Marwah Pengadilan itu pada siapa? (Bag. I)

Berawal dari pembinaan yang dilakukan oleh unsur Pengadilan Tingkat Banding, muncul kembali kegusaran penulis akan distorsi pemikiran yang hendak ditanamkan kepada warga pengadilan tingkat pertama. Seperti yang sudah lama diketahui, pimpinan di Medan Merdeka Utara acapkali dengan semangat menggebu-gebu, berkeinginan untuk memotong tunjangan Hakim yang kedapatan melakukan pelanggaran disiplin waktu. Entah itu terlambat atau pulang cepat, bahkan membolos.
Bukan hendak menafikan kedisiplinan Hakim akan jam kerja, pasca diberlakukannya PP 94 Tahun 2013 dengan membiarkan Hakim bekerja semau-mau sendiri. Namun esensi martabat Pengadilan dan  institusi yustisi-lah yang sedang diganggu. Apakah orang-orang atas itu tidak sadar, mereka sedang mempermalukan dan menghinakan korps Hakim sendiri. Dengan mengungkit persoalan sepele semacam absensi saat berkeliling ke seluruh pelosok satker di Indonesia.
Paradoks akut
Selanjutnya terungkap bahwa Wakil Ketua Mahkamah Agung Non Yudisial seringkali menjanjikan akan membuat formulasi untuk pemotongan tunjangan Hakim yang melanggar disiplin waktu kerja. Dan berkali-kali pula muncul resistensi bahkan sinisme dari rekan-rekan Hakim yang adalah “pejuang” atas terbitnya PP 94 bahwa hal ini kontraproduktif dengan restorasi serta perbaikan sistem dalam peradilan. Bagaimana tidak jengkel, pergerakan Hakim yang muncul benar-benar dari kalangan bawah, Hakim-hakim daerah, yang berdikari memperjuangkan nasib sendiri, sampai dipanggil ke Medan Merdeka Utara, diancam sanksi, dikata-katai Hakim Balita, dianggap remeh dan sinis oleh rekan-rekan sendiri yang sudah merasa nyaman dengan kondisi Gaji dan Tunjangan yang pas-pasan, tiba-tiba ditelikung oleh orang-orang atas dengan akan menerapkan pemotongan terhadap gaji, seperti halnya remunerasi.
Sejarah mencatat, bahwa para Hakim “pejuang” itu pernah dianggap remeh dengan disebut Hakim Balita, ditepikan, disepelekan dan diancam dengan sanksi. Dan sejarah mencatat juga, sebagian orang-orang yang mengganggap remeh dan menyepelekan Hakim-hakim “pejuang” itu, saat ini menikmati hasil dari apa yang diperjuangkan oleh Hakim-hakim balita itu. 
Disiplin Hakim = Pemotongan Tunjangan?
Sejatinya, secara konseptual pemotongan gaji dan tunjangan Hakim sudah salah kaprah. Karena dimana logikanya, penghasilan yang melekat pada gaji, semau-mau akan dipotong dengan dalih pendisiplinan Hakim terkait jam kerja, dan sebagainya. Mungkin hegemoni remunerasi tak jua hilang dari benak mereka yang berpikiran bisa seenaknya memotong gaji dan tunjangan. Karena tunjangan hakim yang dimaksudkan PP 94 Tahun 2013 adalah tunjangan yang melekat pada Gaji Hakim, yang dibayarkan pada awal bulan. Tidak seperti halnya remunerasi yang terpisah dari gaji, dan dibayarkan di akhir perhitungan absensi. Sehingga tepat pula tindakan Menteri Keuangan pada saat itu Agus Martowardoyo, yang menolak mentah-mentah usulan pemotongan yang diajukan Mahkamah Agung terhadap tunjangan Hakim sebagaimana dimaksud PP 94 Tahun 2013.
Luka itu muncul kembali, setelah pembinaan dari Pengadilan tingkat Banding beberapa waktu lalu yang secara langsung menyindir indisipliner sebagian Hakim terkait jam kerja. Seolah-olah, kinerja Hakim semata-mata diukur dengan tandatangan absen sebelum jam 08.00 WIB dan tandatangan absen kembali setelah jam 16.30 WIB. Tentu saja mendapat pancingan seperti itu, pihak-pihak yang iri dan tidak puas dengan –apa yang mereka sebut- kesenjangan tunjangan antara Hakim dengan non-Hakim, langsung berkomentar bahwa Hakim itu istimewa. Jangankan terlambat masuk kantor atau pulang cepat, membolos pun tidak dikenakan potongan tunjangan. Benar-benar istimewa.

Sebenarnya potong-memotong adalah hal sederhana. Konsekuen saja dengan aturan yang mendasarinya. Bila aturan dasarnya mengharuskan untuk memotong tunjangan bila melanggar ketentuan disiplin kerja, terutama soal jam kerja, tinggal dipotong saja. Jangan banyak berdalih, ini-itu, sehingga yang jelas-jelas harus dipotong, dengan berbagai dispensasi malah sama sekali tidak dilakukan pemotongan. Bila pegawai yang masih menerima remunerasi, secara nyata datang terlambat, maka terhadapnya harus dilakukan pemotongan, tanpa kecuali. Sebaliknya, bila aturan dasarnya tidak memuat ketentuan tentang pemotongan, jangan ngoceh sana-sini tentang kesenjangan dan ketidakadilan penegakan disiplin kerja. Saat aturan dasar remunerasi dengan jelas menentukan adanya pemotongan, tidak dilaksanakan dengan benar karena dianggap merugikan mereka sendiri, namun saat tidak ada aturan tentang pemotongan dalam tunjang Hakim, malah seenaknya mewacanakan pemotongan tunjangan. Siapa kita, mau mengangkangi Peraturan Pemerintah, dengan cara semau-mau mewacanakan pemotongan tunjangan Hakim yang terlambat atau pulang cepat dari kantor?

Comments

Popular posts from this blog

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc

Kota Bandung dan Kota Malang