Menyunat Tunjangan
Meski baru
desas-desus, rencana Mahkamah Agung yang hendak menerbitkan aturan tentang
pemotongan tunjangan hakim berdasarkan PP 94 Tahun 2012, dengan meniru konsep
pemotongan dalam tunjangan kinerja
(remunerasi) amat sangat disesalkan.
Belum genap sebulan
menikmati nominal, terutama pengakuan konstitusional akan hak-hak hakim,
Mahkamah Agung sebagai induk dan orang tua para Hakim malah berencana
menerbitkan aturan yang berseberangan dengan tujuan utama pergerakan hakim
beberapa waktu lalu, baik melalui uji konstitusional, penggalanan dukungan via
sosial media, maupun rencana mogok sidang bila tuntutan pemenuhan hak
konstitusional tersebut tidak dipenuhi pihak terkait.
Dalam beberapa
kesempatan, pimpinan mahkamah agung (entah sadar atau tidak) sering menyampaikan
bahwa terbitnya PP 94 merupakan perjuangan dari IKAHI serta lobi-lobi efektif
dari elite-elite medan merdeka utara dengan pemerintah maupun DPR, sehingga
pada akhirnya dipenuhilah hak-hak hakim sebagaimana tertera dalam
undang-undang.
Padahal media
merekam, rekan-rekan hakim juga masih mengingat jelas bahwa pada awal
pergerakan, penggagas grup rencana menggugat di sosial media bersama pemohon
uji materi UU Keuangan, langsung dipanggil oleh Ketua Muda Pengawasan yang
sekarang Ketua Mahkamah Agung. Dan sejak itu pula grup maupun uji materi di MK,
tanpa kabar, tanpa berita.
Di lain tempo,
sesaat setelah diteriakkan rencana mogok sidang bila tuntutan hakim tidak
diindahkan pihak terkait, pihak Mahkamah Agung malah mencibir, dengan
mengatakan bahwa yang mengancam mogok adalah Hakim Balita. Dan secara
diam-diam, penggagas mogok sidang dipanggil secara langsung maupun tidak, dan
mendapatkan tekanan atas upaya “provokasi”-nya tersebut. Lantas, saat PP 94
Tahun 2012 itu terbit, malah elite-elite itu secara terang-terangan maupun
tersirat menyebarkan berita bahwa itu adalah hasil kerja keras ikahi. Padahal,
di awal perjuangan dan pada saat para hakim mengais-ngais sisa-sia keberanian
untuk menentang ocehan miring publik, maupun tekanan psikis dari internal sendiri,
dimana IKAHI?
Tapi, sudahlah
tidak akan diperpanjang polemic tentang peranan IKAHI dalam perjuangan beberapa
waktu ke belakang, karena pahlawan-pahlawan yang terlihat akan secara sporadic
tiba-tiba bermunculan dan beretorika ini-itu. Yang utama, pemenuhan hak
konstitusional hakim patut kita syukuri dengan cara memperbaiki integritas dan
profesionalisme kinerja sebagai Hakim.
Apa lacur,
persoalan baru muncul lagi. Dan yang diganggu adalah harkat Hakim lagi. Konon,
usulan pemotongan tunjangan hakim ini muncul dari KPTA Jawa Timur yang mantan
Sekretaris MA. Tujuannya mungkin ingin agar hakim berkinerja baik, sebab karena
tidak adanya pemotongan terhadap tunjangan Hakim seperti halnya remunerasi,
dikhawatirkan Hakim akan seenaknya masuk kantor.
Pandangan
seperti ini sedikit mengherankan. Dari rangkaian perjuangan yang oleh
Hakim-hakim balita (ingat, hakim balita) rintis dari awal, seakan setelah
berhasil seenaknya saja dipotong dan diotak-atik dengan ide-ide yang
kontraproduktif dalam peningkatan harkat & martabat hakim.
Bagaimana bisa
ide remunerasi untuk hakim di masa lalu, yang secara konseptual saja sudah
secara jelas tidak memberikan perbedaan Hakim dengan pekerja harian atau buruh
lepas, dianggap cocok dan akan diterapkan lagi terhadap tunjangan hakim? Bagaimana
bisa cita-cita memuliakan hakim, kembali dikhianati dan dilecehkan kembali oleh
kalangan Hakim sendiri? Dengan cara memotong-motong tunjangan yang telah menjadi
haknya yang selama ini telah diidamkan dan merupakan hasil keringat perjuangan
keras, bukan muncul sesederhana lobi –lobi atau perbincangan via telpon antar
elite saja.
Tunjangan Hakim
berdasarkan pp 94 tahun 2012, berbeda dengan tunjangan kinerja. Karena
tunjangan hakim berdasarkan pp tersebut adalah komponen yang menyatu dengan
gaji pokok hakim, yang diberikan di awal bulan. Sedangkan tunjangan kinerja
(remuneriasi) diberikan dengan mata anggaran yang berbeda terpisah dari gaji
pokok hakim dan diberikannya pun di pertengahan atau akhir bulan.
Ukuran tunjangan
hakim berdasarkan pp 94 tahun 2012 dengan tunjangan kinerja (remunerasi) pun
berbeda. Tunjangan hakim sifatnya konstan dan tetap, selama dia menjadi hakim.
sedangkan remunerasi memiliki klausula pemotongan dengan keadaan tertentu,
seperti terlambat masuk kerja, pulang cepat, tidak masuk tanpa alasan dan
sebagainya.
Dengan konsep
perbandingan sepeti itu, sebenarnya remunerasi tidak pantas diterapkan terhadap
hakim yang jam kerjanya kadang tak hanya di kantor saja. Bisa jadi hakim masih
bekerja mengonsep putusan di rumah, menelaah berkas di luar jam kerja kantor
dan sebagainya. apalagi ide mengadopsi sistem pemotongan remunerasi terhadap
tunjangan hakim. Akan hendak dikemanakan hasil pemotongan itu, sementara gaji
dan tunjangan adalah mata anggaran yang sudah pasti akan dipakai dan dihabiskan
dari DIPA, karena diberikan setiap bulan?
Mengapa para
elite baik KY maupun MA sendiri sangat bersemangat bila menuangkan konsep dan
ide-ide terkait “penghukuman” Hakim? Namun saat menghadapi tuntutan hak-hak
hakim, sangan sepi dan nyaris tak bersuara. Dalam PP 94 2012 sendiri masih
belum ada kejelasan tentang pelaksanaan pemberian rumah dan kendaraan dinas
atau tunjangannya, namun mengapa ini tidak diperjuangkan oleh MA, KY maupun
IKAHI, malah memunculkan wacana pemotongan tunjangan hakim? apakah ini didorong
oleh ketidak puasan, ketidaksukaan dan iri hati dari kalangan non-hakim dari
pengadilan tingkat pertama sampai Mahkamah Agung sendiri, sehingga masih saja
melakukan upaya penjegalan terhadap perjuagan menegakkan wibawa Hakim, sebagai
substansi dari kekuasaan kehakiman?
Baiknya,
hentikanlah wacana pemotongan ini. Masih ada instrument hukum yang lebih
relevan dan bisa diterapkan secara efektif dibandingan dengan mengadopsi konsep
remunerasi yang “kasar”, yakni PP 53 tahun 2010. Bila ingin menegakkan disiplin
hakim, tegakkanlah dengan aturan yang jelas dan tegas, bukan solusi sepihak
yang malah menimbulkan persoalan hukum baru atas dasar iri hati dan
ketidakpuasan pihak tertentu, yang rentan dipersoalkan lagi secara yuridis
maupun sosiologis. Jangan sampai ada cerita, Hakim akan mengadili persoalan
hukum menyangkut kepentingannya sendiri, yang dirugikan karena kesewenangan.
Comments
Post a Comment