Hakim itu PNS?
Ini masih soal hak-hak
konstitusional Hakim, namun lebih kepada soal pengakuan status dan kedudukan
Hakim dalam kaitannya dengan persoalan identitas pribadi sebagai sebuah profesi
terhormat.
Bukan
menjadi rahasia umum bahwa sejak resmi “berpisah” dari lingkup eksekutif, dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Hakim memiliki kedudukan dan status yang tidak jelas apakah
sebagai Pegawai Negeri Sipil ataukah Pejabat Negara? Pernyataan yang ambigu dan
kadang saling bertentangan, menimbulkan percik persoalan yang meskipun dirasa
sepele akan tetapi mencerminkan bagaimana Negara dan masyarakat pada umumnya menempelkan
“kesepelean” itu pada profesi Hakim.
Hal tersebut diperparah dengan kesetengahhatian atau
bisa dibilang juga ke-soktahuan pihak-pihak yang berwenang, terkait kedudukan
Hakim ini. Karena selain secara konstitusional sejak lama Hakim terkesan sudah
direduksi penghidupannya, sampai-sampai amanat Undang-undang yang telah
disepakati DPR dan Pemerintah pun harus diuji di Mahkamah Konstitusi terlebih
dahulu, hanya agar bisa menafsirkan hak apa saja yang harus diberikan kepada
Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman dan sebagai pejabat Negara.
Meskipun berulang kali, tak kurang dari 3 atau 4
Undang-undang yang menyatakan bahwa Hakim adalah Pejabat Negara, namun pihak
yang berwenang nampaknya buta-tuli terhadap persoalan ini, sehingga menganggap
picisan persoalan tentang status dan identitas Hakim, apalagi pemenuhan
hak-haknya sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman yang mandiri. Sehingga tak
jarang ketentuan perundang-undangan di bawah Undang-undang yang
mensub-marginalkan profesi Hakim. Termasuk persoalan remeh-temeh data
kependudukan ini.
Betapa tidak, orang yang
paling goblok sampai pejabat publik yang sok-sokan paling pinter, pasti
mengganggap Hakim adalah Pegawai Negeri Sipil. Jelas itu anggapan yang keliru, sebab berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor
43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, dengan tegas
disebutkan bahwa “Pejabat Negara terdiri
atas: d. Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda, dan
Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua
Badan Peradilan” .
Sekilas bila membaca ketentuan tersebut dalam
penyebutan bagian “Pegawai Negeri Yang
Menjadi Pejabat Negara”, mungkin benar anggapan bahwa Hakim adalah Pegawai
Negeri. Akan tetapi yang patut dicermati adalah tidak ada satu klausula pun
dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 yang
menyebutkan secara eksplisit dan tegas, bahwa Pejabat Negara yang sebagaimana
disebutkan rinciannya dalam ayat (1) adalah Pegawai Negeri. Apabila secara
kontekstual Hakim akan dikatagorikan sebagai Pegawai Negeri, maka secara logika
terbalik karena ketentuan tersebut adalah satu ayat dalam pasal secara utuh,
maka dapat pula disimpulkan seluruh jabatan Pejabat Negara dalam ketentuan Pasal
11 ayat (1) Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tersebut di atas adalah Pegawai
Negeri, termasuk Presiden, Wakil Presiden dan Anggota MPR ataupun anggota DPR.
Maka dengan demikian, apabila hendak menganggap
Hakim itu tergolong Pegawai Negeri, maka agar adil dan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, maka anggaplah juga Presiden, Wakil
Presiden, anggota MPR, anggota DPR bahkan Menteri adalah Pegawai Negeri juga.
Adil dan benar khan?
Persoalan ini mengemuka karena jati diri Hakim
sebagai seorang individu dan profesi yang jelas-jelas telah ada sejak lama,
sangat sering mendapat pengabaian dari pemerintah. Apa soal? Dalam pencantuman
identitas pekerjaan di Kartu Tanda Penduduk maupun Kartu Keluarga pun, tidak
ada profesi yang menyebutkan Hakim. Sekali lagi, tidak ada profesi Hakim yang
diakui dan dapat dicantumkan di KTP.
Hak itu jelas merupakan manifestasi dari ketidakkonsekuenan
dan ketidakkonsistenan pemerintah. Sebab berdasarkan formulir biodata penduduk
F1.01 dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
19 Tahun 2010 Tentang Formulir
Dan Buku Yang Digunakan Dalam Pendaftaran
Penduduk Dan Pencatatan Sipil yang diterbitkan Kementerian Dalam Negeri, profesi Pegawai Negeri Sipil
adalah tersendiri, pun halnya dengan Presiden, Wakil Presiden, anggota DPR,
anggota BPK dan anggota kabinet/kementerian. Sementara dimana posisi Hakim?
Tidak ada dan tidak mendapat tempat dalam formulir tersebut, yang mirisnya
adalah produk hukum resmi kementerian dalam negeri tersebut. Lantas apakah ini
bisa disebut sebagai sebuah kesengajaan atau apa?
Sebenarnya hal ini tidak menjadi persoalan ketika
teknologi informasi yang digunakan oleh Kementerian Dalam Negeri dan jajarannya
sampai tingkat Kecamatan dalam menerbitkan KTP dan KK, masih manual dengan
mesin ketik biasa. Jadi pencantuman Pekerjaan seseorang, masih bisa disesuaikan
dengan permohonan dari pembuat KTP atau KK tersebut. Akan tetapi menjadi
persoalan ketika sistem yang digunakan sekarang, hanya membatasi sampai 88
profesi yang diakui. Di luar ke 88 profesi itu, tidak akan bisa tercantum baik
dalam Kartu tanda Penduduk maupun Kartu Keluarga.
Kekeliruan memang bukan berada di tataran kecamatan
atau disdukcapil. Mereka hanya melaksanakan dan mengaplikasikan sistem yang
telah dibuat dari pemerintah pusat. Dan yang paling bisa dimintakan
pertanggungjawaban atas kesalahan yang terkesan seperti pengabaian ini adalah
Kementerian Dalam Negeri sendiri.
Persoalan ini bukan baru muncul sekarang, tetap
karena baru kali ini penulis mengalami secara langsung kesalahan terstruktur
ini pada saat mengurus KTP dan KK di tempat tugas yang baru. Meskipun sudah
memberikan penjelasan secara rinci perihal status dan profesi sebagai Hakim,
namun karena memang sistemnya tidak bisa memunculkan pekerjaan Hakim, maka
tetap ketidakbenaran data soal pekerjaan itu tak bisa diubah.
Revisi terhadap formulir F1.01, sebagaimana Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2010 Tentang Formulir
Dan Buku Yang Digunakan Dalam Pendaftaran
Penduduk Dan Pencatatan Sipil, jelas harus dilakukan sesegera mungkin. Sebab,
sebagai pencerahan dari 88 katagori pekerjaan disana, sebagian besar adalah
pekerjaan informal. Sedangkan Hakim sebagai pekerjaan Formal, yang mengemban
tugas menegakkan hukum dan keadilan sebagai pengejawantahan dari kekuasaan kehakiman,
terpaksa hanya mendapat jatah pilihan sebagai Pegawai Negeri Sipil dalam
formulir itu. Padahal bila ingin konsisten berdasarkan Undang-undang,
seharusnya Presiden, Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota BPK maupun Menteri
juga harus dikatagorikan sebagai Pegawai
Negeri Sipil.
Identitas tentu hal yang penting, apalagi dalam
dokumen resmi Negara berbentuk KTP maupun KK. Bila ada yang menganggap
persoalan ini hanya semata prestise, mungkin benar adanya. Akan tetapi, mau-kah
yang berkomentar semacam itu dicantumkan pekerjaan dalam KTP-nya Tukang Batu
padahal pekerjaannya adalah Ustadz/Mubaligh? Atau katakanlah Pekerjaannya
adalah Wakil Bupati sementara yang tercantum di Kartu Keluarga-nya Penata
Busana? Silakan dijawab sendiri.
Pekerjaan dan kedudukan mah beda feb.
ReplyDeleteKedudukan dalam hal ini hanya prolog. Sebagai deduksi dari yang hendak disampaikan.Status Pekerjaan itu yang jadi persoalan.
ReplyDeleteKemendagri lagi pusing, toh hakim konstitusi ada datanya dikelurahan walaupun jumlahnya hanya sembilan orang. Kita berada di negara random country !
ReplyDelete