Alat Bukti Elektronik dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Bagian I)
PENDAHULUAN
Bagi
sebagian kecil Hakim, terutama Hakim-hakim yang baru diangkat penguasaan
terhadap Hukum Acara, merupakan kewajiban yang -mau tak mau- harus dipahami
secara menyeluruh. Karena ekstrimnya, secerdas apa pun seorang Hakim atau
sepintar apa pun dia dalam Hukum Materiil, tanpa adanya penguasaan terhadap
Hukum Prosedural, maka penegakan hukum yang dilakukannya niscaya akan melanggar
pula hukum yang lain.
Ditempatkannya
Hakim-hakim muda di daerah, tentu memiliki tujuan khusus. Selain karena
(mungkin) pola mutasi yang telah terbentuk memang demikian adanya, juga bisa
dilogikakan bahwa penempatan Hakim pertama kali di daerah adalah untuk
meminimalisir “kekagetan” mereka dalam praktek persidangan, tatkala berhadapan
dengan para pihak yang sudah puluhan tahun malang melintang di pengadilan
dengan jam sidang ratusan, bahkan ribuan setiap tahunnya. Karena –berdasarkan keterangan beberapa Hakim
senior- seringkali para pihak di persidangan, terutama kalangan advokat,
terkesan menguji (Majelis) Hakim terkait Hukum Acara, dengan mengajukan dalil,
pendapat bahkan alat bukti yang nyleneh. Dan ini terkadang membuat
(Majelis) Hakim yang memeriksa sengketa tersebut terkaget-kaget bila tak
dibekali dengan penguasaan Hukum Acara yang cukup.
Perkembangan
zaman pun menjadi variabel lain, yang juga menuntut (Majelis) Hakim yang
memeriksa suatu sengketa, tak hanya harus menguasai ius constitutum
saja, namun dengan sifat Hakim yang tak hanya sebagai corong undang-undang saja
(la bouche de la loi), juga harus bisa menafsirkan potensi adanya
perluasan dari ius constitutum tersebut dalam bentuk ius
constituendum. Meskipun menurut Utrecht, titik tolak pembedaan antara ius
constitutum dan ius constituendum diletakkan pada faktor ruang
waktu, yaitu masa kini dan masa mendatang. Dalam hal ini, hukum diartikan
sebagai tata hukum yang diidentikkan dengan istilah hukum positif.
Kecenderungan pengertian tersebut sangat kuat, oleh karena kalangan tertentu
berpendapat bahwa “Setelah diundangkan maka ius constituendum menjadi ius
constitutum”. Namun menurut penulis bukan tidak mungkin pula, norma yang
menjadi ius consitutum dalam suatu perundang-undangan tertentu, bisa
jadi masih menjadi ius constituendum dalam perundang-undangan yang lain.
Sebagaimana halnya alat bukti elektronik yang akan dibahas ini.
PEMBAHASAN
Ide
tulisan ini muncul setelah dalam persidangan suatu Sengketa Tata Usaha Negara,
salah satu pihak mengajukan DVD sebagai alat bukti-nya. Tentu pada awalnya
kami, sempat mengernyitkan kening melihat keberadaan alat bukti berbentuk DVD
dalam daftar bukti. Sebab berdasarkan ketentuan Pasal 100 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986, alat bukti yang dikenal dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, yakni:
(1) Alat bukti ialah :
a.
surat atau tulisan;
b.
keterangan ahli;
c.
keterangan saksi;
d.
pengakuan para pihak;
e.
pengetahuan Hakim.
(2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak
perlu dibuktikan.
Meskipun
dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dianut prinsip Dominus Litis
dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 107 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986,
yang menyebutkan bahwa: “Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban
pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian
diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim”.
Akan tetapi, prinsip pembuktian bebas ini dibatasi oleh ketentuan Pasal 100
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana disebutkan di atas.
Lantas
bila demikian adanya, diperlakukan sebagai apakah bukti berbentuk DVD atau alat
bukti elektronik yang lain, bila Para Pihak tetap menginginkan itu diajukan
sebagai alat Bukti?
Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
Dan Transaksi Elektronik, disebutkan bahwa: “Informasi Elektronik adalah
satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange
(EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah
diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”.
Lebih
lanjut, dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, disebutkan bahwa: “Dokumen
Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan,
dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang
memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”
Berdasarkan
2 ketentuan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik tersebut, maka dapat diasumsikan bahwa DVD yang
dimaksudkan sebagai alat bukti oleh salah satu pihak yang tengah bersengketa
tersebut adalah bentuk dari Dokumen Elektronik sebagaimana ketentuan Pasal 1
angka 4 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik, tersebut di atas.
Selanjutnya
terkait dengan alasan diajukannya DVD –sebagai derivasi dari dokumen
elektronik- menjadi alat bukti di pengadilan, adalah ketentuan Pasal 5 ayat (1)
dan (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik, yakni:
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan
dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Serta
ketentuan Pasal 44 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik, yakni: “Alat bukti penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah
sebagai berikut:
a.
alat bukti sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Perundang-undangan; dan
b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan
angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)”.
Bila berpedoman secara kaku pada ketentuan
Pasal 100 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, maka sudah tentu dokumen elektronik
yang diajukan oleh Pihak sebagai alat bukti dalam persidangan tidak dapat
dikatagorikan sebagai alat bukti dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Karena memang ius constitutum-nya seperti itu. Terlebih lagi, bila
dipaksakan diterima menjadi alat bukti akan timbul beberapa persoalan, seperti:
1. Bagaimana
mencocokkan dengan dokumen aslinya, atau salinannya?
2. Bagaimana
pihak lawan bisa memeriksa kesesuaian dengan dokumen pembandingnya tersebut,
sementara –dalam hal dokumen elektroniknya adalah DVD-, di ruang sidang sangat
jarang disediakan sarana untuk memvisualisasikannya. Dan bila ada sarana pun,
bagaimana kita bisa memastikan serta menguji bahwa apa yang divisualisasikan
sesuai dengan keadaan atau kejadian sebenarnya?
3. Mengingat
alat bukti haruslah dikenakan bea materai, atau disumpah dalam hal alat bukti
saksi dan keterangan ahli, lantas apakah disamakan dengan kewajiban membayar
bea meterai seperti dalam bukti surat? Atau apakah harus pula dilakukan sumpah
terhadap kebenaran isinya?
Tentu
banyak persoalan lain, hanya saja (Majelis) Hakim yang memeriksa sengketa itu
pun harus arif dalam menyikapinya. Bila permohonan pengajuan alat bukti
elektronik tersebut ditolak, maka efek yang kemungkinan besar muncul adalah
(Majelis) Hakim akan dianggap membatasi hak-hak para pencari keadilan untuk
membuktikan dalil-dalilnya. Terlebih di era sekarang, dimana “demokrasi” dan “kebebasan
berpendapat” merupakan berhala yang dijadikan tuhan oleh kebanyakan orang, maka
pembatasan seperti ini merupakan hal haram yang terkutuk dan melawan
nilai-nilai keadilan masyarakat
Maka atas dasar itu seyogya-nya kemudian, (Majelis) Hakim khususnya di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara pun harus menyadari bahwa dijadikannya dokumen elektronik sebagai alat bukti di persidangan merupakan ius constituendum dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, meskipun pada dasarnya pengakuan informasi dan dokumen elektronik sebagai alat bukti elektronik di Pengadilan adalah telah menjadi ius constitutum dalam Undang-undang Informasi dan Tranaksi Elektronik.
Bersambung
Maka atas dasar itu seyogya-nya kemudian, (Majelis) Hakim khususnya di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara pun harus menyadari bahwa dijadikannya dokumen elektronik sebagai alat bukti di persidangan merupakan ius constituendum dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, meskipun pada dasarnya pengakuan informasi dan dokumen elektronik sebagai alat bukti elektronik di Pengadilan adalah telah menjadi ius constitutum dalam Undang-undang Informasi dan Tranaksi Elektronik.
Bersambung
Nice...
ReplyDelete