(Mungkin) bergunjing..

--Kami sudah muak dengan perendahan martabat ini. Bukan kami ingin diagung-agungkan. Kami hanya ingin hak-hak mendasar kami dalam bekerja dipenuhi--

Di awal dilantik menjadi Hakim, kami sudah merasa dicurangi. Kami dipungut biaya pelantikan, biaya makan-makan. Padahal semestinya -dan dikemudian hari kami tahu bahwa-telah ada anggaran kantor yang diperuntukkan bagi pelantikan. Dan besarannya pun cukup untuk beberapa kali pelantikan atau perpisahan. Jadi, digunakan untuk apa anggaran itu, bila ternyata kami tetap dimintai uang untuk pelantikan?

Perlakuan terhadap kami, Hakim muda pun sangat kentara berbeda. Oleh Pansek, kami dipanggil nama. Padahal itu dalam dinas, dalam jam kantor. Bukan kami ingin dianggap lebih tinggi derajatnya. Namun, apa pantas seorang Hakim dipanggil nama di kantornya? Oleh seseorang yang bahkan bukan atasannya? Hanya karena kami jauh lebih muda, dan merasa dia jauh lebih tua. Apa pantas, orang yang dipanggil Yang Mulia dalam persidangan, seenak perutnya dipanggil nama dengan tujuan menunjukkan senioritas seseorang?


Terkait fasilitas kantor. Kami, Hakim muda selalu diabaikan. Padahal, Undang-undang yang menjamin bahwa kami berhak mendapatkan kendaraan dinas. Faktanya jauh berbeda, Pansek yang (mengaku) penanggung jawab penuh atas kantor dan segala pelaksanaannya, lebih mempercayakan dipakainya motor dinas kepada Pegawai Honorer -yang tak jelas kontribusinya, kerjaan dan kinerjanya seperti apa-, dibandingkan memberikan motor dinas itu agar dipakai Hakim yang membutuhkan. Atau Pansek, yang lebih memilih membiarkan Mobil dinas jadi rusak dan membusuk didiamkan tanpa digunakan. Dan seolah Haram untuk dipakai oleh kami, -Hakim yang sekali lagi-, berdasarkan Undang-undang diberikan hak untuk mendapatkan kendaraan dinas.

Mungkin mereka bisa berdalih, bahwa Hakim diperbolehkan koq menggunakan mobil dinas itu. Tapi harus seijin Pansek. Itu semua omong kosong. Biar pun diijinkan, semuanya hanya dalih untuk mempersulit Hakim bila hendak meminjam atau memakai mobil. Padahal bila otak mereka berjalan sebagaimana orang normal, tentu berpikir lebih baik digunakan dan rusak, dibandingkan didiamkan saja dan rusak.

Persoalan yang lain, soal hal-hal kecil semisal tissue, sabun, kertas, AC, dan sebagainya.
Ruangan Hakim, bukanlah prioritas. Bila kita meminta tissue meja, yang dibelikan adalah tissue toilet yang sering dipakai di warung bakso pinggiran jalan. Bila kita meminta stabillo, maka yang diberikan adalah stabllo, merek china yang hanya tahan dipake seminggu, sisanya langsung kering.
Bila kami beruntung, barang-barang itu langsung disediakan segera setelah diminta. Yang lebih sering adalah, barang-barang itu diberikan 3 bulan setelah permintaan, dengan alasan bermacam-macam. Belum belanja lah, perubahan dalam DIPA lah, dan lain-lainnya yang semuanya sama sekali tak punya imajinasi alasan.
Dan yang paling membuat kami muak adalah, pengadaan barang. Betapa kami telah bersabar selama ini. Diberikan meja kerja sisa, bekas, afkir yang entah dari tahun berapa sudah berada di ruangan yang kami tempati. Berbeda dengan meja Panmud, Kasub, Wasek bahkan Pansek yang jauh lebih baru dan besar. Bila itu yang dipakai Ketua & Wakil Ketua, kami anggap wajar bila mejanya jauh lebih baik dari kami.
Dan hal ini berlangsung sampai sekarang. Pernah dijanjikan untuk pengadaan meja-meja baru bagi Hakim, namun hanya sebatas RKAKL. Selebihnya, omong kosong.

Kami tak menuntut meja seharga milyaran milik Pejabat Struktural seperti yang ramai diberitakan, kami juga tak mengharap meja kami disamakan dengan meja Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan. Tapi kami hanya mengharap, penghargaan kepada kami dengan menyediakan meja yang sepantasnya bagi Hakim, bagi seorang Pejabat Negara, bagi seorang pemutus nasib pihak lain, bagi subyek utama dalam sebuah institusi bernama Pengadilan. Apa itu kurang pantas?

Tak perlu dikhayalkan bagaimana bisa seperangkat komputer jadul di ruangan Hakim yang tertutup, termasuk speaker, dan bahkan UPS-nya bisa digondol maling. Sementara TV flat 40 inch dan seperangkat komputer yang bahkan tanpa pengamanan di ruang lobi masuk Pengadilan, tidak tersentuh sama sekali oleh maling keparat itu.

Singkat cerita, diperintahkanlah Wakil Sekretaris untuk mengganti komputer di ruang Hakim itu, pada bulan Februari 2013. Tapi sampai pertengahan tahun, sama sekali tidak ada berita. Belum lagi pengadaan finger print untuk absensi yang sejak September 2012, hingga kini tak ada ceritanya lagi.
Soal komputer, yang membuat kami sangat muak adalah komputer yang dijanjikan ternyata sudah dibeli, dan ruangan Hakim -yang selama ini meminjam komputer dari ruangan Wakil Ketua - tidak mendapatkan prioritas. Bagaimana mungkin, ruangan Hakim yang merupakan "dapurnya" Pengadilan, tempat diolahnya segala produk yang berkaitan dengan kinerja sebuah Pengadilan, tidak mendapatkan prioritas pengadaan komputer.

Bagaimana bisa, Hakim membuat putusan yang baik sementara alat dan perlengkapan pendukung kinerja-nya, dibiarkan seadanya. Tidak dipungkiri, bahwa sebagian besar dari kami memakai laptop pribadi. Tapi untuk mencetak konsep putusan, peraturan perundang-undangan tetap saja memerlukan komputer dan printer kantor.

Sudah keterlaluan amnesia mereka tentang siapa main unit, siapa supporting unit. Sampai-sampai menganggap Hakim hanya numpang praktek saja di Pengadilan ini, sehingga segala aspek pendukung kinerja Hakim disepelekan dan diabaikan semau-maunya.

Kami sebenarnya sudah cukup sabar membiarkan betapa setiap cairnya anggaran kantor, melihat ruangan lain dicat dan diperbaharui, sementara ruangan kami dilirik pun tidak, korden di ruangan lain dicuci atau diganti, sementara di ruangan kami, tak akan disentuh kecuali sudah layak jadi lap.
Kami juga sudah cukup sabar dengan tidak layaknya WC- yang kadang jarang berair- yang diperuntukkan bagi Hakim, tidak adanya ruang khusus untuk Sholat, sampai-sampai harus membangun musholla sendiri (yang sampai berdiri pun, tak pernah dilirik apalagi dipedulikan Pansek dan Wasek), minimnya pengamanan untuk ruangan Hakim, dilarang-larangnya pegawai honorer bila diperintahkan ini-itu oleh Hakim. Sementara bila Pansek atau Wasek yang memerintahkan, semau-mau sendiri.

Rumah dinas yang kadang tidak mendapatkan air, perawatannya yang meski sudah dianggarkan dalam DIPA tapi tidak pernah direalisasikan dengan benar dan lengkap.
Tentu banyak keluhan lain, seperti seleksi yang benar-benar fair saat akan mengangkat honorer, terlebih tuntutan pengaplikasian teknologi informasi yang menyebabkan harus dipilihnya orang-orang yang kompeten di bidang IT bila ingin mengangkat honorer, mengingat tidak ada PNS khusus yang menangani IT di Pengadilan ini. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, dimasukkanlah orang-orang yang memiliki kedekatan dengan Wasek sebagai Honorer. Yang tentu saja hanya memberi beban pada anggaran kantor, tapi tidak memberikan nilai lebih apa-apa.

Keluhan ini sebenarnya sudah ditahan-tahan sejak lama, namun akhirnya penuh juga gentong kemuakan dan kejengkelan ini.

Tulisan ini mengatasnamakan "saya", karena secara pribadi mengalami sendiri tetapi juga mengatasnamakan "kami", karena Hakim lain pun merasakan hal yang sama. Namun mereka tak mengungkapkannya secara tegas, hanya dengan menggerutu dan mengumpat di belakang, kemudian menambah stok kesabaran sebanyak-banyaknya.

Menggunjing, mungkin saja. Tapi yang termuat di tulisan ini hanya mengungkapkan dan menumpahkan apa yang selama ini tertahan di kepala. Dan semata-mata demi kebaikan dan perbaikan kinerja Hakim serta Pengadilan. Mengembalikan marwah Hakim, pada awalnya dan mengembalikan kepercayaan terhadap Pengadilan pada akhirnya.

Telah cukup Hakim dicurigai dan mendapatkan suara-suara sumbang dari luar, tanpa harus direndahkan dan disepelekan dari kalangan internal sendiri.


Karena bagaimana mungkin Hakim bisa memberikan putusan yang adil dan bermanfaat bagi masyarakat pencari keadilan, sementara Hakim oleh internalnya sendiri diperlakukan seperti orang pinggiran yang disepelekan, diabaikan dan dianggap menjadi bagian yang paling tidak penting dalam pengadilan. Sekian.

-dibuat dalam keadaan sadar dan sehat-

Comments

Popular posts from this blog

Kota Bandung dan Kota Malang

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc