Cerita Pendek Perilaku Korup


Mudik lebaran kemarin, saya bertukar cerita dengan seorang supir taksi plat hitam di Terminal A, Kota M. Selepas mengisi premium di SPBU sekitaran Bl, dia mengeluh kepada saya karena nggak puas dengan pelayanan di SPBU itu. Saya menyarankan, laporkan saja kalau tidak puas. Toh ada nomor telpon yang memang dikhususkan untuk pelayanan keluhan pelanggan. Mendengar komentar tersebut, supir tersebut menjawab: “Ah kalo buat rakyat kayak kita, nggak begitu berfaedah Mas, lapor sana-sini. Malah bikin ribet” Menanggapinya, saya memberikan saran: “Lha, itu khan hak kita sebagai konsumen, kalo pelayanan atau apapun yang menjadi hak kita tidak diberikan semestinya, kita berhak complain koq. Supaya itu juga menjadi efek jera buat penyedia layanan yang seenaknya”. Terang saya panjang-lebar.

Permakluman
Percakapan kemudian melebar ke soal pungutan liar dan sebagainya yang kerap “diderita” para pengemudi maupun perusahaan penyedia jasa, yang ujung-ujungnya akan membebankan kepada konsumen. Contoh sederhana adalah menarik ongkos melebihi harga sebenarnya, atau tidak memberikan uang kembalian karena dinilai “receh”.
Supir tersebut menganggap menarik ongkos melebihi harga sebenarnya merupakan perbuatan lumrah terjadi. Dan orang yang terkena “tarikan” pun pada umumnya tidak keberatan. Akhirnya saya terangkan, bahwa secara ideal hal tersebut pun termasuk perbuatan korup, meskipun tekstual Undang-undang membatasi sendiri kriteria korupsi itu apa. Namun secara konsep, perbuatan tersebut adalah korupsi. Dengan –entah paham atau tidak- setengah mengelak, dia mengatakan: “Ah, itu khan cuma seribu-dua ribu Mas” Saya tersenyum dan melanjutkan penjelasan. “Kalo kita memang mau benar-benar bersih dan adil Pak, mulai dari hal-hal seharga seribu-dua ribu dulu, baru kita bisa dengan bangga mempermasalahkan uang yang milyaran bahkan trilyunan” terang saya.
Sebenarnya perilaku korup bukan semata-mata kekeliruan atau faktor yang ada di diri si pelaku sendiri. Ada kalanya orang lain pun berperan dalam terjadinya perbuatan korup dan sejenisnya. Ini terkait dengan budaya “memberi” atau “sungkan” yang menjadi ciri khas orang timur termasuk Indonesia. Rasanya mengganjal dalam hati ketika kita telah dibantu oleh –katakanlah- Pegawai Negeri Sipil tertentu dalam suatu urusan, dan kita tidak memberikan sesuatu kepada mereka sebagai tanda terima kasih. Padahal telah amat sangat jelas, itu sudah menjadi tugas dan kewajiban Pegawai Negeri Sipil tersebut untuk melaksanakan fungsinya untuk melayani atau membantu. Dan Negara pun sudah memberikan gaji dan tunjangan sebagai kompensasi dari pelaksanaan tugas dan kewajiban tersebut, tanpa kita harus memberikan “tanda terima kasih”, “uang rokok” dan sebagainya.

Pola Pikir Duit
Keterbiasaan perilaku korup, gratifikasi dan sejenisnya akan menimbulkan ekses negatif terhadap kinerja seseorang. Dengan perlahan akan membentuk pola pikir duit (PPD). Tidak akan jalan (bekerja), bila tidak ada duitnya. Jadi fokus pelaksanaan pekerjaan bukan lagi pada pelayanan, melainkan besaran uang yang akan diterimanya bila melakukan kinerja. Bila perilaku korup atau gratifikasi tidak dilakukan dalam pelayanan, maka siap-siaplah mendapatkan perlakuan tidak ramah, asal-asalan, main lempar pekerjaan, dan prosedural yang berbelit. Padahal –katakanlah- Pegawai Negeri Sipil telah dipayar satu paket oleh Negara untuk bersikap ramah, bersungguh-sungguh, bertanggung jawab dan prosedural sederhana dalam Peraturan Pemerintah, yang bentuknya Gaji dan Tunjangan. Lantas kompensasi macam apa lagi yang diinginkan?
Perilaku korup atau watak korup, bukanlah melulu persoalan Pegawai Negeri Sipil, Pejabat Publik ataupun penegak Hukum. Di Negara ini, entah sengaja atau tidak, sebab permakluman dan sebagainya, perilaku korup menjadi milik semua kalangan, semua tingkatan. Contoh kongkrit, tarif angkutan umum yang dengan seenaknya dinaikkan oleh supir atau kondektur di momen-momen tertentu seperti Idul Fitri tanpa ketentuan tertulis yang jelas dari pihak berwenang, bukankah itu perilaku korup? Tarif argo di taksi yang jelas-jelas misalnya sebesar Rp. 53.700,- dinaikkan seenaknya menjadi Rp. 60.000,- bukankah sikap korup juga? Atau retribusi lain, yang ditarik lebih besar daripada yang tertera dalam karcis, sekalipun dengan embel-embel biaya administrasi tetek-bengek, bukankah ini watak korupsi juga. Dan kelirunya lagi, hal tersebut kita maklumi sebagai hal yang “benar”. Sehingga lambat-laun “permakluman” sikap kita terhadapnya, dijadikan “hal yang benar” oleh pihak-pihak yang terkait. Maka jangan heran bila itu menjadi suatu kebiasaan dan pembenaran universal.
Pembelaan yang umum adalah, nominal dari “sikap korup” itu amat sangat kecil bila dibandingkan dengan nominal korupsi pejabat publik atau aparatur penegak hukum yang nilainya ratusan juta sampai milyaran bahkan trilyunan. Namun apakah dengan kecilnya nilai yang dikorup, itu berarti diperbolehkan hanya karena kemahfuman? Dan secara otomatis menghilangkan sifat korup-nya? Bukankah (maaf) tai yang besar dengan (maaf) tai sekecil apapun itu, tetap kita jijik-i? Atau, makanan yang terkena (maaf) tai kebo, dengan yang terkena (maaf) tai cecak, sama-sama membuat kita jijik untuk memakannya?
Memang, mungkin bagi sebagian orang, hal tersebut terlalu sepele bila dipersoalkan berlarut-larut. Tapi bukankah, tidak ada masalah yang besar, bila tak bermula dari masalah yang kecil? Logika terbaliknya adalah, bagaimana mungkin memberantas perilaku korup yang besar, sementara (perilaku korup) yang kecil saja tak bisa kita buang jauh-jauh?

Memanfaatkan atribut PNS
Yang lumrah dituding sebagai orang korup adalah yang bekerja di sektor pemerintahan. Karena stigma yang timbul di masyarakat, berurusan dengan pemerintahan berarti harus mengeluarkan uang, setidaknya sebagai tanda terima kasih. Dan hal tersebut tak terlalu salah. Karena faktualnya, sebagian besar pegawai di sektor pemerintahan berdalih gaji-nya kurang, makanya mencari penghasilan tambahan di luar gaji dan tunjangan yang diterimanya.
Bila memiliki usaha informal di luar instansinya, selama sesuai dengan aturan hukum tentu bukan masalah bagi abdi Negara untuk mencari penghasilan tambahan. Akan tetapi dengan memanfaatkan jabatan atau kedudukannya sebagai alat untuk mencari “ceperan” dan penghasilan tambahan, tentunya itu melanggar hukum bahkan etika kedinasan. Sehingga kita pun harus berani serta kritis mempertanyakan ketika ada PNS yang meminta imbalan baik langsung ataupun secara tersirat, karena jasa atau pelayanan yang telah diberikannya kepada kita. Karena itulah tugas mereka, dan mereka telah digaji untuk itu. Tanpa kita harus memberi kompensasi lagi atas kinerjanya.
Bila mental sungkanisme terkait perilaku korup maupun gratifikasi “kecil-kecilan” dianggap suatu permakluman, maka jangan harap perilaku maupun gratifikasi “besar-besaran” akan bisa ditumpas.

Comments

Popular posts from this blog

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc

Kota Bandung dan Kota Malang