Marwah Pengadilan ada pada siapa (Bag. II)
Mestinya
pihak-pihak yang menginginkan tunjangan Hakim dipotong atas dasar ketidaksiplinan
jam kerja itu lebih concern terhadap hal lain yang lebih substansial. Mengapa masih
merasa tidak puas dengan tidak dipotongnya tunjangan Hakim, yang jelas-jelas
adalah hak yang benar dan berdasarkan undang-undang, sementara di sisi lain
malah asyik membiarkan pungutan-pungutan liar berdalih uang lelah, uang rokok
atau uang administrasi, masih berkeliaran membebani para pencari keadilan.
Istimewanya
Hakim apa?
Satu
hal yang kurang dimengerti oleh kalangan non-Hakim, adalah Hakim memang
istimewa. Itu bukan bentuk dari arogansi korps, namun karena Hakim berdasarkan
perundang-undangan adalah Pejabat Negara yang melaksanakan tugas-tugas
peradilan (yustisial), bukan Pegawai Negeri Sipil seperti mereka. Jadi, wajar
saja bila kriteria penilaian kinerja, kewajiban dan haknya pun berbeda dengan
Pegawai Negeri Sipil. Jangan karena merasa lebih dahulu menjadi Pegawai
Pengadilan, dan anak kemaren sore yang baru menjadi Hakim beberapa tahun
ternyata penghasilannya lebih banyak, di-iri-kan, dan dijadikan dasar untuk
menyatakan terjadi kesenjangan yang sangat di dalam peradilan.
Mengapa
sasaran tembaknya selalu Hakim? Bila ada yang datang terlambat atau pulang
cepat, kerap kali Hakim yang selalu jadi parameter ketidakdisiplinan. Padahal
ada pegawai yang datang melebihi jam kerja, tapi tidak dipersoalkan. Semau-mau
melanggar jam istirahat, tapi tidak pernah diganggu-gugat, karena dia bukan
Hakim.
Bila
jawabannya adalah karena Hakim merupakan core
unit Pengadilan yang paling mudah dilihat secara kasat mata, maka jawaban
itu pula lah yang hendaknya dijadikan alasan pembeda, mengapa Hakim mendapatkan
tunjangan yang lebih besar daripada non-Hakim. Biarlah itu jadi pembeda,
mengapa Hakim sejajar tanggung jawabnya dengan pendapatannya setiap bulan.
Jangan saat pendapatan berbeda, protes tapi saat dimintai juga memiliki
tanggung jawab dan beban seperti Hakim, ogah.
Bila
parameter kinerja Hakim hanya berpatokan pada jam kerja, maka harus disepakati
saja beberapa hal yang penting:
- Tak ada lagi mengerjakan putusan di luar jam kerja, termasuk di rumah. Bila konsep putusan tidak selesai sampai dengan selesainya jam kerja, biar saja. toh pegawai negeri sipil juga tidak bekerja bila jam kerjanya sudah usai.
- Bila sidang belum selesai sampai jam pulang, jangan diteruskan. Ditunda saja sampai jam kerja keesokan harinya. Karena pegawai yang lain pun pulang bila jam kerja sudah selesai.
- Hanya mengerjakan tugas pokok dan fungsinya saja. jadi tetek-bengek seperti pengawasan bidang administrasi kantor, keorganisasian seperti IKAHI PTWP, fungsi khusus seperti IT, Humas dan hal-hal lain yang bukan tupoksi Hakim, tak usah lagi dikerjakan.
Adanya
Peraturan Sekretaris Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2013, yang secara langsung
menunjuk Panitera/Sekretaris sebagai Kuasa Pengguna Anggaran, tanpa melewati
Ketua Pengadilan, secara langsung menunjukkan hegemoni baru di lingkungan
Peradilan, yakni era kekuasaan Panitera/Sekretaris.
Peraturan
itu kian mempertegas dominasi Kesekretariatan dalam mempengaruhi kinerja Hakim.
Hal ini sangat logis karena kesekretariatan lah yang menyediakan sarana dan
prasana terkait kierja Hakim. termasuk hak-hak yang nantinya (harus) diterima
oleh Hakim. Betapa tidak, tanpa adanya peraturan itu pun Hakim sudah dijadikan
warga kelas dua oleh Kesekretariatan, hal yang pernah diungkapkan oleh Hakim
Agung Gayus Lumbuun[1].
Yang sampai saat ini audit internal maupun eksternal sebagaimana dicuatkan oleh
Gayus Lumbuun itu tak ada jejaknya sama-sekali. Selanjutnya, dominasi dari
kesekretariatan dapat dilihat dari pernyataan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi yang akan melabrak Gayus
Lumbuun terkait pernyataannya tersebut di atas[2].
Bagaimana bisa, Sekretaris Mahkamah Agung yang merupakan idiom dari supporting unit Insitusi peradilan
tertinggi di Indonesia, berani melabrak Hakim Agung, yang merupakan
representasi dari core unit institusi
peradilan? Bukankah itu menegaskan adanya dominasi –kalau tidak mau dikatakan tirani-
oleh kesekretariatan terhadap Hakim? Belum lagi bumbu-bumbu sekitarnya seperti
adanya mebel senilai 1 miliar di ruangan Sekretaris Mahkamah Agung[3]
atau mobil mewah di rumah pribadi Sekretaris Mahkamah Agung ini[4].
Hal
tersebut sebenarnya hanya fenomena gunung es. Di satuan kerja Pengadilan di
daerah, lebih banyak kejadian-kejadian yang serupa. Fasilitas Hakim yang
–dibuat- seadanya, seperti ruangan Hakim yang diisi oleh lebih dari 3 orang
secara bersama-sama, berbeda dengan ruang panitera/sekretaris bahkan wakil
panitera atau wakil sekretaris yang mengisi ruangannya secara privasi, atau
Hakim yang meja kerja yang lebih mirip meja afkiran -bekas dan sudah lama
sekali tidak diganti-, pintu ruang Hakim yang terbuat dari tripleks tipis, yang
bila ada pihak menerobos masuk ke dalamnya, cukup dengan mengayunkan pukulan
sederhana saja, atau Hakim yang harus numpang nge-print putusan di ruangan
kepaniteraan muda, karena set komputernya –yang hilang dicuri- tak kunjung
dibelikan yang baru, atau Hakim yang mengalah dari pegawai honorer terkait
penggunaan motor dinas, atau Hakim yang hanya bisa mengelus dada melihat Mobil
Dinas didiamkan dan sama sekali tak digunakan, sementara pada saat ia butuh
untuk membawa anaknya ke rumah sakit, terpaksa meminjam mobil lain dari seorang
teman yang rumahnya jauh, karena sudah hampir pasti, bila ia meminjam mobil
dinas tersebut, tidak akan disetujui Panitera/Sekretaris. Atau rumah dinas Hakim
dan fasilitas pendukungnya seperti air bersih, listrik, dsb., yang bila pun
ada, maka keadaannya harus dibenahi sendiri oleh Hakim ybs, lebih parah lagi
bila malah sama sekali tidak ada rumah dinas[5].
Cerita
itu bukan bualan, itu hal faktual yang benar-benar terjadi, terutama pada
Hakim-hakim muda, hakim-hakim yang baru diangkat dan dianggap anak kemarin sore
oleh pejabat kesekretariatan, yang dianggap pemenuhan sarana dan prasarana
dalam kinerjanya bukanlah hal yang urgen atau menjadi prioritas dan sama sekali
tidak ada untungnya.
Dengan
adanya pengabaian semacam itu, lantas apa istimewanya seorang Hakim? Tidak ada.
Yang membedakan antara Hakim dan non-Hakim di pengadilan saat ini hanyalah
tunjangannya saja. Saat Hakim tak lagi dianggap sebagai person khusus yang memutus nasib pencari keadilan, yang kinerjanya
hanya diukur berdasarkan absensi jam kerja saja, yang kinerjanya bisa
ditarik-ulur, semaunya kesekretariatan yang menyediakan sarana dan prasarana
kerjanya, yang dianggap tak lebih baik dan lebih tinggi kedudukannya dari
pegawai biasa apalagi honorer, tak ada lagi kehormatan dan tak ada lagi marwah
Hakim sebagai core unit pengadilan,
karena semuanya bervariabel pada kesekretariatan.
Core unit vs supporting unit
Hakim
tidak mempunyai garis komando maupun struktural kepada pegawai negeri sipil di
satuan kerjanya, hanya formalitas basa-basi semacam Hakim Pengawas Bidang
belaka. Tanpa memiliki kewenangan untuk menilai dan memberikan sanksi ataupun
apresiasi terhadap kinerjanya. Sementara, kesekretariatan dikondisikan bisa
mengendalikan dan mengatur kinerja Hakim. soal absensi, soal keuangan, soal
administrasi umum, kesekretariatan bisa menghambat kinerja Hakim. sementara sebaliknya,
Hakim tak punya cukup kewenangan untuk menghambat kinerja mereka.
Tujuan
dilepaskannya Hakim dari fungsi-fungsi non-yudisial mungkin benar, supaya Hakim
fokus pada tupoksinya dan tidak ikut campur pada persoalan non-teknis
peradilan. Namun hal tersebut pun menjadi boomerang, tatkala Hakim sama sekali
tak punya kewenangan untuk menentukan hak-hak atas fasilitas, sarana dan
prasarananya sendiri. Sehingga menyebabkan tereduksinya energi Hakim untuk pemenuhan
hal-hal seperti sarana dan prasarana yang semestinya sudah diberikan dan
dipenuhi –tanpa diminta- oleh bagian kesekretariatan.
Bila
dalih yang kerap dilontarkan oleh kesekretariatan adalah tidak adanya alokasi
anggaran, oke. Namun kadang, itu hanya dalih basi yang hanya sekedar pengelakan
terhadap kewajiban. Kerap sarana-prasarana yang dengan sungguh-sungguh dipenuhi
hanyalah untuk pimpinan Pengadilan saja, agar dianggap bisa bekerja, agar
dianggap patuh pada pimpinan, dan –yang paling utama- agar pimpinan merasa
terbuai dengan terpenuhinya segala fasilitas, sehingga mengganggap kebutuhan
dasar untuk menunjang kinerja para Hakim pun secara otomatis terpenuhi.
Padahal
kenyataannya tidak seindah demikian, yang kerap terjadi kesekretariatan hanya
memenuhi fasilitas Pimpinan Pengadilan dengan mengabaikan dan meremehkan
kelengkapan kerja Hakim. Dan bila Hakim mempertanyakan soal itu, berbagai dalih
yang –tanpa imajinasi- dikeluarkan, tanpa alasan yang logis dan masuk akal.
Bila
-lagi-lagi- kewenangan penganggaran dilakukan melalui penunjukkan langsung oleh
Sekretaris Mahkamah Agung, maka sekaliber Ketua Pengadilan pun –kasarnya- tidak
bisa memberikan masukan atau mengotak-atik pengalokasian anggaran. Semuanya domain
dari kesekretariatan. Dan Hakim, yang adalah domain utama dari pengadilan –seperti
sebagaimana terjadi saat ini- hanya bisa bersabar, tanpa bisa melakukan
apa-apa.
Terkait
dengan apa yang disebut dengan kesenjangan tunjangan, Para panitera/sekretaris di
beberapa daerah sudah unjuk gigi dengan menginginkan kesetaraan tunjangan
dengan hakim[6].
Poin intinya adalah, ingin agar tunjangan mereka disetarakan dengan Hakim
karena Panitera/Sekretaris bukanlah Supporting
unit melainkan memiliki kedudukan yang setara dengan Hakim. Eh, apa benar
itu? Apa dasar mereka menyatakan hal seperti itu? Bukankah dalam peraturan
perundang-undangan, mereka bertugas menyelenggarakan administrasi perkara dan
mencatat jalannya persidangan? Lantas dimana kesetaraan yang dimaksudkan itu?
Dualisme
fungsi Panitera dan Sekretaris mungkin juga jadi persoalan, namun tidak terlalu
signifikan bagi Hakim. Selama sarana dan prasarana yang bisa menunjang kinerja
Hakim (berbeda dengan Pimpinan Pengadilan), dipenuhi secara setengah hati
karena tidak dianggap sebagai core unit
di Pengadilan, atau mengikuti pemahaman mereka bahwa Hakim dan non-Hakim (Kepaniteraan
dan Kesekretariatan), haruslah disetarakan dalam berbagai aspek terutama tunjangannya,
maka selama itu pula kita tidak pernah menemukan jati diri Pengadilan. Apakah
marwah pengadilan ada pada putusan pengadilan yang adalah produk dari Hakim,
ataukah marwah itu ada pada penyelenggaraan administrasi oleh Kepaniteraan dan
Kesekretariatan?
[5] http://news.detik.com/read/2013/04/09/081602/2215006/10/rumah-dinas-hakim-reyot-ma-bangun-gedung-megah
atau http://rosenmanmanihuruk.blogspot.com/2012/03/rumah-dinas-hakim-di-pn-muarabulian.html
atau http://foto.news.viva.co.id/read/6586-rumah-dinas-tidak-layak/80435
atau http://jogja.okezone.com/read/2012/04/10/513/608985/hakim-di-karanganyar-tinggal-di-rumah-bobrok
Comments
Post a Comment