(P)Review Kasus Nikah Kilat Bupati AF
Persoalan
Hukum:
- Apakah AF bisa dimakzulkan dengan mekanisme Pasal 29 ayat (1) huruf c jo. Ayat (2) huruf c, d, e atau f?
- Apakah Tindakan DPRD G telah tepat dengan menyerahkan proses pemakzulan tersebut ke MA?
- Apakah PTUN berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan gugatan pemakzulan AF tersebut?
Berdasarkan
ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, Kepala Daerah
dan/atau Wakil Kepala berhenti, karena diberhentikan. Dalam hal ini AF sebagai
Kepala Daerah Kabupaten G (Bupati G), mendapatkan rekomendasi diberhentikan
oleh DPRD Kabupaten G.
Secara
limitatif, syarat berhentinya seorang kepala daerah dengan alasan diberhentikan
adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) Undag-undang Nomor 32 Tahun
2004, dan yang paling berpotensi dikenakan terhadap AF adalah sebagaimana
dimaksud dalam huruf c, d, e dan huruf f. Yakni pemberhentian dengan alasan:
c. tidak lagi memenuhi syarat
sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah;
d. dinyatakan melanggar
sumpah/janji jabatan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah;
e. tidak melaksanakan kewajiban
kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah;
f. melanggar larangan bagi kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah.
Persoalan Hukum Pertama
1. Alasan diberhentikannya kepala
daerah/wakil kepala daerah sebagaimana huruf c, adalah dianggap tidak lagi
memenuhi syarat. Sebenarnya bila mengaku sepenuhnya pada ketentuan dalam
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini, klausula dalam huruf c secara ekstrim
bisa dikatakan sebagai ketentuan yang “mati” dan “tak bermakna”. Sebab, tak
satu pun frasa di dalam ketentuan Undang-undang ini yang menentukan secara
limitatif, syarat sebagai seorang Kepala Daerah/Wakil kepala Daerah. Yang ada
dalam ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, hanyalah syarat sebagai
CALON Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah sebagaimana Pasal 58. Sehingga dengan
menggunakan penafsiran tekstual maupun kontekstual. Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah yang telah terpilih, dengan sendirinya tidak akan terkena ketentuan
“tidak lagi memenuhi syarat” sebagai Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Maka,
dengan demikian jelas bahwa ketentuan huruf c ini sebenarnya tidak memiliki
kaidah hukum apa-apa. Dan AF tidak bisa dikenai ketentuan ini.
2. Kemungkinan
alasan pemberhentian yang kedua adalah, sebagaimana huruf d Pasal 29 ayat (2)
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yakni dinyatakan melanggar sumpah/janji
jabatan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah.
Sumpah/janji
jabatan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah, dimuat secara jelas dalam
ketentuan Pasal 110 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yang berbunyi:
"Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya
sebagai Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan
selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa"
Alasan
sebagaimana huruf d inilah yang kemudian dijadikan dasar oleh DPRD Kabupaten G
untuk mengadakan sidang paripurna pemberhentian AF sebagai Bupati Garut,
terutama dalam konteks pelanggaran terhadap “…menjalankan segala undang-undang dan peraturan dengan selurus-lurusnya…”.
Yang
kerap dipersoalkan dan diangkat ke pemberitaan khalayak adalah, apakah nikah
siri melanggar undang-undang? Dalam hal ini adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan? Atau ada pula yang mengangkat, bahwa tindakan AF
dengan menikahi seorang gadis yang baru berusia 17 tahun melanggar
Undang-undang Perlindungan Anak.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang, Perkawinan, disebutkan bahwa: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu”. Jadi meskipun dilakukan sebatas menurut hukum agama dan kepercayaan, secara materiil
(substansial) perkawinan adalah adalah sah. Akan tetapi, meski demikian
ketentuan hukum formil menyatakan bahwa perkawinan tersebut harus dicatatkan
berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Maka secara formil, perkawinan
tersebut pula harus memenuhi hukum formil. Sebagaimana diisyaratkan dalam
ketentuan Pasal 2 ayat (2), yakni: “Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Terkait
tindakan AF yang melakukan poligami, terdapat ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan yakni: “Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang,
sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib
mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya”. Sehingga apabila tindakan AF dengan melakukan nikah
secara tidak tercatat dengan FO, tanpa mengajukan permohonan kepada Pengadilan,
terlebih tidak mendapatkan ijin dari Pengadilan maka dengan demikian tindakan
AF pun melanggar ketentuan perundang-undangan.
Lebih
dari itu, berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 disebutkan bahwa: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak”. Maka, tindakan yang
dilakukan AF dengan menceraikan FO melalui pesan singkat, maupun menganggap
bahwa hubungan perkawinannya dengan FO telah berakhir melalui pesan ningkat, tidak
berkesesuaian dengan ketetuan tersebut di atas. Dan dalam ketentuan Pasal 40
ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pun, disebutkan bahwa:
“Gugatan perceraian diajukan kepada
Pengadilan”, yang dalam konteks ini tentunya adalah Pengadilan Agama.
Maka
dengan pertimbangan uraian di atas, telah jelas tindakan AF yang menikahi FO,
maupun melakukan atau setidaknya menganggap melakukan cerai terhadap FO, telah mencederai
ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang secara
spesifik sebagaimana disebutkan di atas.
3. Selanjutnya, alasan diberhentikannya Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah adalah dalam huruf e, yakni tidak melaksanakan
kewajiban Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah. Kewajiban Kepala Daerah
dan/atau Wakil Kepala Daerah diatur dalam ketentuan Pasal 27 Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004, dan kaidah yang paling mendekati dalam persoalan AF
adalah, sebagaimana huruf:
c.
memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;
e.
menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan;
f.
menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
h.
melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik.
Norma
dalam huruf e, berkaitan erat dengan sumpah/janji jabatan sebagaimana paparan
sebelumnya, sehingga kajian terhadapnya adalah ekuivalen dan sama dengan
paparan mengenai menaati/menegakkan peraturan perundang-undangan tersebut di
atas. Sementara norma dalam huruf f dan huruf h, bila ditelaah secara kasat
mata itu lebih tepat ditujukan pada sikap dan tindakan Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah dalam kaitannya dengan urusan pemerintahan (administrasi negara)
di daerah beserta kinerjanya sebagai aparatur/pejabat publik.
Norma
yang paling mendekati untuk “dituduhkan” kepada AF adalah pengabaian kewajiban
sebagaimana huruf c, yakni memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat.
Karena dengan tindakannya menikah siri, maupun menceraikan FO setelah
pernikahan sirinya hanya bertahan beberapa hari saja, telah memantik reaksi
negatif yang sporadik dari masyarakat, hal ini terbukti dengan banyaknya desakan
agar AF mundur dari jabatannya. Dan terbukti pula pelayanan publik di lingkungan
Kabupaten G sempat terhambat karena ketiadaan AF untuk beberapa waktu, di
tengah menghangatnya situasi terkait persoalan yang menimpanya. Dan ini bisa
didalilkan bahwa AF telah melalaikan keawajiban menjaga ketentraman dan
ketertiban masyarakat, sebab tindakannya telah memunculkan kekisruhan,
kericuhan, bahkan kekacauan (chaos)
di dalam masyarakat.
Akan
tetapi, bisa jadi pula ini sangat subyektif. Sebab ketentraman dan ketertiban
masyarakat adalah hal yang bisa dikatakan abstrak. Pendukung AF di Kabupaten G
bisa saja mengatakan ketentraman dan ketertiban masih berlangsung di G, akan
tetapi pihak yang berseberangan tentunya akan mengutarakan hal yang sebaliknya.
Sehingga dalam hal ini, proses politiklah yang memiliki peran vital. Apakah
DPRD berani menyatakan bahwa dengan tindakannya, AF telah melalaikan kewajiban
menjaga ketentraman dan ketertiban masyarakat atau tidak?
3. Poin
terakhir yang bisa disangkakan adalah, ketentuan huruf f, yakni melanggar
larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. Larangan bagi kepala
daerah/Wakil Kepala daerah sebagaimana Pasal 28, diantaranya yang paling
relevan adalah:
f. menyalahgunakan
wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya;
Ini
kembali lagi ke kajian sebelumnya dalam poin pelanggaran dalam sumpah/janji
jabatan. Norma yang dirujuk oleh ketentuan Pasal 29 ayat (2) huruf d maupuan
Pasal 28 huruf f Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, sebenarnya mengandung
konsepsi yang sama. Tak perlu heran kerap ditemukan kemiripan (bila tidak mau
dikatakan sama persis) norma hukum dalam beberapa pasal yang berbeda.
Sehingga
dari kajian tersebut di atas, konklusi sementara dari Persoalan hukum yang
pertama, adalah bahwa AF bisa dimakzulkan dengan mekanisme Pasal 29 ayat (1)
huruf c jo. Ayat (2) huruf d, e atau f.
Persoalan Hukum Kedua
Persoalan
hukum kedua, tepatkan tindakan DPRD G
dengan meminta fatwa kepada Mahkamah Agung perihal persoalan Bupati AF?
Mekanisme
pemberhentian Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (4) huruf a, yakni:
Pemberhentian kepala daerah dan
wakil kepala daerah diusulkan. kepada Presiden berdasarkan putusan Mahkamah
Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah
dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan dan atau tidak melaksanakan
kewajiban. kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Dalam
huruf b, di ketentuan yang sama digariskan bahwa:
Pendapat DPRD sebagaimana dimaksud
pada huruf a diputuskan melalui Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan
diambil dengan persetujuan sekurangkurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah
anggota DPRD yang hadir.
Sedangkan
ketentuan huruf c, menyebutkan:
Mahkamah Agung wajib memeriksa,
mengadili, dan memutus pendapat DPRD tersebut paling lambat 30 (tiga puluh)
hari setelah permintaan DPRD itu diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat
final.
Dari
3 ketentuan tersebut dapat ditarik garis kronologis bahwa:
- DPRD mengusulkan Pendapat tentang Pelanggaran yang dilakukan oleh Bupati AF.
- Mahkamah Agung memutus pendapat DPRD tersebut.
- Putusan dari Mahkamah Agung dikembalikan kepada DPRD.
- Selanjutnya DPRD mengusulkan kepada Presiden tentang pendapat akhir tentang pemberhentian tersebut.
Dari
rentetan ketentuan maupun kronologis tersebut, jelas tindakan DPRD G dengan
meminta kepada Mahkamah Agung RI untuk memeriksa persoalan pemberhentian ini
telah tepat. Karena secara atributif, Mahkamah Agung oleh ketentuan Pasal 29
ayat (4) huruf c, memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat
DPRD, yang mana putusannya bersifat final.
Dan
terjawablah persoalan hukum kedua, yakni benar Mahkamah Agung berwenang untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD tentang pemberhentian Bupati
AF. Sehingga tindakan DPRD G meminta putusan, yang mereka istilahkan “fatwa”
adalah telah benar dan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Persoalan Hukum ketiga
Apakah
PTUN berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan gugatan pemakzulan AF
tersebut?
Apabila
yang tengah diajukan gugatannya ke PTUN B saat ini adalah benar mengenai
pendapat DPRD G tentang pemberhentian AF sebagai Bupati G, ada beberapa analisa
mendasar yang bisa diargumenkan. Pertama,
tidak mungkin ada 2 lembaga peradilan yang memiliki kewenangan serupa. Harus
hanya ada 1 lembaga peradilan yang berwenang untuk memeriksa, memutus dan
mengadili satu jenis perkara/sengketa. Sebab, bila hal itu terjadi akan meruntuhkan
sistem hukum yang tengah dibangun, dan akan menyebabkan ketidakpastian hukum
yang serius dalam tatanan hukum di negara ini.
Kedua,
seperti telah diuraikan sebelumnya, Mahkamah Agung secara atributif telah
diberikan kewenangan berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (4) huruf c, memiliki kewenangan
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD, yang mana putusannya
bersifat final. Dan terhadap ketentuan ini, tidak ada lagi penafsiran lain.
Ketiga,
kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dibatasi oleh ketentuan Pasal 47
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang berbunyi:
Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara
Kemudian
ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, yang berbunyi:
Sengketa Tata Usaha Negara adalah
sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan
hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun
di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku
Serta ketentuan
Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, yang berbunyi:
Keputusan Tata Usaha Negara adalah
suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final,
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Dari
ketiga ketentuan yang saling berkaitan itu, bisa dilakukan analisa. Berdasarkan
pertanyaan:
1. Apakah
pendapat DPRD itu adalah sengketa di bidang tata usaha negara?
2. Apakah
pendapat DPRD yang dihasilkan dari rapat paripurna itu merupakan keputusan di
bidang administrasi (tata usaha) negara dan memenuhi rumusan keputusan tata
usaha negara.
Berdasarkan
analisa sedernana, pertanyaan pertama dalam persoalan hukum ketiga ini bisa
dijawab sebagai berikut:
Pendapat
DPRD dalam persoalan ini merupakan pendapat yang bersifat politik, yang
didasarkan pada konsensus kelompok politik (anggota DPRD) dalam forum
legislatif. Meskipun dalam keadaan umum DPRD adalah Badan Tata Usaha Negara,
maupun Ketua DPRD adalah Pejabat Tata Usaha Negara, mengingat DPRD merupakan
Badan Hukum Publik, akan tetapi tindakannya dalam hal ini adalah dalam rangka
fungsinya sebagai lembaga legislatif, sehingga tindakan yang dilakukannya pun
bukanlah tindakan hukum tata usaha (administrasi) negara. Meskipun tidak
menutup kemungkinan, DPRD maupun pimpinannya bertindak dalam lingkup hukum tata
usaha (administrasi) negara, namun dalam hal ini ketentuan normative
undang-undang menunjukkan ini adalah tindakan di bidang politik.
Pertanyaan
kedua dalam persoalan hukum ketiga ini dapat dijawab sebagai berikut:
Selain
unsur tindakan hukum tata usaha negara, dan diterbitkan oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, unsur
lainnya yang tidak terpenuhi adalah final. Dalam persoalan ini, sifat final
adalah terkait dengan masih adanya langkah yang ditempuh guna memastikan
keputusan itu memiliki keterikatan dan akibat hukum. Dan terjawab dengan
ketentuan Pasal 29 ayat (4) huruf a, bahwa: “Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan. kepada
Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD..” jo. Pasal
29 ayat (4) huruf c, yakni: “Mahkamah
Agung wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD tersebut paling
lambat 30 (tigapuluh) hari setelah permintaan DPRD itu diterima Mahkamah Agung
dan putusannya bersifat final”
Hal
ini menegaskan bahwa pendapat DPRD G, belumlah final dan masih memerlukan
tindakan administrasi maupun yudisial lain, sehingga bisa memiliki keterikatan
dan akibat hukum. Maka dengan demikian,
pendapat DPRD ini tidak memenuhi rumusan sebagai keputusan tata usaha negara.
Selanjutnya
sebagai tambahan kajian, dalam ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun
2004 disebutkan, bahwa:
Tidak termasuk dalam pengertian
Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini:
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang
masih memerlukan persetujuan;
Hal
ini terkait erat juga dengan sifat final sebagaimana dianalisa dalam uraian
sebelumnya. Karena pendapat DPRD masih memerlukan pengujian di Mahkamah Agung,
juga persetujuan dari Presiden.
Pasal
2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, huruf e:
e. Keputusan
Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Hal
ini berkaitan dengan kewenangan atributif yang dimiliki Mahkamah Agung terkait
persoalan ini, sebagaimana telah dipaparkan di atas. Sehingga setelah diperiksa
dan diputus oleh Mahkamah Agung, maka tidak ada lagi kewenangan lingkungan
peradilan lain untuk mengadilinya.
Dan
konklusi persoalan hukum yang ketiga, dengan demikian terjawab juga. Bahwa
Peradilan Tata Usaha Negara tidak berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa ini, sepanjang persoalan pokoknya adalah pendapat DPRD
atas pemberhentian AF sebagai Bupati AF.
Wallahu
alam bishawab.
Jambi,
27/12/2012 Jam 00:17
Comments
Post a Comment