Mudahnya beracara di PTUN
Pada
sebuah sesi Tanya-jawab dalam pemberian materi Disiplin Pegawai Negeri Sipil
yang dilaksanakan sebuah Kementerian, muncul pertanyan dari seorang peserta.
Intinya kira-kira begini: “mengapa perkara di PTUN hanya sedikit? Katanya susah
ya, untuk bisa masuk (mengajukan gugatan) apalagi menang dalam sidang di PTUN.
Harus mengeluarkan biaya besar juga, sambungnya.
Meskipun
hanya sebagai pendamping Narasumber, saya terpantik juga untuk merespon
pertanyaan yang meski terkesan lugu tapi menohok itu. Tapi hati kecil saya
mengingatkan, mungkin mereka belum paham dan mengerti apa dan bagaimana
Peradilan Tata Usaha Negara itu.
Secara
institusional, Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari Pengadilan Tata Usaha Negara
di tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di tingkat banding,
yang bermuara di Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi berwenang
untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha Negara.
hukum
administrasi negara
Agar
tidak bingung, bisa kita idiomkan istilah Tata Usaha Negara ini dengan
Administrasi Negara. Ya, Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Pengadilan
Administrasi, yang memeriksa persoalan-persoalan hukum yang timbul di bidang
administrasi Negara, pada saat pelaksanaan/penyelenggaraan tata kepemerintahan
oleh Badan atau Pejabat Publik.
Hukum
Administrasi Negara merupakan Hukum Publik, yang ditetapkan oleh Negara atau
Pemerintah sebagai instrument untuk melaksanakan setiap kewenangan yang
dimilikinya terhadap masyarakat. Jadi, Hukum Administrasi Negara merupakan
tindakan hukum sepihak dari pemerintah yang ditujukan untuk mengatur dan memberikan
keterikatan hukum kepada masyarakat dalam lingkup hukumnya.
Sederhananya,
Hukum Administrasi Negara adalah ketentuan yang mengatur bagaimana Badan atau
Pejabat Publik melaksanakan kewenangannya, dalam kaitannya dengan hak privat
dan hak komunal dari masyarakat.
SENGKETA TATA USAHA NEGARA
Persoalan
muncul saat dalam melaksanakan kewenangannya, Badan atau Pejabat Publik itu
melanggar ketentuan Perundang-undangan maupun asas-asas umum pemerintahan yang
baik. Dalam bentuk penyalahgunaan wewenang, maupun tindakan sewenang-wenang.
Lantas
upaya hukum apa yang bisa dilakukan orang yang merasa dirugikan atas perbuatan
dari Badan atau pejabat Publik tersebut? Setelah upaya non formal maupun
penyelesaian internal institusi Publik telah ditempuh, namun tidak menyelesaikan
sengketa diantara mereka. Maka kepada Pengadilan-lah persoalan tersebut bisa
diselesaikan. Dalam hal ini adalah Peradilan Tata Usaha Negara.
Sampai
saat ini, sengketa tata usaha Negara hanya meliputi tindakan dalam hukum
administrasi oleh Badan atau Pejabat Publik, yang didahului oleh penerbitan
keputusan tata usaha Negara saja (kecuali tindakan fiktif-negatif), tidak
mencakup tindakan faktual/konkrit yang dilakukan atas dasar kewenangan
diskresi, tanpa adanya penerbitan keputusan tata usaha Negara. Akan tetapi hal
ini tidak mengurangi arti dan kewenangan dari Peradilan Tata Usaha Negara untuk
memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara.
EKSISTENSI INSTITUSI PENGADILAN
Prinsip
yang pertama patut dipahami adalah: Pengadilan tidak mencari-cari perkara.
Jadi, sedikit atau banyaknya perkara yang ditangani suatu pengadilan bukanlah
prestasi ataupun kelemahan dari pengadilan tersebut. Perkara atau sengketa yang
diadili oleh suatu pengadilan adalah diawali dengan pengajuan olah pihak di
luar pengadilan, baik berbentuk gugatan, permohonan maupun penuntutan. Jadi,
sangat keliru menganggap Pengadilan yang hanya sedikit memeriksa perkara,
adalah pengadilan yang gagal. Sebab tidak mungkin dan tidak etis, menyamakan
kinerja pengadilan dengan metode berdagang atau mencari customer a la sales
asuransi. Yang paling laku atau paling banyak mendapatkan customer, itulah yang
dianggap kinerjanya paling bagus dan berhasil. Karena seperti halnya institusi
pemerintahan maupun institusi negara lain, yang dilakukan oleh Pengadilan
adalah Pelayanan Publik, sedangkan Pelayanan Publik ada dan bisa berlangsung
bila ada masyarakat yang menginginkan dilayani.
Prinsip
yang kedua adalah: prestasi, keberhasilan maupun kegagalan dari sebuah
Pengadilan tidak diukur oleh banyak atau sedikitnya perkara yang telah
diperiksa maupun diputus. Bisa dibayangkan bila banyaknya perkara dijadikan
patokan keberhasilan atau tingginya tingkat kepercayaan suatu Pengadilan.
Apakah Pengadilan di kota-kota besar lebih berprestasi daripada pengadilan di
kota-kota kecil, hanya karena banyaknya perkara yang diperiksa? Bukankah
semakin sedikit persoalan hukum, berarti semakin aman dan tentram pula
kehidupan masyarakat disana? Bukankah semakin sedikit orang yang diajukan ke
Pengadilan, semakin sedikit pula para pelanggar hukumnya, yang berarti masyarakat
sudah menemukan konsep keadilan dan ketentraman dalam lingkup mereka sendiri,
tidak harus melalui Pengadilan untuk menegakkan konsep keadilannya?
Prinsip
ketiga adalah, bila volume sengketa di suatu Pengadian Tata Usaha Negara itu
amat sangat banyak, katakanlah ratusan per bulan, maka apa yang telah dilakukan
oleh Pemerintah di wilayah hukum tersebut? Karena sederhanya, bila banyak
gugatan terhadap penerbitan suatu keputusan dari Badn/Pejabat Publik, berarti
itu adalah indikator nyata ketidakberesan dan ketidakmampuan administrasi negara
yang dilakukan oleh Badan/Pejabat Publik disana
Banyak
parameter yang menyebabkan orang tidak memperpanjang persoalan hukumnya ke
Pengadilan. Bisa jadi karena ketidaktahuan mereka sendiri akan keberadaan
Pengadilan ataupun proses berperkara di Pengadilan. Sebagai contoh konkrit,
kebanyakan orang hanya tahu bahwa institusi Pengadilan itu Homogen, satu jenis.
Yakni yang memeriksa dan memutus maling-maling, dari maling ayam sampe maling
uang negara. Padahal di bawah Mahkamah Agung sendiri ada 4 lingkungan Peradilan
yang memiliki kewenangan berbeda-beda. Peradilan Umum mengadili persoalan Hukum
Pidana dan perdata, Peradilan Agama memeriksa persoalan Hukum Islam, Peradilan
Tata Usaha Negara mengadli persoalan Administrasi Negara dan Peradilan Militer
mengadili persoalan Hukum Pidana di kalangan Militer. Dan keempat Lingkungan
Peradilan tersebut tersebar di berbagai daerah, tak hanya di Kota-kota besar
semisal Jakarta, Bandung, dsb. Namun juga kota-kota antah berantah semisal
Soasio atau Waikabukak.
Terkadang,
karena persoalan hukum yang dipahami masyarakat hanya jenis Hukum tertentu saja
seperti Hukum Pidana, maka keberadaan Pengadilan yang berwenang mengadili
persoalan Hukum lain yang tidak diketahuinya seperti Hukum Administrasi,
menjadi penyebab mereka tidak mengetahui keberadaan Pengadilan Tata Usaha
Negara. Sehingga saat ada persoalan Hukum Administrasi yang merugikan mereka,
karena ketidaktahuan tersebut mereka tidak mengajukan persoalannya ke
Pengadilan Tata Usaha Negara. Banyak-sedikitnya perkara hanya bisa berkorelasi
dengan tingkat pengetahuan dan kesadaran hukum dalam masyarakat. Di kota-kota
besar dengan tingkat pendidikan yang tinggi, serta kehidupannya yang dinamis,
mungkin mereka melek hukum dan sadar akan hak-haknya, serta tahu upaya hukum
apa yang bisa dilakukan bila hak tersebut dilanggar. Akan tetapi bila di
daerah, dimana jangankan akses terhadap hukum, kehidupan masyarakatnya pun
masih sangat sederhana dan statis, dinamika hukum pun kadang selesai di tataran
adat, tidak sampai Pengadilan. Jadi, dengan demikian sangat tidak relevan bila mengaitkan
Kinerja Pengadilan dengan banyak sedikitnya perkara yang diperiksa dan diputus.
BERACARA DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
Bila
dibandingkan dengan beracara di lingkungan Peradilan lain, beracara di
Pengadilan Tata Usaha Negara justru lebih dipermudah dan lebih “fair”. Ini
terkait dengan sifat pemeriksaan di Pengadilan yang tak hanya semata-mata
bersifat formil, tapi mencari kebenaran material/substansi. Jadi kajiannya, tak
hanya terhadap formalitas suatu gugatan tapi substansi pokok dari gugatan
tersebut.
Adanya
tahapan pemeriksaan persiapan dalam Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara,
akan memastikan secara optimal bahwa secara formal gugatan dapat diperiksa
dalam persidangan. Sehingga selepas pemeriksaan persiapan, idealnya persoalan
formalitas gugatan semisal salah obyek, salah pihak, lewat waktu ataupun
gugatan yang tidak jelas, sudah dapat teratasi. Sehingga Majelis Hakim yang
kelak memeriksa akan fokus pada substansi gugatan saja.
Berbeda
dengan beracara di Pengadilan Negeri dalam sengketa keperdataan, bila
formalitas gugatan sudah tidak terpenuhi saat pengajuan gugatan, maka terhadap
hal itu Majelis Hakim akan langsung memberikan sikap dalam Putusannya. Padahal bisa
jadi itu belum masuk ke substansi gugatan, dan secara otomatis tidak akan diperiksa
substansi gugatannya. Sementara di Pengadilan Tata Usaha Negara, gugatan akan
“dimatangkan” secara formal terlebih dahulu, agak layak disidangkan untuk
memeriksa substansi pokoknya. Bukankah itu suatu kemudahan dan “fasilitas”
khusus yang disediakan Undang-undang? Ada pula tahapan Penundaan Pelaksanaan
KTUN, bila dimintakan dan ada kepentingan mendesak yang berdasarkan hukum,
sehingga terhadap KTUN yang digugat bisa ditunda terlebih dahulu pelaksanaannya
sampai ada putusan yang telah berkekuatan hukum.
Terkait
dengan persoalan besarnya biaya untuk beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara,
sebenarnya tidak sepenuhnya benar, tapi tidak pula salah. Oleh karena dalam
sengketa tata usaha negara yang dihadapi adalah Badan atau Pejabat Publik, maka
orang yang menggugat haruslah benar-benar paham hukum, baik hukum beracara
maupun hukum materi yang terkait dengan pokok gugatan. Bisa saja orang yang
menggugat, tidak mewakilkan kepada Kuasa Hukum, melainkan maju sendiri. Akan
tetapi persoalannya, mampu tidak dia meladeni Badan atau Pejabat Publik, yang selain
berkedudukan lebih tinggai dan kuat, juga berpotensi memiliki SDM yang di
bidang hukum yang mumpuni. Agar kepentingannya lebih terjamin dan tujuan
gugatannya tercapai, tentunya orang yang menggugat harus paham hukum. Untuk
memiliki kualitas “paham hukum” tersebut adalah orang yang memiliki kompetensi
di bidang hukum, Advokat-lah itu. Dan Advokat pun terkadang tidak semuanya
memahami Hukum Acara di Peradilan Tata Usaha Negara maupun persoalan Hukum
Administrasi Negara, sehingga haruslah dipastikan Advokat yang dipilih memiliki
kemampuan itu, dan tentu itu ada harganya. Namun itu biaya di luar Pengadilan. Dan
terhadapnya, Pengadilan tidak memiliki keterkaitan maupun kepentingan. Akan
maju sendiri maupun melalui Kuasa Hukum, bukan masalah bagi Pengadilan. Namun
saat gugatan telah diajukan, hendaknya para pihak yang terlibat
bersungguh-sungguh dalam mengajukan dalilnya masing-masing, sehingga Majelis
Hakim yang memeriksa dapat mempertimbangkan secara utuh persoalan hukum yang
terjadi. Dan pada saat putusan dibacakan, tidak ada lagi ganjalan-ganjalan atau
kecurigaan ini-itu, karena segala aspek hukum telah dipertimbangkan
sebaik-baiknya.
Biaya
beracara di Pengadilan telah ditetapkan dan merupakan biaya resmi yang harus
dibayar oleh Para Pihak yang bersengketa. Karena ini merupakan informasi publik
sebagaimana dituntut dalam Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik, maka
besarannya pun sudah pasti terpampang di Kantor Pengadilan juga di Situs
Pengadilan tersebut. Komponen pembiayaan ditetapkan Ketua Pengadilan, baik itu
Biaya Panjar Gugatan, Biaya Pemeriksaan Setempat, Biaya Panjar Banding dan
sebagainya.
Oleh
karena itu adalah biaya resmi yang ditetapkan oleh Pengadilan, maka bila masih
ditemukan adanya biaya-biaya di luar yang resmi, maka para pencari keadilan
memiliki hak untuk menolak. Sederhana saja, bila ada oknum yang mengatasanamakan
siapapun memungut biaya ini itu, sementara tidak ada ketentuan tertulisnya,
tolak saja. Lebih lanjut, bila indikasi yang muncul kemudian adalah
pungutan liar atau pemerasan, laporkan
saja ke pos pengaduan. Baik secara langsung ke Kantor Pengadilan, maupun
melalui kontak Pengaduan di website. Asal disertai bukti yang relevan.
Pelayanan
pengadilan sekarang menuju ke arah perbaikan menyeluruh dan transaparansi
informasi. Tak ada lagi yang ditutup-tutupi, tak ada lagi yang dimanipulasi. Sehingga
dengan demikian, tak ada lagi alasan mencurigai berbelitnya prosedur
bersengketa di Pengadilan, apalagi berprasangka buruk terhadap aparatur
Pengadilan, karena segalanya telah terbuka serta berhak diketahui publik, dan
bila ditemukan penyelewengan tinggal dilaporkan saja. Sederhana bukan?
Comments
Post a Comment