Alat Bukti Elektronik dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Bagian II)
Sebagai
perbandingan, dalam Hukum Acara Mahkamah Konsitusi telah dikenal keberadaan
dokumen elektronik sebagai alat bukti. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 36
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003, yakni:
(1) Alat bukti ialah:
a. surat atau
tulisan;
b. keterangan
saksi;
c. keterangan ahli;
d. keterangan para
pihak;
e. petunjuk; dan
f. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu.
Dalam huruf f ketentuan Pasal 36 ayat (1)
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tersebut, keberadaan dokumen elektronik yang
diajukan sebagai alat bukti, telah menjadi ius consitutum. Dengan
demikian, tak ada persoalan lagi tentang bisa atau tidaknya informasi atau
dokumen elektronik dijadikan alat bukti di Mahkamah Konstitusi.
Hanya saja, sebagian besar kalangan yang sering
beracara di Mahkamah Konstitusi kerap menyamakan Hukum Acara dengan di
Pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Maka tak heran bila akan
ditemui pihak yang keukeuh mengajukan dokumen elektronik sebagai alat
bukti di Peradilan Tata Usaha Negara maupun lingkungan Peradilan lain yang
berada di bawah Mahkamah Agung.
Jelas, ketentuan Pasal 100 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 44 Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, memiliki
pertentangan hukum terkait apa saja alat bukti yang diakui dalam pemeriksaan
persidangan. Maka untuk menyikapi pertentangan hukum ini, harus dikembalikan
kepada prinsip asas umum perundang-undangan. Yakni:
1.
Lex superior derogate legi inferiori
2.
Lex posterior derogate legi priori
3.
Lex specialis derogate legi generali;
Terhadap poin pertama
asas perundang-undangan ini yakni (asas Lex superior derogate legi
inferiori), sudah tidak perlu dipersoalkan lagi. Mengingat, baik
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 maupun Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008,
dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor
12 Tahun 2011, memiliki kedudukan dan level yang sama, yakni Undang-undang.
Sedangkan untuk asas perundang-undangan poin satu dan kedua, perlu dikaji lebih
lanjut.
Ad.2
Asas Lex posterior derogate legi priori
Secara
kasat mata, bila berpedoman pada asas perundang-undangan Lex posterior
derogate legi priori, yang pada pokoknya menyatakan bahwa ketentuan
perundang-undangan yang lebih baru, meniadakan ketentuan perundang-undangan
yang lama, jelas bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 lebih baru daripada
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, sekalipun telah ada perubahan kedua melalui
Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 terhadapnya.
Namun
menurut penulis, asas Lex posterior derogate legi priori tersebut tidak
secara serta merta dapat diterapkan, sepanjang substansi pokok yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan tersebut berbeda. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa, ditetapkannya informasi dan dokumen elektronik sebagai alat
bukti yang sah berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008, tidak secara
serta merta mengenyampingkan ketentuan mengenai alat bukti dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986.
Sehingga
dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa sepanjang substansi pokok maupun
titel/judul dari sebuah peraturan perundang-undangan adalah tidak sama atau
berbeda, maka terhadapnya tidak bisa diterapkan asas Lex posterior derogate
legi priori.
Ad. 3
Asas Lex specialis derogate legi generali
Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986, terkhusus Pasal 100 mengenai alat bukti bisa dikatakan
sebagai lex specialis mengenai jenis alat buktidalam Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara, sementara Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008,
terkhusus Pasal 5 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 44, adalah legi generali
karena tidak mengatur maupun menetapkan jenis alat bukti yang bisa diajukan di
Pengadilan, terlebih bila Pengadilan yang dimaksud lebih spesifik yakni
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Namun
dengan analogi yang berbalik, bisa pula dipersepsikan bahwa selain legi
generali berdasarkan ketentuan Pasal 100 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986,
ada pula lex speciali terkait alat bukti di Pengadilan Tata Usaha Negara
yakni dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 44 Undang-undang Nomor
11 Tahun 2008.
Meskipun
begitu, sepanjang yang dipersoalkan adalah kekhususan alat bukti dalam hukum
acara peradilan tata usaha Negara, dan bukannya “sah atau tidaknya” informasi
atau dokumen elektronik diajukan sebagai alat bukti di Pengadilan, maka penulis
berpendapat bahwa hal tersebut tetap berpedoman pada Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986, khususnya pasal 100, bukan berdasarkan pada Pasal 5 ayat (1) dan
(2) jo. Pasal 44 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008. Dengan kata lain, ketentuan
Pasal 5 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 44 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008
bukanlah lex specialis dari Pasal 100 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986.
Lantas
bagaimana bila pihak tetap memaksa informasi atau dokumen elektronik tersebut
diajukan sebagai alat bukti dalam persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara?
Dalam hal ini, penulis lebih berpendapat bahwa informasi atau dokumen
elektronik tersebut dikatagorikan sebagai pengetahuan Hakim (vide Pasal
100 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986). Dengan catatan, bahwa
informasi atau dokumen elektronik tersebut diserahkan sebagai prabukti sebelum
persidangan yang terbuka untuk umum atau informasi atau dokumen elektronik
tersebut diperdengarkan atau divisualisasikan dalam persidangan –dengan sarana
yang ada-, tanpa mengajukannya secara khusus sebagai alat bukti dalam
persidangan.
Sehingga
dengan demikian, tidak ada yang terlanggar dalam hukum acara, baik ketentuan
Pasal 100 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, maupun Pasal 5 ayat (1) dan (2) jo.
Pasal 44 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008.
Kesimpulan
Sebagai
ius constitutum maupun ius constituendum, kedudukan informasi
maupun dokumen elektronik yang diajukan sebagai bukti, lambat laun akan
terjadi. Sehingga demi memenuhi aspek sosiologis dan filosofis dalam setiap
penegakan hukum, penyesuaian terhadap perkembangan teknologi hendaknya membuat
para penegak hukum, termasuk Hakim senantiasa memperbarui wawasan dalam bidang
keilmuannya.
Namun,
dengan regulasi yang nyaris stagnan dimana pelaku kekuasaan kehakiman
(yudikatif) tak bisa terlalu banyak berharap kepada penyusun perundang-undangan
(legislatif) agar bisa membuat produk hukum yang terkini, konsisten dan
berkesinambungan satu dengan lainnya, maka menjadi suatu keharusan bagi pelaku
kekuasaan kehakiman agar berani melakukan penafsiran terhadap Hukum positif,
tatkala regulasi yang ada tak mampu lagi menjawab persoalan konkrit di tengah
perkembangan zaman yang terjadi.
Karena dewasa ini, persoalan keadilan yang kerap terjadi di masyarakat, bukan semata-mata karena aparat penegak hukum yang kehilangan kredibilitasnya, namun karena sistem hukum yang buruk, juga produk hukum yang serba kompromistis dengan berbagai macam kepentingan.
Karena dewasa ini, persoalan keadilan yang kerap terjadi di masyarakat, bukan semata-mata karena aparat penegak hukum yang kehilangan kredibilitasnya, namun karena sistem hukum yang buruk, juga produk hukum yang serba kompromistis dengan berbagai macam kepentingan.
Comments
Post a Comment