena bisa dilakukan dengan nama (perjanjian) pemborongan pekerjaan.

(Perjanjian) Pemborongan Pekerjaan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Sebenarnya, apa perbedaan antara (perjanjian) pemborongan pekerjaan dengan perjanjian kerja waktu tertentu? Secara mendasar, keduanya memiliki kesamaan bahwa perjanjian kerja usai bila pekerjaan telah selesai dilaksanakan. Lantas mengapa muncul dua istilah yang merujuk pada 2 konteks yang berbeda di Undang-undang Ketenagakerjaan?
Berdasarkan ketentuan pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, disebutkan bahwa: “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:”
      a.      pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
      b.     pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
      c.       pekerjaan yang bersifat musiman; atau
     d.   pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Sedangkan, definisi maupun batasan dari (perjanjian) pemborongan pekerjaan tidak ditemui dalam Undang-undang Ketenagakerjaan maupun turunannya. Sehingga kita hanya bisa menerka, bahwa (perjanjian) pemborongan pekerjaan adalah pekerjaan yang didasarkan pada selesainya suatu pekerjaan dalam target atau kapasitas tertentu. Misalnya pekerjaan borongan pembangunan gedung, dianggap selesai saat gedungnya telah berdiri lengkap. Maka secara otomatis (perjanjian) pemborongan pekerjaan terhadapnya pun dianggap usai.

Dari definisi sederhana itu, kita bisa mengidentifikasikan bahwa baik (perjanjian) pemborongan pekerjaan maupun perjanjian kerja waktu tertentu berdasarkan kriteria di atas, memiliki konsep dasar yang tidak terlalu jauh berbeda. Yakni usainya perjanjian, didasarkan pada selesainya pekerjaan yang diperjanjikan. Hanya yang menjadi persoalan, dapatkah (perjanjian) pemborongan pekerjaan diperjanjikan pada satu bidang pekerjaan yang secara terus menerus ada (tetap), dalam hal ini merujuk kepada ketentuan pasal 59 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, maupun kata kunci dari outsourcing sendiri, yakni non-core activities/business.

Secara kontekstual Undang-undang Ketenagakerjaan, hal ini mungkin keliru karena perjanjian kerja waktu tertentu dengan (perjanjian) pemborongan pekerjaan merupakan dua nomenklatur yang berbeda dan dibedakan. Akan tetapi secara sosiologis dan filosofis, dimungkinkannya perjanjian pemborongan terhadap satu bidang pekerjaan yang secara terus menerus ada (tetap) akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pekerja/buruh yang dipekerjakan dalam (perjanjian) pemborongan pekerjaan, karena sewaktu-waktu bisa saja ia kehilangan pekerjaannya-dengan berbagai alasan-, kendati bidang pekerjaan yang digelutinya sebenarnya masih tetap ada. Dengan kata lain, kontinuitas (perjanjian) pemborongan pekerjaan tidak lebih aman daripada perjanjian kerja waktu tertentu, kendati bidang pekerjaannya sama dengan apa yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu, karena sifatnya yang tetap.

Sebagai perbandingan, hal ini secara kasuistis sejalan dengan pertimbangan hukum MK dalam Putusan Nomor 27/PUU-IX/2011, yang dikutip oleh Juanda Pangaribuan, yang pada pokoknya menyatakan[5]: Model pertama, outsourcing dilakukan dengan menerapkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) secara tertulis. Model ini bukan hal baru sebab Pasal 65 ayat (7) UU Ketenagakerjaan telah mengaturnya secara opsional. Model kedua, lanjut MK, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing

Secara sederhana, berikut perbandingan antara (perjanjian) pemborongan pekerjaan, PKWT dan PKWTT dengan berpedoman pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan:


Tabel 2
Perbandingan Pemborongan Pekerjaan, PKWT dan PKWTT
Aspek Pembeda
(Perjanjian) Pemborongan Pekerjaan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
Dasar Hukum
Pasal 64 & 65 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2013
Pasal 56, 58, & 59 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2013
Pasal 56 & 60 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2013
Sifat Pekerjaan
Tidak Jelas. Jadi diartikan bisa sementara ataupun tetap*
Sementara
Tetap
Status Pekerja/buruh
Outsourcing
Pekerja tidak tetap
Pekerja tetap
Lingkup Pekerjaan
Terpisah dari kegiatan utama**
Kegiatan Utama
Kegiatan Utama
Usainya Perjanjian
Selesainya pekerjaan/target tertentu
jangka waktu; atau
selesainya suatu pekerjaan tertentu
Kesepakatan untuk mengakhiri perjanjian;
Pekerja di-PHK atau meninggal dunia
Sumber: UU Nomor 13 Tahun 2003 (diolah)
Keterangan:
*Karena ketentuan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tidak memberikan batasan rinci mengenai sifat pekerjaan apa yang bisa dilakukan dalam pemborongan pekerjaan.
**Terpisah dari kegiatan utama, bukan berarti berbeda dengan kegiatan utama. Bisa saja itu sama-sama kegiatan utama, namun dipisahkan prosesnya.

Dilakukannya uji materiil–bahkan lebih dari sekali- terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, maupun pergerakan sporadik dari kaum buruh yang menuntut dihapuskannya sistem outsourcing dalam praktek ketenagakerjaan di Indonesia, merupakan satu sinyalemen bahwa memang ada yang kurang sesuai antara konsep dasar outsourcing, peraturan perundang-undangan yang mengatur serta prakteknya dalam hubungan industrial selama ini. Sebab, oleh karena praktek ketenagakerjaan senantiasa dinamis dan berkaitan erat dengan industri-perekonomian secara umum, maka idealnya harus diimbangi dengan ketegasan dan kepastian regulasi yang mengatur. Sehingga tenaga kerja, selaku komponen vital dari industri-perekonomian akan paralel taraf hidupnya dengan perkembangan ekonomi yang ada.
Tabel 3
Kelebihan dan Kekurangan Sistem Outsourcing Bagi Pekerja/Buruh
No.
Kelebihan
Kekurangan
1.
Menimbulkan iklim kompetitif bagi pekerja.
Kontinuitas pekerjaan dan jaminan hidup pekerja/buruh lebih beresiko
2.
Memudahkan pencari kerja untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan.
Jenjang karir tidak jelas.
3.
Mendapatkan pelatihan yang tepat & memadai dalam bidang pekerjaannya.
Adanya pemotongan penghasilan oleh Perusahaan outsourcing.
4.
Pekerja dengan spesialisasi khusus, bisa menjadi rebutan perusahaan, sehingga penghasilannya besar.
Pemberian tunjangan/hak tertentu untuk pekerja/buruh sangat selektif dan parsial.
Sumber: Dari berbagai sumber (diolah)
Kita tidak bisa menuduh bahwa pengusaha di Indonesia adalah pengusaha yang secara membabi-buta menerapkan prinsip ekonomi seekstrim-ekstrimnya, yakni meminimalisir belanja modal (dan tenaga kerja) demi mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, tidak pula bisa kita katakan bahwa Pengusaha di Indonesia merupakan Pengusaha baik hati yang mau menanggung segala biaya dan kerugian yang timbul dari usahanya, asal produk yang dihasilkan bagus dan tenaga kerja yang dibiayainya bisa hidup dalam keadaan yang sangat layak.

Disinilah peran pemerintah dan DPR sebagai pihak yang berwenang menyusun peraturan perundang-undangan, agar tidak membentuk peraturan perundang-undangan yang ambigu, multi tafsir maupun terlalu fleksibel, melainkan harus bisa menghadirkan regulasi yang jelas dan tegas namun fair untuk pekerja maupun pengusaha.

Kesimpulan:
Outsourcing berdasarkan Undang-undang Ketenagakerjaan terbagi dalam 2 jenis besar: pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja/buruh, meskipun sejatinya konsep dasar outsourcing ialah penyediaan jasa tenaga kerja/buruh. Sehingga sebenarnya perluasan konsep outsourcing menurut Undang-undang Ketenagakerjaan bisa dikatakan merupakan penghalusan batasan atau bahkan negotiable term yang semestinya bisa dihindari oleh pembentuk Undang-undang.

Belum ada pengaturan yang rinci dan jelas terhadap pekerjaan pemborongan, baik definisi maupun batasan jenis kegiatannya, meskipun pada dasarnya (Perjanjian) Pemborongan Pekerjaan memiliki sifat yang identik dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Sehingga bisa jadi pengusaha yang memerlukan perjanjian kerja waktu tertentu, namun tidak mau dipusingkan oleh berbagai kewajiban terkait tenaga kerjanya, berlindung di balik outsourcing (Perjanjian) Pemborongan Pekerjaan.
Saran:
Harus dilakukan perubahan secara mendasar terhadap pengertian dan batasan outsourcing dalam Undang-undang Ketenagakerjaan. Atau ekstrimnya, menghilangkan sama sekali term (perjanjian) pemborongan pekerjaan dari definisi outsourcing.

Bila perubahan terhadap Undang-undang Ketenagakerjaan dirasa akan terlalu memakan waktu, biaya dan proses yang berbelit-belit, hal yang bisa dilakukan terkait outsourcing dalam hal (perjanjian) pemborongan pekerjaan adalah diterbitkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi, dengan memberikan batasan jenis kegiatan yang bisa dilakukan (perjanjian) pemborongan pekerjaan terhadapnya. Sehingga konsep core activities dalam PKWT dan PKWTT, tidak memiliki pertentangan norma dengan non-core activities dalam outsourcing.



[1] Artikel sebagaimana dimuat dalam Majalah Varia Peradilan Tahun XXIX No. 339 Februari 2014
[2] Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi
[3] Law Dictionary: http://thelawdictionary.org/letter/o/page/51/#ixzz2qQoPmltN. Diakses tanggal 15 Januari 2014
[4] Hakim Adhoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
[5] Juanda Pangaribuan. Legalitas Outsourcing Pasca Putusan MK.. Artikel pada hukumonline.com Diakses tanggal 15 Januari 2014

Comments

Popular posts from this blog

Kota Bandung dan Kota Malang

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc