(Saat) Hakim tak lagi istimewa

Pernah mendengar Hakim yang disuap? Atau Hakim yang selingkuh?
Tapi pernahkah mendengar Hakim yang sampai harus menadah air hujan supaya kebutuhan air sehari-harinya terpenuhi? Atau Hakim yang meninggal di tempat kost-nya dalam keadaan sendiri, karena jauh dari istri atau kerabatnya.

Jawaban terhadap pertanyaan pertama dan kedua pasti secara spontan dijawab: "Iya, banyak Hakim bejat di negeri ini". Sedangkan terhadap pertanyaan ketiga dan keempat, paling akan dianggap angin lalu bila tidak dianggap berita bohong oleh masyarakat kita.

PERLAKUAN di EKSTERNAL
Kebebasan media, menyebabkan masyarakat paling awam sekalipun menjadi kenyang dan senantiasa terbaharui pemberitaan berat. Tak terkecuali sepak terjang penegak hukum di Indonesia. Seorang ibu rumah tangga yang kesehariannya berkutat dengan urusan rumah tangga saja, pasti paham betul, apa itu koruptor, korupsi, dan pencitraan.

Hakim sebagai pelaku utama penegakan hukum karena wewenangnya memutuskan suatu keadaan hukum. Hakim pula yang kerap dijadikan obyek "bully" bila media menganggap ada ketidakberesan dalam penanganan suatu kasus hukum. Bila ada anggapan ketidakadilan dalam pemberian hukuman, maka aktor utamanya adalah Hakim. Bila ada anggapan "permainan" dalam penyelesaian kasus hukum, maka yang sering dijadikan sasaran tembak adalah Pengadilan, bil khusus Hakim.

Di balik itu semua, ada hal tersembunyi yang tidak diketahui khalayak umum. Bahwa, Hakim kini tak begitu kuat (baca dilemahkan) dan tak begitu terhormat (disepelekan).

Masih ingat kasus penembakan gedung Pengadilan, rumah dinas Hakim dan kendaraannya di Indonesia Bagian Timur? Lantas apa tanggapan pihak yang berwenang terkait itu? Tidak ada. Selain beberapa bait kata dalam pidato resmi kenegaraan (dan twitter). Sementara pihak yang paling berkepentingan atas keselamatan Hakim, malah hanya menganggap itu sebagai resiko tugas.

Padahal telah ada kisah nyata Hakim yang hilang, tanpa jelas keberadaannya hingga saat ini. Sementara kisah teror paling halus sampe paling kasar, kerap jadi santapan sampingan dalam menangani perkara.

Lantas apa kabar protokoler dan jaminan keamanan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 94 Tahun 2013? Hanya macan kertas.

Tugas Hakim tak lebih ringan daripada tugas polisi atau jaksa, atau bahkan Camat sekalipun. Selanjutnya tinggal ditanyakan dan diperiksa secara fair, apakah political will pihak yang berwenang sudah menempatkan secara adil dan berimbang, pelaksanaan dan beban tugas eksekutif, yudikatif dan legislatif.

Dalam bahasa sederhana, apakah fasilitas dan taraf kehidupan seorang Hakim yang adalah Pejabat Negara, jauh lebih baik daripada Camat yang (bahkan) bukan Pejabat Negara. Karena secara faktual, ada rumah dinas seorang Ketua Pengadilan di sebuah Kabupaten di Sumatera, yang (maaf) tak lebih baik dari pos satpam dibandingkan dengan megahnya rumah dinas Wakil Bupati, di hadapannya.

Tapi sudahlah, masyarakat baru bisa sebatas paham bahwa Hakim hidupnya sudah enak, penghasilan ini-itu-nya sudah besar, sehingga menganggapnya golongan elit, dan tak perlu banyak mengeluh soal fasilitas dan penghasilan.

Padahal, sebagian besar dari kami, bertekad sekuatnya, hidup dan bekerja dengan jujur, hanya dari gaji & tunjangan. Terlebih dengan adanya PP 94 Tahun 2013. Tak ada lagi alasan pembenar, menyelewengkan hukum & kebenaran. Pertanggungjawaban kami dunia & akherat, kepada Tuhan.

PERLAKUAN INTERNAL

Sejak Hakim direkrut dari kalangan umum beberapa tahun ke belakang, tren yang ada adalah banyak Hakim berusia muda yang lalu menjalankan tugas di berbagai pelosok daerah. Sehingga tak heran, dengan hal ini terkadang menimbulkan persoalan kesenjangan antara kalangan Hakim dengan non-Hakim.

Keadaan itu semakin dipertajam dengan terbitnya PP Nomor 94 Tahun 2013, yang salah satunya adalah akibat desakan dari Hakim-hakim muda terhadap pemenuhan hak-hak konstitusionalnya. Yang diakui atau tidak, semakin memperjelas riak persoalan non-teknis, yang secara langsung ataupun tidak langsung, berakibat juga pada pelaksanaan tugas-tugas yudisial pengadilan.

Persoalan kedisiplinan, absensi, pelaksanaan tugas pokok & fungsinya, maupun hal selainnya yang menyangkut Hakim, selalu (di) jadi (kan) persoalan. Padahal tak sedikit pula, staf dan non-Hakim yang memiliki persoalan serius dalam bidang disiplin, absensi maupun tugas pokok & fungsinya, namun tak pernah jadi sorotan, bahkan terkesan dibiarkan.

Belum lagi soal anggapan terhadap Hakim-hakim yang (kebetulan) berusia muda. Bukan bermaksud gila hormat, namun sebagai Hakim berapa pun usianya, harusnya diberikan posisi dan pernghormatan selayaknya dari pegawai lain yang kebetulan lebih tua usianya.

Yang sering terjadi, karena Hakim usianya lebih muda kerap dianggap remeh dan disepelekan, oleh pegawai yang lebih senior, hanya karena faktor usia atau lama tidaknya bekerja di institusi tersebut. Kebutuhan yang menunjang kinerjanya tidak dipenuhi secara layak, fasilitas negara yang sudah ada -dan ditentukan pula oleh UU- tidak pula secara layak (baca: dipersulit) diberikan kepada Hakim. Bahkan yang lebih parah adalah, menghasut pegawai lain agar tidak perlu menghormati Hakim yang berusia muda, apalagi memberikan bantuan apapun yang dimintanya.

Menyedihkan bukan? Menganggap Hakim, adalah golongan elit berpenghasilan tinggi, sementara di kantornya hanya mendapatkan meja bekas yang sudah lama, bersama-sama mengisi ruangan kecil dengan Hakim lainnya, atau harus berpayah-payah sampai dini hari, agar mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari, sementara otaknya dipenuhi aturan-aturan pasal untuk sidang putusannya esok.

Atau bagaimana mirisnya, seorang Hakim yang bila mewakili urusan kantor dalam acara-acara pemerintahan, memakai kendaraan seadanya bila dibandingkan dengan kendaraan dinas mewah orang-orang eksekutif ataupun legislatif disana. Itulah bedanya Pejabat di lingkungan Yudikatif, dengan Pejabat di lingkungan Eksekutif atau Legislatif.

Bukan melulu soal fasilitas sebenarnya, tapi lebih kepada bagaimana menempatkan posisi Hakim selayaknya. Karena Hakim-lah yang memutus nasib seseorang, kelompok orang, atau keadaan hukum tertentu, bukan Camat, Bupati, Gubernur atau bahkan Anggota Dewan.

Tidak mendapatkan posisi dan hak yang layak pun, sudah sepatutnya -dan menjadi tanggung jawab moral kami- Hakim berusaha menghadirkan keadilan dalam setiap penegakan hukum. Apalagi bila masyarakat dan pihak-pihak lain paham dan sesadar-sadarnya, menempatkan Hakim pada posisi yang layak, serta memberikan penilaian maupun ekspektasi yang obyektif dengan dasar pengetahuan yang jelas dan realistis. Bukan hanya memberikan cercaan ataupun hujatan, tanpa dasar alasan yang logis. 

Karena jangan salah, idealisme Hakim terkadang bisa luntur -bukan oleh suap, gratifikasi atau intervensi murahan- tapi oleh ketidakpercayaan publik, keapatisan publik terhadap kesungguhan Hakim menegakkan hukum.

Setelah ini, silakan ditertawakan.

Comments

Popular posts from this blog

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc

Kota Bandung dan Kota Malang